Politik
Beranda » Berita » Keras! NU Bekasi Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi, Sebut Zalim dan Tidak Partisipatif

Keras! NU Bekasi Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi, Sebut Zalim dan Tidak Partisipatif

Keras! NU Bekasi Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi, Sebut Dzalim dan Tidak Partisipatif

SURAU.COKebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali memicu kontroversi signifikan. Kali ini, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi secara tegas melayangkan protes. Protes ini terkait kebijakan Dedi Mulyadi mengenai penyerahan ijazah secara sukarela oleh pihak sekolah kepada seluruh siswa, sebuah kebijakan yang menurut mereka sangat merugikan kalangan pesantren.

Mereka menyampaikan aksi protes ini dalam sebuah forum audiensi resmi. Pengurus PCNU Kabupaten Bekasi, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU), Forum Pondok Pesantren, Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), serta perwakilan pesantren menghadiri audiensi tersebut. Pimpinan DPRD Jawa Barat, Acep Jamaludin, dan anggota Fraksi PKB, Rohadi, menerima mereka di Kantor DPRD Jawa Barat, Bandung.

“Kami sangat menyayangkan kebijakan tersebut karena tidak berpihak pada kalangan pesantren, bahkan kebijakan tersebut adalah dzalim. Ini sangat menyedihkan,” kata Ketua PCNU Kabupaten Bekasi KH. Atok Romli Mustofa di Bandung, Rabu, sebagaimana inti pernyataannya yang berbagai media beritakan. Pernyataan ini menyoroti inti polemik kebijakan ijazah Dedi Mulyadi yang pesantren rasakan.

Kebijakan Spontan dan Intimidatif Resahkan Pesantren

KH. Atok Romli Mustofa menyatakan bahwa kebijakan kontroversial terkait ijazah ini justru menimbulkan keresahan mendalam, khususnya bagi komunitas pesantren. Ia mengkritik proses lahirnya kebijakan yang menurutnya tidak melalui kajian komprehensif dan partisipatif. Sebaliknya, kebijakan tersebut terkesan sebagai keputusan spontanitas, intimidatif, dan hanya berdasarkan intuisi Gubernur Jawa Barat.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan ijazah dari Dedi Mulyadi ini bahkan pemerintah sertai dengan ancaman. Pemerintah mengancam pesantren atau sekolah yang menolak melaksanakannya tidak akan menerima program Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU). Ancaman yang lebih serius adalah potensi pencabutan izin operasional. Ini tentu menjadi pukulan berat bagi lembaga pendidikan yang telah lama berkiprah.

Usulan Pemakzulan Gibran Mengemuka, Begini Respons Partai Koalisi

Dampak Serius dari Polemik Kebijakan Ijazah Dedi Mulyadi

Menurut KH. Atok Romli Mustofa, dampak kebijakan ijazah yang Dedi Mulyadi keluarkan bagi lingkungan pesantren sangatlah signifikan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Ia menekankan bahwa pondok pesantren mendidik dan membina santri secara holistik, tidak hanya di jam sekolah formal melainkan 24 jam penuh.

Ia menganalogikan dengan teori kebutuhan Abraham Maslow. Pesantren, menurutnya, telah memenuhi berbagai tingkatan kebutuhan santri, mulai dari fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, hingga aktualisasi diri. Pesantren memberikan semua itu tanpa memandang bulu atau status sosial santri. “Ada biaya yang sangat besar yang pesantren keluarkan secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berbeda dengan sekolah negeri yang pemerintah penuhi pembiayaannya,” katanya.

Pengasuh Pondok Pesantren Yapink Pusat KH. Kholid menegaskan pesantren hadir jauh sebelum Indonesia ada. Para pendiri pesantren sejak awal berdiri telah fokus untuk berkontribusi bagi masyarakat melalui pendidikan mandiri.

Dia mengaku dalam jangka pendek, kebijakan itu dapat dipastikan menghambat pengelolaan pondok pesantren. Para alumni dari beragam latar belakang datang ke pesantren untuk meminta hak berlandaskan arahan Gubernur Jawa Barat mengenai ijazah. “Sedangkan di sisi lain, ada hak pesantren yang belum mereka dapatkan. Tentu hal tersebut akan mengganggu proses belajar mengajar di lingkungan pesantren,” katanya. Hal ini memperuncing polemik kebijakan ijazah Dedi Mulyadi.

