CM Corner
Beranda » Berita » Kekuasaan: Membedah Makna dari Otoritas Hingga Legitimasi

Kekuasaan: Membedah Makna dari Otoritas Hingga Legitimasi

KEKUASAAN Dari Otoritas ke Legitimasi - Masykurudin Hafidz

Oleh: Masykurudin Hafidz

SURAU.CO Otoritas berasal dari kata Latin auctoritas, yang berarti memulai, menggerakkan, atau membuat sesuatu menjadi berkembang. Dengan kata lain, kata ini bermakna menginisiasi, memperindah, meningkatkan, dan memperkaya. Kata dasarnya, augere, berarti memulai sesuatu yang baru atau menambah sesuatu yang sudah ada.

Pada zaman kuno, istilah ini disematkan kepada seorang perintis yang pemikirannya koheren. Misalnya, seorang pendiri bangunan, kota, kerajaan, pembuat hukum, atau disiplin ilmu. Sosok inilah yang kemudian kita sebut sebagai author (pengarang atau penggagas).

Kelompok ini memiliki kapasitas untuk menginspirasi rasa hormat dan kemampuan agar pendapatnya didengar. Kualitas inilah yang disebut auctoritas. Seorang auctor adalah orang yang memiliki pengaruh dan nasihat yang cukup bergengsi untuk dikutip, sehingga ia digambarkan sebagai sosok yang memiliki ‘otoritas’.

Dari Otoritas Moral ke Otoritas Publik

Awalnya, kapasitas otoritas muncul dalam bentuk “moral”. Ia lahir dari kualitas bawaan, kebajikan, karunia, atau bahkan atribut eksternal seperti garis keturunan yang terhormat. Kini, kita memahami otoritas sebagai sesuatu yang lahir dari pengalaman, pengetahuan, penilaian, kehati-hatian, dan rekam jejak prestasi.

Dahlan: Bisikan Prabowo Subianto

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa orang dengan kualitas seperti itu menginspirasi rasa hormat. Inisiatif mereka adalah sesuatu yang orang lain merasa terikat untuk mengikutinya secara moral, meskipun tidak secara hukum. Namun, seseorang tidak dapat mempertahankan otoritas jika ia dikenal egois atau picik.

Meskipun demikian, otoritas bukanlah sesuatu yang bersifat pribadi semata. Seorang author dapat menyelimuti orang lain dalam otoritas mereka. Memiliki otoritas berarti berpartisipasi dalam sesuatu yang lebih besar dan lebih impersonal. Identitas impersonal ini kemudian bisa disimbolkan, bahkan menjadi rutinitas. Misalnya saat orang memuja kebijaksanaan, keberuntungan, atau hukum yang dipersonifikasikan.

Simbol-simbol otoritas ini sangat mudah dikomunikasikan dan ditransfer. Contohnya adalah gelar, sikap ilmiah, tanda pengenal, cap jabatan, hingga gaya berpakaian tertentu. Namun, otoritas juga sangat bergantung pada budaya. Apa yang dianggap otoritatif di satu budaya bisa menjadi objek cemoohan di budaya lain.

Otoritas dan Hak-Hak Jabatan

Dalam setiap kelompok atau institusi, harus ada aturan dan tuntutan kinerja. Ketika tugas dibebankan kepada anggota, ia menjadi sebuah kewajiban moral. Tentu saja, sebuah jabatan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu juga berkonotasi dengan hak untuk melakukannya. Seseorang yang memegang jabatan diberi wewenang atau diberdayakan untuk bertindak.

Ada empat cara utama dalam menentukan pemegang jabatan: aristokrasi, monarki, demokrasi, atau campuran dari semuanya. Salah satu proses yang melibatkan warga adalah demokrasi, yaitu pemerintahan oleh demos (rakyat). Dalam praktiknya, demokrasi berarti pemilihan pemegang jabatan oleh seluruh anggota. Namun, perlu dicatat, keistimewaan demokrasi bukanlah pada keefektifannya, melainkan pada nilai moralnya. Bagaimanapun, pemilihan untuk suatu jabatan hanya memberikan izin, bukan penguasaan penuh.

Hikmah Permintaan Maaf: Perjalanan Nikah Sahabat Karib

Tantangan Legitimasi dalam Demokrasi

Auctoritaspotestas (kekuasaan), dan potentia (kekuatan) adalah komponen penting dalam sebuah tatanan yang langgeng. Melegitimasi atau membenarkan sesuatu berarti terlibat dalam upaya untuk meyakinkan audiens bahwa sebuah institusi, praktik, atau jabatan adalah benar dan harus diakui sebagai otoritatif. Ironisnya, proses legitimasi itu sendiri membutuhkan otoritas dari pihak yang memberi legitimasi.

Legitimasi harus membangun hubungan yang masuk akal antara apa yang dihargai masyarakat dengan apa yang akan dilegitimasi. Kekuatan hubungan inilah yang menentukan kekuatan legitimasi itu sendiri. Selain itu, mereka yang diajak untuk mengakui otoritas harus merasa bahwa kebaikan dari lembaga itu adalah kebaikan bagi mereka juga.

Demokrasi melegitimasi dirinya bukan dengan hasil seperti efisiensi atau keberhasilan, tetapi dengan nilai-nilai yang melekat pada prosedurnya: kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan konsensus. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika legitimasi demokratis terbukti semakin tak terhindarkan, terutama dalam organisasi yang kompleks.

Namun, keberhasilan bukanlah hal yang bisa dikesampingkan, dan justru itulah yang tidak dapat dijamin oleh demokrasi. Akibatnya, legitimasi demokratis atas institusi apa pun pasti tidak akan pernah sepenuhnya meyakinkan. Untuk melegitimasi suatu otoritas baru, kita seringkali harus merongrong kepercayaan pada otoritas yang lama. Hal ini tampaknya hanya bisa dilakukan dengan dua cara: memohon kepada otoritas yang lebih tinggi, atau dengan melakukan penipuan.

Menyelaraskan Pikiran dan Perbuatan: Kunci Hidup yang Autentik dan Bermakna
× Advertisement
× Advertisement