Opinion
Beranda » Berita » Bangsa dalam Genggaman: Pemuda Menentukan Arah Demokrasi

Bangsa dalam Genggaman: Pemuda Menentukan Arah Demokrasi

Bangsa dalam Genggaman: Pemuda Menentukan Arah Demokrasi
Bangsa dalam Genggaman: Pemuda Menentukan Arah Demokrasi

 

SURAU.CO – Sejarah bukanlah sekadar deretan tanggal dan peristiwa di buku pelajaran. Ia adalah cermin besar yang memantulkan siapa kita hari ini, sekaligus mengingatkan ke arah mana kita seharusnya melangkah. Dalam sebuah forum pendidikan pengawasan pemilu, seorang narasumber melontarkan pertanyaan yang menggugah: “Salahkah jika saya mengatakan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah kaum muda?”

Pertanyaan itu tak perlu dijawab panjang lebar, karena jawabannya sudah jelas tidak salah. Malah, sepenuhnya benar. Cobalah tengok ke belakang, ke tahun 1928. Saat itu, anak-anak muda berusia awal dua puluhan, dengan semangat yang menggebu dan pikiran yang melampaui zamannya, menciptakan tonggak bernama Sumpah Pemuda.

Tanpa internet, tanpa media sosial, bahkan tanpa telepon genggam,  mereka mampu menembus sekat suku, agama, dan daerah untuk menyatukan gagasan besar yaitu sebuah bangsa bernama Indonesia. Mereka tak punya teknologi canggih, tapi memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga yaitu kesadaran.

Kesadaran bahwa negeri ini sedang dijajah. Dan Kesadaran bahwa perubahan tidak bisa menunggu orang lain. Kesadaran bahwa perjuangan membutuhkan kebersamaan atau kolaborasi. Dari kesadaran itulah lahir pergerakan yang mengubah sejarah.

Shalat Dhuha: Cahaya Rezeki di Pagi Hari

Tantangan Baru di Era Digital

Kini, kita hidup di zaman yang serba cepat. Informasi datang silih berganti, kadang lebih cepat dari nalar kita memprosesnya. Semua terasa mudah, tetapi di balik kemudahan itu, sering kita kehilangan kedalaman. Banyak tahu, tapi kurang peduli. Pandai berkomentar, tapi enggan bergerak.

Padahal, di era ini, “perang” sudah bergeser bentuk. Jika para pemuda 1928 berjuang melawan kolonialisme fisik, maka generasi muda hari ini berjuang melawan penjajahan baru: ketidakpedulian dan disinformasi.

Salah satu medan juang terpenting masa kini adalah Pemilu. Momen lima tahunan ini bukan sekadar soal mencoblos, tapi wujud nyata dari tanggung jawab warga negara. Di sinilah masa depan bangsa dikunci dan arah kebijakan ditentukan. Maka, menjaga integritas Pemilu sesungguhnya adalah bentuk patriotisme paling modern.

Peran Kaum Muda: Dari Penonton Menjadi Pelaku

Kaum muda punya modal besar yaitu energi, kreativitas, dan kemampuan teknologi. Tapi modal itu baru berarti jika digunakan. Ada tiga peran penting yang seharusnya diambil generasi muda dalam menjaga demokrasi.

Pertama, menjadi benteng melawan hoaks dan disinformasi
Salah satu bahaya terbesar dalam Pemilu adalah berita bohong yang memecah belah. Kaum muda harus jadi penjaga kebenaran, bukan penyebar sensasi. Verifikasi sebelum membagikan. Bertanya sebelum percaya.

Ayat Kursi: Kunci Surga di Ujung Shalat

Kedua, mendorong dialog yang cerdas dan bermartabat
Daripada sibuk mengikuti arus perdebatan yang tidak jelas ujungnya, lebih baik kaum muda menaikkan kualitas wacana publik. Bicarakan ide, bukan gosip. Bahas program, bukan memperdebatkan warna seragam partai. Gunakan kreativitas untuk menciptakan ruang diskusi yang inspiratif dan mencerahkan.

Ketiga, menjadi mata dan telinga demokrasi
Di setiap wilayah TPS, di setiap kampung, ada peluang untuk berbuat nyata. Awasi proses Pemilu, laporkan pelanggaran, tolak politik uang. Bila jutaan kaum muda berperan aktif, maka ruang untuk kecurangan akan semakin menyempit.

Dari Refleksi Menuju Aksi

Dalam forum itu juga, sang narasumber menutup dengan kalimat yang menampar lembut:
“Usia kita berapa? Dan apa yang sudah kita lakukan untuk Republik ini?”

Kalimat sederhana, tapi menghentak. Ia menuntut kejujuran, bukan dari orang lain, tapi dari diri sendiri. Saat para pemuda 1928 mampu bersatu di tengah keterbatasan, masa kini menunggu, apakah kita yang hidup dalam segala kemudahan masih punya tekad yang sama.

Menjadi muda bukan hanya soal umur, tapi soal keberanian: berani berpikir, berani bergerak, berani mengambil peran. Karena sejatinya, sejarah Indonesia lahir dari tangan-tangan muda. Maka, masa depannya pun akan ditentukan oleh tangan-tangan muda yang masih mau berkarya, bukan sekedar berkomentar.

Mengapa Gontor Menolak Trimurti Sebagai Pahlawan Nasional

Demokrasi tidak akan bertumbuh dari barisan yang diam. Ia tumbuh dari semangat mereka yang peduli, mereka yang menjaga, mengawal, dan mencintai negeri ini dengan tindakan nyata.

Mari kita hidupkan kembali api itu, api yang pernah dinyalakan para pendahulu kita di tahun 1928. Agar bangsa ini tidak hanya besar karena sejarahnya, tetapi juga karena generasi mudanya yang terus menulis cerita baru bagi Indonesia.

Karena pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang hak memilih, tetapi juga tentang keberanian untuk peduli. Dan di situlah kaum muda seharusnya berdiri. (Nurul Mirsyad Mahmud)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement