Surau.Co-Lagu “mangu” dari fourtwnty merupakan sebuah karya yang menggugah emosi. Mengisahkan tentang cinta yang terhalang oleh perbedaan keyakinan. Dirilis pada tahun 2022, popularitasnya kembali meningkat setelah banyak digunakan sebagai backsound di media sosial, khususnya tiktok. Kata “mangu” dalam bahasa Indonesia merujuk pada keadaan termenung, terdiam, atau ragu-ragu, yang bisa muncul akibat perasaan terkejut, sedih, atau bingung. Dalam konteks lagu “mangu” dari fourtwnty, istilah ini digunakan untuk mengekspresikan dilema seseorang yang mencintai namun harus merelakan karena jalan hidup yang tak lagi searah dengan pasangannya. Namun demikian, lagu ini juga menyampaikan pesan bahwa perbedaan keyakinan bisa menjadi tantangan yang berat dalam sebuah hubungan yang sering kali berujung pada perpisahan.
Jauh sebelum lagu ini lahir, sejarah Islam telah mencatat sebuah kisah cinta yang serupa namun jauh lebih agung. Kisah Sayyidah Zainab binti Rasulullah ﷺ dengan suaminya, Abu Al-Ash Bin Rabi’. Dibalik melodi lirih dan lirik yang menggugah, siapa sangka, kisah dalam lagu ini justru mengingatkan kita pada cinta sejati yang diuji oleh iman dan perpisahan, sebagaimana yang dialami oleh Sayyidah Zainab dan Abul Ash. Kisah mereka sarat dengan kesetiaan, pengorbanan, dan keteguhan hati dalam menghadapi ujian keimanan.
Pernikahan Sebelum Kenabian
Zainab Binti Muhammad adalah putri sulung nabi Muhammad ﷺ dan Khadijah Binti Khuwailid. Ia lahir di Makah sekitar 23 tahun sebelum Hijriyah (sekitar tahun 600 M) dan wafat pada tahun 8 Hijriyah (629 M) di Madinah dalam usia 29 tahun. Nama “zainab” (زينب) dalam bahasa Arab diartikan sebagai “perhiasan ayah” atau “indah dan harum seperti bunga,” merujuk pada sejenis bunga cantik yang dikenal dalam tradisi Arab karena keharumannya. Makna ini mengandung filosofi yang menjadi penegas nilai kemuliaan seorang perempuan di tengah budaya jahiliah yang saat itu menganggap kelahiran anak perempuan sebagai aib keluarga.
Ketika telah cukup usia, Khadijah menjodohkan Zainab dengan Abul Ash Bin Rabi’. Abul Ash Bin Rabi’ adalah sepupu Zainab dari pihak ibu (anak Halah Binti Khuwailid, saudari Khadijah). Ia dikenal sebagai pemuda Quraisy yang jujur, sukses dalam berdagang, dan memiliki reputasi baik di masyarakat. Pernikahan Zainab dan Abul Ash menjadi kebahagiaan besar bagi Rasulullah ﷺ. Bahkan Khadijah, sang ibu, menghadiahkan kalung indah kesayangannya kepada putrinya tercinta. Kelak, kalung itu pula yang membuat nama Zainab dikenang dengan penuh haru oleh jutaan umat manusia, hingga ia mendapat julukan dzatul qiladah, sang pemilik kalung. Pernikahan ini terjadi sebelum Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu kenabian. Dari pernikahan ini, Zainab dan Abul Ash dikaruniai dua anak, yakni Ali dan Umamah. Ali meninggal saat masih bayi, sedangkan Umamah tumbuh dewasa dan menjadi cucu kesayangan Rasulullah ﷺ .
Perbedaan Keyakinan
Setelah Rasulullah ﷺ menerima wahyu kenabian dan mengajak keluarga masuk Islam, Zainab segera beriman tanpa ragu. Namun Abul Ash suaminya, tetap pada keyakinan nenek moyangnya. Bukan karena ia tidak mencintai Zainab, tetapi karena ia takut dicap mengkhianati kaumnya. Saat itu, wahyu tentang larangan pernikahan beda agama belum turun, sehingga rumah tangga mereka tetap sah secara syariat. Meskipun berbeda keyakinan, mereka menjalani pernikahan dengan harmonis sebagai pasangan suami istri. Namun seiring waktu, dilema mulai muncul dalam hati Zainab. Ketika rasulullah ﷺ berhijrah ke Madinah, semua putri beliau ikut serta kecuali Zainab. Ia memilih tetap tinggal bersama Abul Ash, meski itu berarti harus jauh dari ayahnya tercinta.
Cinta yang Diuji dengan Perpisahan
Puncak ujian terjadi saat perang Badar di tahun ke-2 Hijriyah. Ketika pasukan Quraisy kalah dalam perang Badar, Abul Ash yang berada dipihak Quraisy tertawan oleh kaum muslimin dan dibawa ke Madinah sebagai tawanan perang. Zainab, yang sangat mencintai suaminya, mengirimkan kalung pemberian ibunya, Khadijah, sebagai tebusan. Ketika Rasulullah ﷺ melihat kalung itu, beliau merasa sangat tersentuh dan menitikkan air mata teringat pada cinta pertama dan kenangannya bersama Khadijah. Rasulullah ﷺ yang terharu melihat kalung itu meminta para sahabat membebaskan Abul Ash dan mengembalikan kalung tersebut kepada Zainab. Namun, sebagai syarat pembebasan, Abul Ash harus mengizinkan Zainab hijrah ke Madinah. Setelah turun wahyu yang melarang wanita muslim menikah dengan pria musyrik. Abul Ash, meski berat hati, menyanggupi permintaan itu.
Mereka berpisah, Zainab akhirnya hijrah ke Madinah, meninggalkan suaminya dengan berat hati. Dalam perjalanan hijrah yang kemudian dilakukan Zainab, ia mengalami teror dan tekanan dari kaum Quraisy yang menyebabkan ia mengalami keguguran janin. Namun, ia tetap tabah dan tegar menghadapi semua ujian tersebut.
Pertemuan Kembali
Enam tahun berlalu, Abul Ash tetap menjaga cinta dan amanah. Ia belum memeluk Islam, tapi tak pernah menikah lagi. Ia juga tak membenci Islam, meski tak berani menerimanya. Suatu hari, para sahabat berhasil menghadang rombongan dagang kaum kafir Quraisy yang dipimpin oleh Abul Ash. Ia pun ditawan di daerah Al-Aish sekitar 6 km dari Madinah. Dalam keadaan itu, Abul Ash mengirim pesan kepada Zainab agar mau memberikan perlindungan. Momen ini adalah puncak keberanian dan kesetiaan Zainab, bahkan setelah bertahun-tahun berpisah. Cintanya tidak melemah, tetapi ia tetap berada dalam koridor hukum dan adab Islam.
Zainab lalu berdiri di masjid dan mengumumkan bahwa ia telah memberikan jaminan keselamatan untuk mantan suaminya. Rasulullah ﷺ menghormati keputusan itu dan menegaskan bahwa seorang muslim, bahkan yang paling rendah kedudukannya, punya hak untuk memberi perlindungan. Para sahabat menerima keputusan itu tanpa ragu. Untuk kedua kalinya Abul Ash berhasil lolos berkat bantuan Zainab dan kembali ke Makah. Sesampainya di Makah, Abul Ash mengembalikan seluruh amanah dagangnya. Ia memutuskan masuk Islam dan kembali ke Madinah untuk bersatu kembali dengan Zainab. Rasulullah ﷺ menikahkan mereka kembali dengan mahar dan akad nikah yang baru.
Sayangnya, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Zainab sakit parah akibat luka yang dideritanya saat hijrah dan akhirnya meninggal dunia pada tahun ke-8 Hijriyah. Empat tahun kemudian, di tahun 12 H, Abul Ash bin Robi’ menyusul wafat setelah sempat merasakan hangatnya kembali kehidupan bersama Zainab. Perempuan yang sejak awal ia cintai dengan tulus, meski harus terpisah karena perbedaan keyakinan. Cinta yang dulu tertahan oleh keadaan, akhirnya menemukan keabadian. Ia menyusul sang istri, Zainab, ke alam keabadian. Keduanya bersatu kembali, tak hanya sebagai pasangan di dunia, tapi juga sebagai kekasih dalam ridha dan rahmat Allah SWT.
Teladan Sayyidah Zainab: Cinta, Kesetiaan, dan Keteguhan Iman
Kisah Sayyidah Zainab dan Abul Ash bin Rabi’ adalah potret cinta sejati yang penuh ujian dan pengorbanan. Meski berbeda keyakinan, mereka tetap saling setia dan menjaga komitmen rumah tangga dengan penuh kesabaran.
- Kesetiaan dalam Perbedaan
Zainab menunjukkan bahwa cinta dan komitmen tetap bisa bertahan meski berbeda keyakinan, bahkan ketika sang suami menjadi lawan dalam medan perang. - Pengorbanan Demi Iman dan Keluarga
Ia rela meninggalkan suaminya demi taat kepada Allah dan Rasul-Nya saat perintah hijrah datang, menempatkan iman di atas kepentingan pribadi. - Kesabaran dalam Ujian Berat
Dari keguguran hingga perpisahan, Zainab tetap tabah dan tidak pernah menyalahkan takdir. Ia menjadi teladan wanita yang kuat dan sabar. - Ketulusan dalam Doa dan Usaha
Zainab berusaha membebaskan suaminya dari tawanan dengan kalung pemberian ibunya, sembari terus mendoakan hidayah untuk suaminya yang akhirnya terkabul. - Simbol Wanita Mandiri dan Beriman
Ia menjadi sosok perempuan yang teguh, tangguh, dan setia, menghadapi segala kesulitan hidup dengan iman dan kepala tegak.
Daftar Referensi
Ahmad, U. H. (2017). Rumah tangga seindah surga. Laksana
Ezokanzo, T. (2017). 40 putri terhebat, bunda terkuat. Gramedia Pustaka Utama
Umar, A. M. M. (2020). Khadijah: Cinta sejati Rasulullah. Republika Penerbit