Pada suatu hari menjelang Magrib, Abu Bakar Ra. memanggil putra-putranya Abdullah, Asma, Aisyah dan pelayannya yang menggembala domba-dombanya untuk berkumpul.
“Ada satu hal penting yang ingin kusampaikan kepada kalian. Rasulullah telah menyampaikan kepadaku tentang turunnya wahyu yang memerintahkan Rasul untuk berhijrah ke Yatsrib (Madinah). Beliau telah memilihku untuk menyertainya. Kini orang-orang kafir sedang berupaya keras menangkap dan membunuh Rasul. Dapatkah kalian dipercaya dengan berita yang kusampaikan ini?” kata Abu Bakar selain memandangi putra-putranya satu persatu.
Hanya Asma yang gugup dengan pandangan pandangan ayahnya itu.
“Kenapa ayah bertanya seperti itu?” tanyanya dalam hati.
“Sangsikah ayah?”
Asma merasa ditantang untuk membuktikan kesungguhan dalam membela kebenaran dan mensukseskan hijrahnya Rasul dan ayahnya.
“Akulah yang akan mempersiapkan makanan untuk apakah Rasul dan ayah dalam perjalanan” ujar Asma. Memang keahlian Asma memasak ini sudah diakui oleh keluarganya.
“Aku siap sedia membantu Rasul dan ayah, kapan dan dimanapun diperlukan” kata Abdullah bin Urayyath (pelayan Abu Bakar) spontan. Walaupun belum muslim, pelayan Abu Bakar itu rela membantu Rasul dan Abu Bakar. Dialah yang memandu perjalanan Rasul dan Abu Bakar sampai Madinah melalui jalan yang selama ini belum pernah dilalui orang.
Di tengah malam, datang ke Rasulullah Saw, menjemput Aku Bakar. Putra-putri Abu Bakar melepas keberangkatan mereka dengan cemas. Mereka mengkhawatirkan keselamatan keduanya. Karena selama ini pemuda Quraisy Kores selalu berkeliaran mencari Rasul untuk dibunuh demi upah lebih dari cukup untuk membangun kehidupan masa depan mereka.
Setelah itulah Rasul dan Abu Bakar pergi.
Pagi itu pikiran Asma kembali melayang kepada Rasulullah dan ayahnya. Dia khawatir kalau upaya keras orang-orang kafir Quraisy untuk mendapatkan Rasul itu berhasil. berkali-kali telah ditanyakan kepadanya.
“Mana ayahmu?”
Dan berkali-kali dia menjawab “Tidak tahu”.
Pernah ketika Abu Jahal bersama beberapa orang kafir Quraisy yang datang rumahnya dan menanyakan tentang ayahnya. Asma langsung menjawab, “Tidak tahu” Kontan Abu Jahal menampar mukanya, sehingga anting-antingnya terlepas. Meskipun demikian Asma tidak gentar menghadapinya. Dia tetap tidak mengatakan di mana ayahnya bersembunyi.
Pada suatu ketika, sepulang dari mengantarkan Rasul dan Abu Bakar, Abdullah menuturkan bahwa keadaan Rasul dan abu Bakar aman di gua Tsur.
Tentramlah hati Asma dan adiknya Aisyah mendengar penuturan Abdullah itu. Kini Asma semakin giat mempersiapkan bekal makanan yang akan dibawa dalam perjalanan Rasul dan ayahnya menuju Madinah. Dan ketika Abdullah memberitahu kepada Asma tentang rencana keberangkatan Rasul dan Abu Bakar menuju Yatsrib, Asma ingin agar dia sendiri yang mengantarkan bekal makanan untuk Rasul dan ayahnya.
Ketika akan menempatkan bekal itu ke atas unta Asma mendapatkan kesulitan. Namun segera dia teringat kepada ikat pinggang yang dipakainya. Dibukanya ikat pinggang itu lalu dibelah dua. Yang satu dipakai lagi dan satu lagi digunakan untuk mengikat bekal pada badan unta. Dengan hati-hati Asma pergi ke tempat persembunyian mereka, lalu diserahkannya pegal itu. Kelak di Madinah Rasul memberinya gelar Dzatun-Niqataini (wanita yang membelah dua ikat pinggangnya). Dia merasa bangga dengan pengorbanannya.
(disadur dari salah satu kisah di buku Taman Kearifan Kisah-kisah yang Akan Mencerahkan Kesadaran Anda)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.