Ancaman Finansial hingga Degradasi Akhlak

Persoalan finansial menjadi salah satu kekhawatiran utama. Kebijakan ijazah Dedi Mulyadi ini berpotensi membuat banyak pesantren gulung tikar dalam waktu dekat. “Banyak kasus di Kabupaten Bekasi yang satu pesantren saja sudah mengeluarkan Rp1-1,7 miliar uang keluar yang para alumni belum lunasi,” ucap dia.

Babak Baru Pengelolaan Dana Haji: Arah Baru Dalam RUU Haji

Namun, dampak jangka panjang yang lebih serius adalah potensi degradasi akhlak. KH. Kholid khawatir tidak akan ada lagi takdzim (rasa hormat) santri kepada guru dan pesantren. Kebijakan ini seolah-olah mengadu domba antara santri dengan pesantren yang mendapat tuduhan menahan ijazah. “Sistem ini tidak mengajarkan orang tua dan santri tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban. Maka yang akan rusak adalah generasi bangsa. Kita tidak akan mewujudkan generasi emas yang kita cita-citakan,” katanya.

Suara dari BMPS dan Peran Vital Pesantren

Ketua BMPS Kabupaten Bekasi H. M. Syauqi menyatakan kebijakan ini tidak partisipatif karena tidak melibatkan sejumlah unsur terkait bahkan bisa berdampak sangat buruk bagi sektor pendidikan ke depan.

“Memang benar, semua rakyat Indonesia berhak menerima pendidikan secara gratis karena pemerintah menanggung sepenuhnya tanggung jawab ini. Tapi, apakah pemerintah sudah dan mampu memenuhi kewajibannya tanpa peran sekolah swasta, khususnya pesantren? Kami yakin, tidak,” katanya.

Baca juga: Saat Warga Jakarta Timur Lebih Pilih Dedi Mulyadi daripada Pramono Anung dalam Tangani Tawuran

Menurut dia pesantren yang sudah mendarah daging dan menjadi jati diri bangsa Indonesia mempunyai peran fundamental dalam sistem pendidikan Indonesia, bahkan sebelum Indonesia ada. Data menunjukkan negara hanya mampu menyediakan pendidikan gratis melalui sekolah negeri sebanyak 25-35 persen dari jumlah kebutuhan populasi yang ada (Data Pendidikan Nasional, Kemdikbudristek, 2023). Sisanya, peran swasta, termasuk pesantren, sangatlah besar dalam mencerdaskan anak bangsa.

Korupsi Dana Desa: Berkah yang Berubah Jadi Musibah di Pelosok Negeri

Konteks Kebijakan Dedi Mulyadi yang Kerap Kontroversial

Polemik kebijakan ijazah Dedi Mulyadi ini menambah daftar panjang kebijakan Gubernur Jawa Barat yang kerap menuai pro dan kontra. Publik juga mengenal Dedi Mulyadi dengan sapaan Kang Dedi Mulyadi (KDM) dan gayanya sebagai “Gubernur Konten”. Ia sering mengeluarkan kebijakan yang publik anggap sebagai terobosan namun tak jarang memicu perdebatan. Beberapa kebijakan sebelumnya yang juga menjadi sorotan publik, seperti yang media lokal sering beritakan, antara lain; larangan study tour bagi pelajar, larangan wisuda dari TK hingga SMA, program pengiriman “anak nakal” ke barak militer, hingga imbauan program Keluarga Berencana yang menekankan partisipasi pria.

Meskipun banyak kebijakannya yang ia klaim bertujuan untuk efisiensi, disiplin, atau kesejahteraan, metode dan dampak yang kebijakan itu timbulkan seringkali menjadi bahan diskusi panjang, seperti yang berbagai analisis kebijakan publik catat (Studi Kebijakan Pendidikan Jabar, 2024).

Harapan Revisi Atas Kebijakan Ijazah

Melalui kegiatan audiensi dengan pimpinan DPRD Jawa Barat ini kami berharap ada dorongan dan eskalasi kepada Gubernur Jawa Barat untuk memperhatikan pesantren dan merevisi atau membuat pengecualian kebijakan terhadap pesantren. “Mereka mutlak membutuhkan solusi dari masalah yang timbul akibat kebijakan tersebut,” kata H. M. Syauqi, menekankan urgensi penyelesaian polemik kebijakan ijazah Dedi Mulyadi ini.

Baca juga: Dedi Mulyadi Gubernur Lambe Turah: KDM Respon Santai Julukan Baru, Luruskan Misinformasi

Kini, bola ada di tangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan DPRD Jawa Barat untuk mencari jalan tengah yang bijaksana, demi menjaga keberlangsungan pendidikan berkualitas dan berkarakter di Tatar Pasundan. (KAN/JPNN)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement