SURAU.CO – Sebuah berita duka menyentuh hati banyak orang beberapa waktu lalu. Seorang mahasiswi asal Malaysia, Nurly Shahirah Azman (23 tahun), wafat dalam sebuah kecelakaan bus. Tragedi ini terjadi di Jalan Raya Timur–Barat, Gerik, Perak, pada 9 Juni 2024. Peristiwa yang merenggut 15 korban jiwa ini menyisakan kisah yang menggetarkan. Jasad Nurly ditemukan dalam keadaan sedang memeluk mushaf Al-Qur’an yang ia tulis sendiri dengan tangannya.
Nurly bukan mahasiswi biasa di Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI). Ia adalah seorang hafizah yang telah menggenapkan hafalan 30 juz Al-Qur’an. Ia bahkan memperkuat hafalannya dengan menyalin seluruh isi mushaf secara manual. Kisahnya menjadi inspirasi bagi umat Islam di Malaysia dan seluruh dunia.
Peristiwa ini seakan menggemakan kembali kisah para tokoh mulia dalam sejarah Islam. Mereka wafat dalam keadaan ‘bersama’ kitab suci yang sangat mereka cintai. Salah satu figur paling agung dalam hal ini adalah Utsman bin Affan. Sebagai salah satu Khulafaur Rasyidin, beliau juga syahid ketika sedang membaca Al-Qur’an. Lantas, bagaimana sebenarnya perjalanan hidup Utsman bin Affan hingga akhir hayatnya?
Awal Kehidupan dan Keutamaan Utsman bin Affan
Utsman bin Affan lahir pada tahun 574 Masehi dari kabilah terpandang, Bani Umayyah. Ibunya bernama Arwa binti Kuriz bin Rabiah. Beliau merupakan sahabat dekat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadi khalifah ketiga. Utsman mendapat gelar istimewa, Dzunnurain, yang berarti ‘pemilik dua cahaya’. Gelar ini beliau peroleh karena menikahi dua putri Rasulullah, yaitu Ruqayah dan kemudian Ummu Kaltsum setelah Ruqayah wafat.
Beliau termasuk dalam golongan as-sabiqun al-awwalun, yaitu orang-orang yang pertama kali memeluk Islam. Utsman mengikrarkan keimanannya pada usia 34 tahun melalui dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Keistimewaan sahabat Utsman sangat menonjol dalam berbagai peristiwa penting di zaman Rasulullah. Beliau terkenal sebagai sosok yang penuh kebaikan. Saat kaum muslimin menghadapi paceklik panjang, kemiskinan melanda di mana-mana. Di tengah kondisi sulit itu, Rasulullah menyerukan persiapan jihad untuk Perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Pasukan ini disebut Jaisyul ‘Usroh (pasukan masa sulit) karena keterbatasan materi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong para sahabat untuk berinfak. Beliau bersabda:
“Barang siapa yang menyiapkan jaisyul usyroh, maka baginya surga.”
Tanpa ragu, Utsman bin Affan yang seorang saudagar kaya maju ke depan. Ia membawa 1.000 keping dinar emas dan meletakkannya di hadapan Rasulullah. Melihat kedermawanan luar biasa ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat masyhurnya:
“Tidaklah memudharatkan Utsman apa yang ia lakukan setelah ini.”
Kedermawanannya tidak berhenti di situ. Ketika jumlah jamaah semakin banyak, Masjid Nabawi terasa sempit. Rasulullah pun bersabda:
“Barang siapa membeli lokasi milik keluarga fulan lalu menambahkan untuk perluasan masjid dengan kebaikan maka ia kelak di surga.”
Utsman segera membeli tanah tersebut dengan hartanya sendiri. Kemudian, ia mewakafkan tanah itu untuk perluasan masjid. Demikian pula saat kaum muslimin hijrah ke Madinah dan kesulitan mendapat air tawar. Satu-satunya sumber air bersih berasal dari sumur Rumah milik seorang Yahudi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menawarkan kebaikan:
“Barang siapa membeli sumur dan menjadikan gayung miliknya bersama dengan gayung milik kaum muslimin maka kelak ia di surga.”
Mendengar itu, Utsman pun membelinya dan menjadikannya wakaf untuk seluruh kaum muslimin.
Cinta Mendalam pada Al-Qur’an
Satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari Utsman adalah kecintaannya pada Al-Qur’an. Beliau adalah seorang mu’alim yang mendedikasikan hidupnya untuk kitab suci. Buah dari cintanya itu abadi hingga hari kiamat. Proyek pengumpulan Al-Qur’an dan penyeragaman bacaannya (dikenal sebagai Mushaf Utsmani) menjadi bukti nyata. Beliaulah yang meriwayatkan hadis agung:
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya.”
Kecintaannya tergambar dalam perkataannya yang masyhur: ”Kalau hati kita bersih, maka kita tidak akan pernah kenyang dengan Al-Qur’an.”
Interaksi beliau dengan Al-Qur’an sangat intens. Selama bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malam. Sebuah riwayat bahkan menyebut beliau pernah mengkhatamkannya dalam satu rakaat salat. Ketika beliau sudah larut dalam bacaan Al-Qur’an, tidak ada hal lain yang dapat mengganggunya.
Masa Kekhalifahan dan Wafat sebagai Syahid
Setelah Umar bin Khattab wafat, kaum muslimin mengangkat Utsman sebagai khalifah ketiga pada Muharram 24 H. Saat itu, usianya telah mencapai 70 tahun. Beliau memimpin pemerintahan Islam yang sudah mapan dan terstruktur.
Selama menjabat, beliau melakukan perluasan pertama Masjid al-Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Beliau mencetuskan pembentukan polisi keamanan, membangun gedung khusus pengadilan, dan mengembangkan sektor pertanian. Di bawah kepemimpinannya, wilayah Islam meluas hingga menaklukkan Syiria, Afrika Utara, Persia, dan Siprus. Beliau juga membentuk angkatan laut Islam yang pertama dan sangat kuat.
Namun, kebijakannya mengganti beberapa gubernur dengan figur yang lebih cakap menimbulkan ketidakpuasan. Para pejabat yang diturunkan itu kemudian memprovokasi dan bersekongkol untuk menjatuhkannya.
Puncaknya, para pemberontak mengepung rumah Khalifah Utsman selama 40 hari. Mereka memberinya dua pilihan: mundur dari jabatan atau dibunuh. Utsman memiliki kekuatan untuk melawan, tetapi beliau memegang teguh prinsip untuk tidak menumpahkan darah sesama muslim.
Pada bulan Dzulhijah 35 H, para pemberontak berhasil menerobos masuk ke rumahnya. Mereka menghunuskan pedang dan mengalirkan darah suci Utsman. Saat itu, beliau sedang berpuasa dan khusyuk membaca Al-Qur’an. Tetesan darah pertamanya jatuh tepat pada ayat:
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 137)
Malam sebelum wafat, Utsman bermimpi bertemu Rasulullah yang berkata, “Wahai Utsman, berbukalah bersama kami.” Benar saja, beliau berpuasa di pagi harinya dan wafat sebagai syahid pada hari itu. Kisahnya menjadi teladan abadi tentang cinta pada Al-Qur’an hingga akhir hayat. (Tri/dari berbagai sumber)