SURAU.CO – Fenomena tawuran remaja yang kian meresahkan kembali memantik perdebatan sengit. Masyarakat kini aktif membandingkan metode penanganan paling efektif. Dua pendekatan berbeda dari dua tokoh publik menjadi pusat diskusi. Gubernur Jakarta Pramono Anung menawarkan satu pendekatan. Figur publik Dedi Mulyadi (yang kebijakannya saat menjabat di Jawa Barat sering menjadi rujukan) menawarkan pendekatan lain yang kontras. Wacana solusi tawuran ini membelah opini publik di Jakarta. Sementara itu, di Jawa Barat, program yang Dedi Mulyadi gagas justru menuai kritik tajam. Kritik tersebut terkait alokasi anggaran dan perhatian terhadap anak-anak terlantar.
Kontras Metode: Humanis Pramono Tantang Disiplin ala Dedi Mulyadi
Gubernur Jakarta Pramono Anung, menurut laporan, menggagas pendekatan yang lebih humanis untuk membina pelaku tawuran. Politikus PDI Perjuangan ini berencana mengatasi masalah kenakalan remaja melalui beberapa program. Salah satunya adalah “Manggarai Bershalawat” yang berorientasi pada pembinaan keagamaan. Selain itu, ia juga berencana memperpanjang jam operasional taman dan perpustakaan. Tujuannya untuk menyediakan ruang positif bagi anak muda.
Strategi ini mendapat respons beragam dari warga. Syarifudin, seorang warga Jakarta Timur, mengaku tidak sepakat dengan pendekatan humanis Pramono. Ia menilai cara tersebut kurang efektif untuk mengubah perilaku remaja masa kini. Remaja sekarang telah terbiasa dengan gawai. “Menurut saya anak-anak zaman sekarang enggak kayak dulu. Kalau dulu kita banyak baca buku, beda sama anak sekarang yang dari kecil biasa main handphone,” kata Syarifudin, Rabu (21/5/2025). Ia berpendapat bahwa pembinaan keagamaan dan edukasi lebih tepat sasaran untuk anak usia dini. Ini berbeda dengan remaja yang sudah terlanjur bermasalah. Menurutnya, mengajak remaja pelaku tawuran ke perpustakaan hanya akan menjadi formalitas belaka.
Syarifudin justru lebih condong pada metode yang pernah Dedi Mulyadi terapkan di Jawa Barat. Metode tersebut adalah mengirim siswa bermasalah ke barak militer untuk menanamkan disiplin. “Kalau diajak ke perpustakaan, nanti cuma membaca pas ada petugas yang mengawasi saja. Formalitas biar enggak dimarahi saja. Menurut saya lebih efektif program Jawa Barat,” ujar Syarifudin.
Dukungan dan Keraguan Warga Terhadap Program Jakarta
Kusheri (48), warga lainnya, menyuarakan pendapat serupa dengan Syarifudin. Ia mengingat kasus tawuran di Jakarta yang sering terjadi. Kasus tersebut telah memakan korban jiwa serta kerugian material. Karena itu, Kusheri merasa program pembinaan dengan mengirim anak ke barak militer lebih tepat. Ia percaya cara ini dapat menanamkan disiplin. “Menurut saya kurang efektif (program Pemprov DKI). Kalau yang efektif itu seperti program (Gubernur Jawa Barat) pak Dedi Mulyadi. Saya lebih pro ke program pak Dedi Mulyadi daripada Gubernur DKI Jakarta,” kata Kusheri. Ia mengakui pembinaan keagamaan dan edukatif penting. Namun, untuk anak bermasalah, ia menganggap pendekatan tegas dan disiplin lebih manjur. Kusheri bahkan menyarankan pemerintah untuk menggabungkan kedua program tersebut. “Kalau bisa ya programnya KDM (Kang Dedi Mulyadi) dengan program Pemprov DKI Jakarta disatukan. Jadi efektif dalam membina dan mencegah anak-anak tawuran,” ujar Kusheri.
Namun, tidak semua warga pesimis dengan pendekatan Pramono Anung. Sumantri (43), juga warga Jakarta Timur, berpendapat bahwa terlalu dini untuk menilai program pembinaan keagamaan dan edukasi tidak efektif. “Programnya bagus, tapi apakah efektif perlu dilihat dulu. Seperti mengajak anak-anak ke perpustakaan, itu tetap perlu diawasi pemerintah. Apakah anak itu benar belajar atau tidak,” tutur Sumantri. Sumantri optimis. Jika anak-anak serius membaca, mereka tidak hanya akan menjadi pintar. Perilaku mereka juga bisa berubah. Ia juga mengapresiasi rencana perpanjangan jam operasional taman. “Program DKI Jakarta dan Pemprov Jawa Barat sebenarnya sama-sama bagus. Cuma ketika anak-anak tetap perlu ada pengawasan, baik dari orangtua, guru, maupun pemerintah,” lanjut Sumantri.
Di tengah perdebatan solusi tawuran ini, Pengamat Politik Burhanuddin Muhtadi juga menyebut nama Dedi Mulyadi. Ia menyebutnya dalam konteks potensi Pilpres 2029. Burhanuddin mengindikasikan posisi Dedi Mulyadi (KDM) berada di bawah Prabowo dan Anies. Namun, jika popularitasnya langgeng, godaan politik bisa saja menghampirinya.
Sorotan Tajam Program Dedi Mulyadi di Jawa Barat
Pendekatan Dedi Mulyadi melalui program pendidikan berkarakter “Pancawaluya” di Dodik Rindam III Siliwangi, Lembang, juga mendapat sorotan. Program yang menyasar siswa “nakal” ini menuai kritik keras dari internal Jawa Barat. Anggota DPRD Jabar dari Fraksi PKB, Maulana Yusuf Erwinsyah, melayangkan surat terbuka. Surat tersebut kemudian viral. Maulana menyoroti ketimpangan perhatian dan anggaran. Ia membandingkan peserta program Pancawaluya dengan anak-anak yatim piatu di panti asuhan di bawah naungan Pemprov Jabar.
“Perhatian berlebih yang Kang Haji (Dedi Mulyadi) berikan pada anak titipan (peserta) program ini terasa mencolok, mereka sangat diistimewakan, dibandingkan dengan minimnya perhatian terhadap anak-anak asuh resmi di panti asuhan yang dikelola oleh pemerintah provinsi,” ujar Maulana. Ia memaparkan bahwa Pemprov Jabar memiliki 820 anak asuh di berbagai panti. Mereka hidup dalam kondisi memprihatinkan. Sebagian merupakan korban kekerasan atau tidak tahu orang tuanya. “Mereka tidak bandel. Mereka tidak berulah. Tapi mereka hidup dalam senyap dan luka,” katanya.
Kritik Anggaran dan Keberpihakan Menjadi Fokus Utama
Maulana membeberkan data anggaran yang menurutnya mencolok. Program Pancawaluya menelan Rp3,2 miliar untuk 275 anak selama 30 hari. Artinya, pemerintah membiayai sekitar Rp11,6 juta per anak per bulan. “Sementara anak-anak panti hanya mendapat sekitar Rp1,3 juta per bulan, delapan kali lipat lebih kecil. Padahal mereka bukan anak nakal, mereka anak korban. Merekalah Kang, sebenarnya anak yang betul-betul harus diberikan perhatian lebih!” kata Maulana. Ia menekankan bahwa ini adalah soal keberpihakan. Siapa yang kita peluk dan siapa yang kita biarkan terlantar? Maulana menutup surat tersebut dengan harapan agar Dedi Mulyadi juga mengunjungi panti asuhan. Ia berharap suara anak-anak panti tidak hanya menjadi statistik.
Dilema Kebijakan dan Pencarian Solusi Holistik
Kontroversi penanganan tawuran ini, baik di Jakarta maupun terkait program di Jawa Barat, mencerminkan kompleksitas masalah kenakalan remaja. Tidak ada solusi tunggal yang bisa semua pihak terapkan secara pukul rata. Pendekatan humanis menekankan pembinaan mental-spiritual dan edukasi. Pendekatan ini memiliki kelebihan dalam membentuk karakter jangka panjang. Namun, sebagian pihak mungkin merasa pendekatan ini kurang memberi efek jera instan bagi pelaku yang sudah akut. Sebaliknya, pendekatan disiplin ala militer bisa jadi efektif menekan angka tawuran secara cepat. Namun, pendekatan ini menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan perubahan perilaku dan potensi trauma. Selain itu, kritik terkait prioritas anggaran seperti yang DPRD Jabar suarakan juga menjadi catatan penting.
Debat ini menggarisbawahi perlunya kebijakan yang komprehensif. Kebijakan tersebut harus melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Yang terpenting, kebijakan harus berdasar pada keadilan dan keberpihakan pada semua kelompok anak. Ini berlaku baik bagi anak yang publik anggap “bermasalah” maupun yang menjadi korban keadaan. Para pengambil kebijakan masih terus mencari solusi terbaik. Suara warga dan kritik konstruktif menjadi bahan pertimbangan penting dalam proses ini.
(KAN)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
