Oleh: Masykurudin Hafidz, Warga NU, Tinggal di Jakarta
SURAU.CO – Sekitar 20 ribu massa Nahdlatul Ulama (NU) memadati Masjid Istiqlal, Jakarta. Mereka datang untuk mengikuti Istighosah Kubro yang PBNU selenggarakan. Acara ini merupakan peringatan Harlah NU ke-80 sekaligus Tahun Baru Hijriah 1427 H. Dalam acara ini, mereka bersama-sama memohon ampun kepada Tuhan. Selain itu, mereka juga merenungkan perjalanan bangsa yang penuh keprihatinan. Oleh karena itu, istighosah ini membawa pesan kuat: Cukup sudah gejolak, kezaliman, dan kesengsaraan bangsa ini.
Resolusi Jihad: Panggilan Mempertahankan Kemerdekaan
Komitmen kebangsaan kaum Nahdliyyin memang tidak perlu kita ragukan lagi. Kemerdekaan bangsa ini tidak lepas dari peran penting umat Islam, khususnya kaum Nahdliyyin. Sebagai contoh, pada 22 Oktober 1945, para ulama berkumpul di Tebuireng. Di bawah kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari, pertemuan itu menghasilkan Resolusi Jihad.
Resolusi tersebut menegaskan bahwa umat wajib mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kewajiban itu adalah jihad bagi setiap Muslim. Akibatnya, mereka yang berada dalam radius 80 km dari musuh wajib mengangkat senjata. Sementara itu, warga di luar radius tersebut wajib memberikan bantuan.
Resolusi Jihad inilah yang kemudian mengilhami peristiwa heroik 10 November 1945. Para ulama beserta umatnya menunjukkan perjuangan yang luar biasa. Mereka berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru saja bangsa ini proklamasikan. Meskipun kekuatan tidak seimbang, mereka berhasil mengusir musuh yang akan menjajah kembali.
Menjaga NKRI dari Ancaman Perpecahan
Bukti lain dari komitmen Nahdliyin muncul pada awal tahun 1950-an. Saat itu, muncul pemberontakan DI/TII yang mengancam persatuan. Mereka beralasan kepemimpinan Soekarno tidak sah karena bukan hasil pilihan rakyat. Kemudian, mereka menuntut penggantian NKRI dengan Negara Islam Indonesia (NII). Tuntutan tersebut tentu saja sangat mengguncang politik dalam negeri yang masih rentan.
Sekali lagi, para ulama Nahdliyyin menunjukkan peran vitalnya. Melalui Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim-Ulama 1952 di Cipanas, mereka mengeluarkan fatwa penting. Fatwa itu mengakui Soekarno sebagai pemimpin de facto negara atau waliyyu al-amri al-dhoruri bi al-syaukah. Keputusan ini bertujuan untuk mencegah perpecahan bangsa yang lebih parah.
Dengan fatwa ini, maka para ulama memperkokoh kembali persatuan bangsa. Keputusan mereka sungguh luar biasa. Meskipun sebagai umat Islam, mereka justru mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) daripada memilih Negara Islam Indonesia (NII). Jadi, dua fakta sejarah ini membuktikan sumbangan besar Nahdliyyin untuk keutuhan bangsa.
Ironi Perjuangan yang Kerap Terlupakan
Akan tetapi, negara tidak membalas perjuangan dan komitmen para ulama secara setimpal. Dari waktu ke waktu, negara justru terus meminggirkan bahkan mencurigai mereka. Para ulama yang telah susah payah menjaga negeri ini justru terus menerus mendapat kecurigaan. Misalnya pada zaman Orde Baru, pemerintah menggeneralisir umat Islam lewat isu Komando Jihad.
Demikian juga saat ini, kecurigaan itu masih berlanjut di era reformasi. Beberapa pihak masih mencurigai ulama, umat Islam, dan pesantren sebagai sarang terorisme. Sesungguhnya, kecurigaan inilah yang merusak hubungan antara umat Islam dengan negara. Padahal, kita semua yakin Indonesia memerlukan dukungan tulus dari umat Islam untuk bangkit dari keterpurukan.
Oleh karenanya, pemerintah harus mulai mengubah paradigmanya. Kebangkitan Indonesia harus menyertakan umat Islam, terutama kaum Nahdliyyin. Pemerintah harus mengganjar komitmen kebangsaan warga Nahdliyyin secara setimpal. Adalah tidak adil jika negara melalaikan sumbangan besar mereka begitu saja.