Sejarah
Beranda » Berita » Plengkung Gading: Menguak Sejarah Gerbang Sakral Keraton Yogyakarta

Plengkung Gading: Menguak Sejarah Gerbang Sakral Keraton Yogyakarta

Plengkung Gading ( Foto /visitingjogja.jogjaprov.go.id)

SURAU.CO – Yogyakarta tidak pernah kehabisan cerita sejarah. Salah satu saksi bisu perjalanan kota ini adalah Plengkung Gading. Bangunan megah ini bukan sekadar gerbang biasa. Ia merupakan peninggalan bersejarah yang penuh makna. Bentuknya yang melengkung menjadi asal-usul namanya. Dalam bahasa Jawa, plengkung berarti melengkung.

Plengkung Gading terletak di daerah Jalan Gading Nomor 7, Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Bangunan ini menjadi ikon yang menarik bagi wisatawan. Warnanya yang putih kekuningan seperti gading memperkuat identitasnya. Maka, masyarakat mengenalnya sebagai gerbang melengkung berwarna gading. Namun, di balik nama populernya, tersimpan nama asli dan fungsi yang jauh lebih dalam.

Nama Asli dan Makna Filosofis

Meskipun populer dengan sebutan Plengkung Gading, nama aslinya adalah Plengkung Nirbaya. Nama ini tercatat dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Kata Nirbaya sendiri memiliki arti mendalam. Ia bermakna “bebas dari bahaya duniawi” atau “bebas dari belenggu duniawi”. Filosofi ini mencerminkan sifat kesederhanaan dan jalan menuju keabadian.

Plengkung Nirbaya adalah satu dari lima gerbang utama yang menjadi akses menuju jeron beteng Keraton. Keempat plengkung lainnya adalah Plengkung Tarunasura, Plengkung Madyasura, Plengkung Jagasurya, dan Plengkung Jagabaya. Dari kelimanya, Plengkung Gading dan Plengkung Tarunasura (dikenal juga Plengkung Wijilan) adalah yang paling terkenal karena keasliannya masih terjaga hingga kini.

Sejarah Pembangunan dan Fungsi Pertahanan

Plengkung Gading merupakan bagian dari sistem pertahanan Keraton. Menurut catatan sejarah, benteng yang mengelilingi keraton dibangun pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I sekitar tahun 1778 Masehi. Dinding benteng ini sangat kokoh. Strukturnya terdiri dari dua lapis tembok tebal yang berisi tanah.

Menyusuri Jejak Hari Pahlawan dalam Sejarah Bangsa

Dahulu, Keraton Yogyakarta juga dikelilingi oleh parit pertahanan. Menurut Badan Pelestarian Cagar Budaya DIY, parit ini memiliki lebar 10 meter dengan kedalaman 3 meter. Setiap plengkung ada jembatan gantungnya. Jembatan ini berfungsi sebagai akses masuk melintasi parit. Jika musuh datang, jembatan akan ditarik ke atas dan berfungsi sebagai pintu penutup yang kuat.

Keberadaan benteng dan parit ini bahkan tergambar dalam sebuah tembang kuno, Tembang Mijil.

Ing Mataram betengira inggil

Ngubengi kadaton

Plengkung lima mung papat mengane

Menggugah Semangat 10 November: Nyala Api Abadi dari Surabaya

Jagang jero, toyanira wening

Tur pinacak saji

Gayam turut lurung.

Artinya:

Mataram berbenteng tinggi

Pesantren Hidayatut Thullab, Dua Abad Penjaga Tradisi Salaf dan Kemandirian

Mengitari istana

Berpintu gerbang lima, hanya empat yang terbuka

Berparit dalam, airnya jernih

Dan berpagar kayu runcing

Pohon gayam di sepanjang jalan.

Namun, seiring waktu, fungsi pertahanan ini berubah. Sekitar tahun 1935, parit tersebut mulai hilang. Kini, bekas parit itu telah beralih fungsi menjadi jalan raya yang kita kenal sekarang.

Fungsi Sakral dan Mitos yang Melekat

Selain sebagai benteng, Plengkung Gading memiliki fungsi yang sakral . Gerbang ini menjadi pintu keluar khusus bagi jenazah Sultan yang wafat. Jenazah akan diusung melewati plengkung ini dalam perjalanan menuju tempat peristirahatan terakhir di Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri.

Fungsi sakral inilah yang melahirkan mitos paling terkenal terkait Plengkung Gading.

  1. Sultan yang Masih Hidup Dilarang Melintas

Konon, ada larangan keras bahwa Sultan yang masih hidup dan bertakhta melewati Plengkung Gading. Pantangan ini merupakan bagian dari paugeran atau aturan adat keraton. Larangan ini sudah berlaku sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Jogja, KRT Jatiningrat, pernah mengonfirmasi hal ini.

“Larangan melewati Plengkung Nirbaya ini sama seperti larangan Sultan mengunjungi pajimatan,” ujar KRT Jatiningrat atau Romo Tirun, dalam wawancara pada 17 Juni 2022, seperti  pada laman detikJateng.

Bagi keraton, melintasi gerbang ini selagi masih hidup dianggap mendahului takdir. Hanya rakyat biasa  boleh melewatinya kapan saja.

  1. Larangan untuk Rombongan Jenazah dan Pengantin

Masyarakat lokal, khususnya di sekitar Patehan, juga memiliki kepercayaan tersendiri. Mereka meyakini membawa iring-iringan pengantin atau jenazah (selain Sultan) melewati plengkung ini akan membawa sial. Ungkapan “Ora ilok mantenan lan nggotong mayit liwat Plengkung Gading” masih terdengar di kalangan warga. Secara praktis, mitos ini juga muncul karena kondisi plengkung yang sempit dan dapat menyebabkan kemacetan.

Plengkung Gading Hari Ini: Wisata dan Konservasi

Saat ini, Plengkung Gading menjadi destinasi favorit untuk berfoto. Suasananya yang klasik membawa pengunjung seolah kembali ke masa lampau. Keindahan malam di sekitarnya, dengan sorotan lampu yang temaram, menambah kesan magis dan vintage.

Di dekat plengkung, Anda juga dapat menemukan menara sirine. Menara ini hanya berbunyi dua kali setahun. Pertama, saat peringatan detik-detik Proklamasi 17 Agustus, dan kedua, sebagai penanda waktu berbuka puasa selama bulan Ramadhan.

Pemerintah terus berupaya menjaga keaslian bangunan cagar budaya ini. Pemerintah ini sempat memperbaiki bangunannya pada tahun 1986. Belakangan, isu kepadatan lalu lintas mendorong adanya rekayasa lalu lintas untuk mengurangi beban pada struktur bangunan. Langkah ini menunjukkan komitmen untuk melestarikan Plengkung Gading agar tetap berdiri kokoh bagi generasi mendatang.

Mengunjungi Plengkung Gading bukan hanya sekadar melihat bangunan tua. Ini adalah kesempatan untuk menyelami sejarah, budaya, dan filosofi mendalam yang membentuk Yogyakarta.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement