Kisah Opinion
Beranda » Berita » Imam Syafi’i, Bacaan Al-Qur’an untuk Mayit, dan Tuduhan Wahabi: Klarifikasi, Pencerahan dan Edukasi

Imam Syafi’i, Bacaan Al-Qur’an untuk Mayit, dan Tuduhan Wahabi: Klarifikasi, Pencerahan dan Edukasi

Dalam dunia Islam, isu tentang apakah pahala bacaan Al-Qur’an bisa sampai kepada orang yang telah meninggal dunia (mayit) menjadi topik yang sering diperdebatkan. Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah ini sebenarnya adalah hal yang wajar dan sudah berlangsung sejak lama. Namun, yang sering menjadi persoalan adalah ketika perbedaan pendapat ini dimanipulasi untuk menyudutkan kelompok tertentu atau digunakan untuk membenturkan tokoh-tokoh klasik dengan kelompok kontemporer. Salah satu contohnya adalah konten gambar yang beredar di media sosial dan menyatakan bahwa Imam Syafi’i berpendapat pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit, lalu muncul pertanyaan retoris: “Beranikah anda mengatakan Imam Syafi’i Wahabi?”

Mari kita uraikan permasalahan ini secara adil, ilmiah, dan penuh adab terhadap para ulama kita.

1. Pendapat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i (150–204 H), salah satu dari empat imam mazhab, memang dikenal memiliki pendapat bahwa pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit berdasarkan dalil dan metode istinbath beliau. Dalam sebagian karyanya, serta dalam syarah (penjelasan) ulama terhadap pendapat beliau, seperti yang disebutkan dalam Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, pendapat ini dikemukakan dengan argumentasi bahwa ibadah seperti membaca Al-Qur’an adalah bentuk ibadah yang tidak bisa diwakilkan atau ditransfer pahalanya kepada orang lain tanpa dalil yang sahih dari syariat.

Namun, perlu dicatat bahwa Imam Syafi’i tetap memperbolehkan bentuk-bentuk amal lain untuk mayit, seperti doa, sedekah atas nama mayit, atau haji dan umrah yang diniatkan untuk mayit. Semua ini merupakan amal yang didukung oleh dalil-dalil yang sahih dari Al-Qur’an dan hadis.

Diam yang Menyelamatkan: Kisah Abu Bakar Menjaga Lisan

2. Perbedaan Ulama adalah Hal Biasa

Pendapat Imam Syafi’i dalam masalah ini bukanlah satu-satunya. Banyak ulama lain, termasuk dalam mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, yang membolehkan pahala bacaan Al-Qur’an untuk dihadiahkan kepada mayit, dengan landasan dalil dan ijtihad yang berbeda. Bahkan dalam kalangan ulama Syafi’iyyah sendiri, ada yang berpendapat bahwa jika seseorang membaca Al-Qur’an dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai, karena Allah Maha Pemurah dan Maha Kuasa untuk memberikan pahala kepada siapa pun yang Dia kehendaki.

Dengan demikian, menyimpulkan bahwa hanya satu pendapat yang benar dan lainnya salah adalah tindakan yang tidak bijak dan tidak sesuai dengan prinsip adab dalam ilmu.

3. Apakah Imam Syafi’i Bisa Disebut Wahabi?

Di sinilah letak ironi dari pertanyaan dalam gambar tersebut: “Beranikah anda mengatakan Imam Syafi’i Wahabi?”

Yakin, Pertolongan Allah Pasti Datang

Kata “Wahabi” sering digunakan secara peyoratif untuk menyebut mereka yang mengikuti ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115–1206 H), seorang ulama dari Najd yang menyerukan kembali kepada tauhid murni dan pemurnian dari bid’ah. Label ini kemudian meluas digunakan untuk menyudutkan kelompok tertentu yang cenderung tekstual dalam memahami agama, termasuk dalam menolak amalan-amalan seperti tahlilan, kirim pahala, atau perayaan Maulid Nabi.

Namun, menyebut Imam Syafi’i sebagai Wahabi jelas merupakan kesalahan kronologis dan metodologis. Imam Syafi’i hidup sembilan abad sebelum Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau adalah tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang telah diakui otoritasnya oleh seluruh umat Islam. Menempelkan label Wahabi kepada beliau semata-mata karena satu kesamaan pendapat dalam satu isu fikih adalah tindakan yang gegabah dan tidak ilmiah.

4. Bahaya Politisasi Istilah Agama

Penggunaan istilah “Wahabi” sebagai senjata untuk mendiskreditkan pendapat yang tidak sejalan sangat berbahaya. Hal ini justru akan menjauhkan umat dari pemahaman agama yang ilmiah dan berlandaskan dalil. Istilah tersebut seringkali digunakan tanpa memahami latar belakang historis, konteks pemikiran, maupun substansi dari ajaran yang disebutkan.

Padahal dalam tradisi Islam, perbedaan pendapat dalam ranah furu’ (cabang hukum) adalah sesuatu yang biasa. Tidak seharusnya satu pendapat dianggap mutlak benar dan yang lain disesatkan. Imam Malik pernah berkata, “Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya, kecuali penghuni kubur ini (sambil menunjuk makam Nabi Muhammad ﷺ).”

Teman yang Mengingatkan Sholat adalah Rezeki Tak Ternilai

5. Sikap Bijak Menghadapi Perbedaan

Sebagai umat Islam, kita perlu memiliki adab dan sikap ilmiah dalam menyikapi perbedaan. Tidak semua perbedaan harus dilawan dengan permusuhan. Justru dengan memahami perbedaan itu, kita bisa menjadi lebih toleran, saling menghargai, dan tetap menjaga ukhuwah Islamiyah.

Imam Syafi’i sendiri terkenal dengan sikap tolerannya. Dalam satu kesempatan, beliau pernah mengatakan, “Pendapatku benar tapi mungkin salah, dan pendapat orang lain salah tapi mungkin benar.” Ini menunjukkan keluasan pandangan beliau dalam menghadapi perbedaan.

Penutup

Menyatakan bahwa Imam Syafi’i berpendapat pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit adalah benar dalam konteks pendapat beliau. Namun menjadikannya sebagai alat untuk menyerang kelompok tertentu atau untuk membenarkan tuduhan “Wahabi” jelas merupakan penyalahgunaan ilmu dan sejarah.

Kita harus kembali kepada semangat ilmiah, berlandaskan dalil, dan menjunjung tinggi adab terhadap para ulama. Jangan jadikan perbedaan pendapat sebagai alasan untuk perpecahan. Justru dari perbedaan itu, kita bisa belajar memahami keluasan Islam dan kebesaran para ulama yang telah mewariskan khazanah ilmu yang tak ternilai.

Semoga kita termasuk orang-orang yang adil dalam menilai, bijak dalam menyikapi, dan rendah hati dalam mencari kebenaran. (Tengku Iskandar, M. pd)

× Advertisement
× Advertisement