SURAU.CO. Pergolakan di Timur Tengah semakin memuncak. Terbaru pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei angkat bicara pada hari Rabu. Ia menegaskan negaranya tidak akan menyerah pada tekanan asing. Pernyataan keras ini merupakan respons langsung atas seruan dari Amerika Serikat di tengah eskalasi konflik dengan Israel.
Dalam pidato pertamanya yang disiarkan televisi pemerintah sejak Jumat, Khamenei menolak ide bahwa perdamaian atau perang dapat dipaksakan pada negaranya. Ia mengirimkan pesan yang jelas kepada para pemimpin dunia. “Orang-orang cerdas yang mengenal Iran, bangsa Iran, dan sejarahnya tidak akan pernah berbicara kepada bangsa ini dengan bahasa yang mengancam karena bangsa Iran tidak akan menyerah,” katanya. Khamenei juga memperingatkan Amerika Serikat tentang konsekuensi intervensi militer. Ia menekankan bahwa setiap tindakan agresi akan dibayar mahal. “Orang Amerika harus tahu bahwa intervensi militer AS apa pun niscaya akan disertai dengan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.”
Ancaman Trump
Pernyataan Khamenei muncul setelah Presiden AS Donald Trump mengeluarkan ancaman serius. Trump mendesak Teheran untuk “menyerah tanpa syarat”. Ia bahkan mengisyaratkan bahwa kesabaran AS hampir habis dan mengancam keselamatan Pemimpin Tertinggi Iran secara pribadi. Melalui platform Truth Social, Trump menunjukkan lokasi persembunyian Khamenei. Ia menyatakan bahwa pemimpin Iran itu adalah target yang mudah.
“Kami tahu di mana tepatnya siapa yang disebut ‘Pemimpin Tertinggi’ bersembunyi. Dia target yang mudah, tetapi aman di sana. Kami tidak akan melenyapkannya, setidaknya untuk sekarang,” tulis Trump pada Selasa (17/6).
Sementara itu di tengah eskalasi ini yang semakin memanas, Turki menunjukkan dukungan kuat untuk Iran. Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa Iran memiliki hak untuk membela diri. Menurutnya, serangan Israel merupakan bentuk terorisme negara. “Merupakan hak yang sangat alami, sah, dan sah bagi Iran untuk membela diri terhadap kekerasan dan terorisme negara Israel,” kata pemimpin Turki itu.
Melanisr laman arebnews.com Erdogan juga menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai “ancaman terbesar bagi keamanan kawasan.” Ia menegaskan bahwa Turki telah menyiapkan segala skenario untuk melindungi kepentingannya.
Akar Masalah: Tuduhan Program Nuklir
Konfrontasi paling intens dalam sejarah kedua negara ini tidak terjadi tiba-tiba. Semua berawal dari serangan Israel pada Jumat, 13 Juni 2025. Israel melancarkan serangan udara yang menargetkan fasilitas nuklir dan militer Iran, termasuk kompleks vital di Natanz dan Isfahan. Apa pemicu serangan awal Israel? Jawabannya terletak pada program nuklir Iran. Israel menuduh Iran sedang mempersiapkan pembuatan bom nuklir. menurut laman Al Jazeera, Israel mengklaim laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) per 12 Juni menjadi bukti.
Menurut Israel, laporan tersebut menunjukkan Iran telah melanggar Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT). Israel menuduh Iran telah berhasil memperkaya uranium hingga mencapai kemurnian 60%. Angka ini sangat dekat dengan ambang batas 90% yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir.
Iran dengan tegas menolak semua tuduhan tersebut. Teheran bersikeras bahwa program nuklir mereka rancang adalah murni untuk tujuan sipil. Mereka menyatakan proyek tersebut untuk energi dan medis, bukan untuk senjata pemusnah massal. Namun, penjelasan Iran tidak cukup bagi Israel. Israel tetap melancarkan serangan dan menyebutnya sebagai tindakan pencegahan .
Korban Jiwa Terus Bertambah
Hingga Rabu (18/06/2025) dini hari, konflik belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Israel terus menggempur Iran dengan ledakan-ledakan sporadis. Serangan yang telah berlangsung selama enam hari ini memakan banyak korban. Pihak Iran melaporkan sedikitnya 224 orang tewas akibat gempuran Israel. Di sisi lain, serangan balasan Iran dengan rudal balistik dan drone telah menewaskan sedikitnya 24 orang di Israel.
Iran menyatakan akan terus melakukan serangan balasan. Mereka menganggapnya sebagai bentuk pertahanan diri yang sah. Kini, dunia menahan napas. Banyak pihak khawatir konfrontasi langsung ini dapat memicu konflik regional yang lebih luas dan menghancurkan stabilitas Timur Tengah.