SURAU.CO – Kesaksian perempuan dalam Islam sering memicu perdebatan sengit. Terutama, ini terjadi dalam pembahasan kontrak keuangan. Titik pusat perdebatan adalah tafsir Surah Al-Baqarah ayat 282. Ayat ini secara harfiah menyatakan kesaksian dua perempuan setara dengan satu laki-laki.
Sebagian kalangan menganggap ketentuan ini sebagai bentuk diskriminasi. Mereka merasa aturan ini merendahkan martabat perempuan. Akibatnya, muncul dua kubu besar dalam penafsiran. Kubu pertama adalah kelompok klasik yang memegang teguh pendekatan tekstual. Kubu kedua adalah kelompok modernis yang mendorong pemahaman kontekstual.
Pandangan Klasik: Berpegang pada Teks
Para mufasir klasik umumnya menggunakan pendekatan tekstual dalam memahami ayat ini. Ibnu Kathir (w. 774 H), sebagai contoh, menafsirkan bahwa perempuan memiliki kualitas kecerdasan dan agama yang lebih rendah dari laki-laki. Sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibn ‘Umar turut memperkuat penafsiran ini. Dalam hadis itu, Rasulullah SAW menyebut salah satu “kekurangan akal” perempuan adalah kesaksiannya yang bernilai setengah dari laki-laki.
Banyak ulama klasik memakai argumentasi ini sebagai landasan. Ibn ‘Arabi bahkan merinci enam alasan mengapa Tuhan mengutamakan laki-laki. Alasan tersebut mencakup status laki-laki sebagai pokok (asal), perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk, hingga anggapan bahwa perempuan lebih lemah secara agama, fisik, dan porsi warisan.
Fakhruddin al-Razi juga memiliki pandangan serupa. Ia berpendapat bahwa tabiat perempuan yang “dingin” secara psikologis membuatnya mudah lupa. Karena itu, ia memandang kehadiran dua saksi perempuan sebagai cara logis untuk saling mengingatkan dan mencegah kelalaian.
Pandangan Modern: Membaca Konteks
Para pemikir modern menawarkan pendekatan yang berbeda. Mereka mengajak kita untuk membaca ayat ini secara kontekstual. Mereka berpendapat bahwa aturan tersebut sangat terikat dengan kondisi sosio-historis pada zaman Nabi. Saat itu, perempuan memang jarang sekali terlibat dalam transaksi bisnis di ruang publik.
Nasaruddin Umar menegaskan bahwa dasar utama kesaksian adalah profesionalisme dan kredibilitas, bukan jenis kelamin. Jika seorang perempuan terbukti ahli dalam bidang ekonomi, maka kesaksiannya setara dengan laki-laki. Kaidah Fikih populer mendukung argumen ini: “al-hukmu yaduru ma’a al-‘illah wujuudan wa ‘adaman”. Artinya, sebuah hukum berlaku atau tidaknya bergantung pada ada atau tidaknya alasan (‘illat) di baliknya.
M. Quraish Shihab mengidentifikasi ‘illat hukum tersebut. Menurutnya, ‘illatnya adalah minimnya keterlibatan perempuan dalam perdagangan saat itu. Keterlibatan yang minim ini mengurangi perhatian mereka pada detail transaksi. Akibatnya, mereka lebih mudah lupa. Jika hari ini perempuan sudah ahli dalam keuangan, maka ‘illat tersebut tidak lagi relevan.
Asghar Ali Engineer juga menyatakan hal senada. Menurutnya, Al-Qur’an menganjurkan dua saksi perempuan karena mereka belum berpengalaman. Fungsi saksi kedua hanya sebagai pengingat, bukan karena intelektualitas perempuan lebih rendah.
Kualitas Saksi Sebagai Syarat Utama
Para pemikir modern menekankan bahwa kata rijalikum (laki-laki di antaramu) dalam ayat tersebut merujuk pada kualifikasi, bukan sekadar jenis kelamin. Syarat menjadi saksi adalah seorang Muslim yang merdeka, dewasa (balig), dan adil. Ini membuktikan bahwa syarat utama persaksian adalah kualitas dan kredibilitas individu.
Masyarakat saat itu menganggap perempuan tidak representatif. Oleh karena itu, perempuan tidak mendapat kesempatan luas. Jadi, masalah utamanya terletak pada kapasitas dan pengalaman pada masa itu, bukan pada gendernya. Mahmud Hamdi Zaqzuq juga menjelaskan bahwa lupa bukanlah sifat bawaan perempuan. Siapa pun bisa mengalaminya karena ini adalah sifat manusiawi yang berkaitan dengan keahlian dan latihan.
Kesimpulan: Menuju Pemahaman yang Adil
Penulis artikel ini, Halimah B., menyetujui pandangan kontekstual. Ia menyatakan bahwa perbandingan nilai saksi ini bersifat kondisional. Aturan itu hadir karena perempuan pada masa itu belum terbiasa dengan urusan ekonomi. Tujuannya adalah untuk saling mengingatkan agar kebenaran tetap terjaga.
Dalam konteks masa kini, banyak perempuan yang ahli di bidang ekonomi. Oleh karena itu, kita perlu memahami ulang hukum tersebut karena alasan (‘illat) di baliknya telah berubah.
Penting untuk dicatat, ayat-ayat lain tentang kesaksian tidak membedakan gender. Misalnya, kesaksian untuk wasiat (QS. Al-Maidah: 106) atau perceraian (QS. Al-Talaq: 2) hanya menyebut jumlah saksi, bukan jenis kelaminnya.
Dengan demikian, pemahaman kontekstual terhadap ayat ini membuka pintu menuju keadilan gender. Kesaksian harus berdasar pada profesionalisme dan kredibilitas. Ayat ini sejatinya adalah anjuran untuk berhati-hati dalam bermuamalah, bukan sebuah ketetapan kaku yang merendahkan perempuan.