SURAU.CO. Beberapa tahun lalu Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang menganugerahkan sebuah gelar kehormatan kepada ulama kharismatik, KH Afifuddin Muhajir. Pemberian tersebut bukan tanpa alasan, karena sosok ulama panutan ini banyak kontribusinya dalam perkembangan ilmu fikih dan susul fikih di Indonesia.
K.H. Said Aqil Siroj memuji Kiai Afif dan menyebutnya sebagai “satu dari dua tokoh pakar ushul fikih yang ada di Indonesia. Bahkan Ulama besar Suriah, almarhum Syekh Wahbah al-Zuhaili, juga mengakui kealimannya. Syekh Wahbah sering menunjuk Kiai Afif untuk menggantikan dirinya dalam acara di Indonesia.
Publik luas mengenal Kiai Afif sebagai seorang pakar fikih dan ushul fikih. Namun, di balik kepakarannya, beliau adalah pribadi yang sangat berhati-hati. Beliau memegang teguh prinsip wirai dalam beragama. Sifat ini mendorongnya untuk selalu menjauhi perkara syubhat. Perkara syubhat adalah hal yang status hukum halal dan haramnya belum jelas.
Jejak Keilmuan
Jejak keilmuan Kiai Afif terbilang sangat unik. Ulama kelahiran Sampang ini menempuh hampir seluruh pendidikannya di satu tempat. Beliau setia menimba ilmu di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo. Lembaga ini berada di bawah asuhan almarhum KHR As’ad Syamsul Arifin. Hanya jenjang S2 yang beliau selesaikan di luar pesantren. Beliau meraih gelar magister dari Universitas Islam Malang (Unisma).
Kealiman Kiai Afif sudah tampak cemerlang sejak usia muda. Hal ini membuat Kiai As’ad memercayakan urusan keilmuan santri kepadanya. Bahkan, Kiai As’ad mengarahkan putranya sendiri, KHR Ach Fawa’id As’ad, untuk belajar privat kepada Kiai Afif.
Pengakuan atas kepakarannya juga datang dari berbagai tokoh besar. Kontribusi pemikiran Kiai Afif sangat luas. Beliau mampu mendayagunakan perangkat ushul fikih secara praksis. Tujuannya untuk menjawab problematika keagamaan dan kebangsaan. Beliau turut berkontribusi dalam perumusan konsep Islam Nusantara. Beliau juga berada di balik keputusan kontroversial larangan penggunaan panggilan kafir bagi non-muslim.
Lebih dari itu, Kiai Afif piawai membahas demokrasi dan negara Pancasila. Beliau mengkajinya dari sudut pandang ushul fikih yang matang. Fakta menariknya, “naskah awal piagam Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dan Islam pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983, merupakan tulisan tangan Kiai Afif muda yang didiktekan langsung oleh Kiai As’ad.”
Kiai Afif dan Pancasila
atu potret nyata dari sikap kehati-hatiannya adalah soal perbankan. Kiai Afif memilih untuk tidak memiliki rekening bank pribadi. Keputusan ini beliau ambil demi menghindari kesamaran hukum bunga bank. “Sebagaimana dimaklumi bahwa para ulama berselisih pendapat mengenai status hukum bunga bank; ada yang keras mengharamkannya dan ada pula yang toleran membolehkannya,” ungkapnya.
Meskipun kedua pendapat tersebut sah untuk diikuti, Kiai Afif memilih jalur yang lebih preventif. Beliau secara pribadi mengamalkan pandangan yang mengharamkan bunga bank. Sikap ini menunjukkan kedalaman ilmu dan keteguhan prinsipnya. Namun, beliau tetap menghormati mereka yang memiliki pandangan berbeda.
Salah satu pandangannya yang menarik adalah tentang Pancasila. Menurut KH Afifuddin Muhajir menyimpulkan bahwa Pancasila dalam hubungannya dengan syariat Islam berkisar di antara tiga hal.
Pertama, Pancasila tidak bertentangan dengan syariat karena berdasarkan kajian induktif atas teks-teks syariat, tak ditemukan satu ayat atau satu hadis pun yang bertentangan dengan isi Pancasila. Kedua, Pancasila selaras dengan syariat karena berdasarkan kajian tersebut, ditemukan beberapa ayat dan hadis yang sesuai dengan isi Pancasila. Dan Ketiga Pancasila adalah syariat itu sendiri karena dalam teks-teks syariat ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang patut menjadi dalil dan landasan bagi masing-masing sila.
Meski teguh pada prinsip, Kiai Afif juga menunjukkan fleksibilitas. Dalam kondisi darurat, beliau bisa mengambil jalan lain. Misalnya, saat hendak menunaikan ibadah haji. Beliau terpaksa membuka rekening bank untuk sementara waktu. Hal ini menunjukkan pemahamannya yang mendalam atas kaidah fikih.
Secara pribadi, Kiai Afif cenderung mengamalkan hukum azimah (cenderung memberatkan). Namun, untuk masyarakat umum, beliau merekomendasikan jalur rukhshah (keringanan). Ini adalah cerminan kebijaksanaannya sebagai seorang ulama panutan.
Kiprah dan Karyanya
Aktivitas keseharian Kiai Afif diisi dengan kegiatan keilmuan. Beliau rutin mengajar kitab kuning di Pesantren Sukorejo. Beliau juga mengampu perkuliahan di Universitas Ibrahimy. Secara struktural, beliau menjabat Wakil Pengasuh Pesantren Sukorejo. Beliau juga menjabat Naib Mudir (Wakil Direktur) Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah.
Di tingkat nasional, kiprahnya di PBNU sangat signifikan. Beliau pernah menjabat Katib Syuriah dari tahun 2000 hingga 2015. Saat ini, beliau mengemban amanah sebagai Rais Syuriah PBNU.
Di tengah kesibukannya, Kiai Afif tetap produktif menulis. Beliau memiliki sejumlah karangan kitab. Antara lain kitab Fath al-Mujib al-Qarib dan al-Luqmah al-Sha’ighah. Beliau juga menulis banyak buku, seperti Fiqh Tata Negara dan Membangun Nalar Islam Moderat.
Kini, banyak pihak berharap KH Afifuddin Muhajir terus menulis dan berkarya. Umat menaruh harapan besar padanya. Beliau dianggap sebagai penerus ulama besar seperti almarhum KH Sahal Mahfudz. Konsistensinya dalam berkarya akan menjadi warisan intelektual yang tak ternilai bagi Indonesia