Masjid
Beranda » Berita » Masjid Kyai Krapyak I: Mahakarya Spiritual dan Arsitektur Mataram di Magelang

Masjid Kyai Krapyak I: Mahakarya Spiritual dan Arsitektur Mataram di Magelang

SURAU.CO. Sekitar seratus meter timur Pondok Pesantren Darussalam Watucongol, berdiri megah sebuah masjid tua. Lokasinya di Dusun Santren, Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Masjid ini mempunyai nama Masjid Agung Kyai Krapyak I. Bangunan ini menyimpan jejak panjang sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa bagian tengah. Sekilas, bentuknya mirip Masjid Pathok Negara milik Kraton Ngayogyakarta. Ciri khasnya adalah gapura Mataram, mustaka di puncak atap, saka guru sebagai tiang utama, serta keramik batu alam buatan abad ke-17.

Halaman Masjid: Kolam, Makam, dan Keterkaitan Keraton

Di halaman depan, kolam ikan memantulkan bayangan serambi tua yang teduh. Sementara di belakangnya, terhampar kompleks makam para tokoh besar—saksi bisu perjalanan dakwah dan spiritualitas tanah ini. Di sanalah bersemayam Kyai Krapyak I, sang pendiri masjid. Beberapa ulama besar keturunannya pun dimakamkan di tempat yang sama.

Mereka termasuk Nyai Dalhar, istri Kyai Ahmad Dalhar. Beliau adalah pengasuh Pondok Darussalam Watucongol. Ada pula Mbah Mad, putra beliau dan Mbah Nyai Sa’idah kakak perempuan Kyai Dalhar. Nisan-nisan tua itu berhiaskan simbol Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ini menandakan hubungan erat masjid ini dengan tradisi kerajaan Mataram Islam.

Silsilah Ulama dan Kekuatan Dakwah Awal Islam Jawa

Menurut sejarah, Kyai Krapyak I adalah putra dari Kyai Raden Santri atau Pangeran Singosari. Ia adalah putra Ki Ageng Pemanahan dan saudara Panembahan Senopati. Panembahan Senopati adalah pendiri Kerajaan Mataram Islam. Dari silsilah ini tampak jelas, masjid ini bukan hanya rumah ibadah tetapi juga prasasti spiritual dan politik dari masa awal Islam Jawa.

Raden Santri dikenal luas sebagai ulama pertama. Beliau menyebarkan Islam di sekitar Gunung Merapi, Merbabu, dan Menoreh. Ketika wafat, beliau berwasiat bila meninggal dunia makamnya berada di atas bukit. Bukit itu kini mashur dengan sebutan Gunungpring. Ini menandakan kesederhanaan dan ketinggian spiritual yang ia wariskan.

Masjid Ki Marogan, Peninggalan Islam Palembang yang Terancam

Legenda Sapu Tangan: Simbol Barakah Ilmu dan Silaturahmi

Berdasarkan cerita tutur, Masjid Kyai Krapyak I diyakini sebagai hadiah Panembahan Senopati kepada keponakannya. Konon, masjid itu dibawa dari Kraton Kotagede ke Santren hanya dengan sapu tangan. Sekilas terdengar seperti legenda mistik, namun sesungguhnya kisah ini menyimpan makna mendalam: simbol barakah ilmu, kekuatan silaturahmi, dan harmoni antara ulama dan umara.

Bagi masyarakat Jawa-Islam, cerita semacam ini bukan sekadar mitos, melainkan bahasa spiritual. Di balik kisahnya tersimpan ajaran tentang keagungan ilmu dan keikhlasan dakwah—bahwa yang tampak mustahil di mata manusia, bisa terwujud oleh kekuatan iman dan niat yang suci.

Arsitektur Tradisional: Saksi Perubahan Zaman dan Simbol Makna

Dari segi arsitektur, masjid ini menjadi saksi perubahan zaman. Masjid ini berdiri pertama kali pada tahun 1618 M. Masjid ini telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran terjadi pada tahun 1856, 1920, 1970, 2002, dan terakhir 2008.

Meski begitu, bentuk dasarnya tetap mempertahankan gaya arsitektur tradisional Jawa. Empat saka guru melambangkan empat sahabat Nabi. Atap tumpang tiga melambangkan tingkatan iman, Islam, dan ihsan. Mustaka di puncak atap berbentuk daun kluwih. Dalam bahasa Jawa, ini berarti linuwih (kelebihan). Ini adalah simbol doa agar umatnya memiliki kelebihan dalam ilmu dan amal.

Perubahan pada bangunan masjid dapat dibaca seperti lembaran sejarah hidup. Pada periode awal (1920–1970), masjid tampak sederhana. Masjid memiliki tiang kayu dan dinding putih. Periode 1970–2002, masjid mulai diperluas dan lantainya diganti keramik serta dinding serambinya terdapat lengkungan meruncing. Renovasi besar-besaran terlaksana tahun 2002.

Kisah Masjid Taqwa Metro: Simbol Dakwah dan Persatuan Masyarakat Lampung

Arah Kiblat dan Niat Hati: Ketepatan Tradisional

Menariknya, arah kiblat masjid ini tidak lurus ke Kakbah, melainkan sedikit menyerong—seperti banyak masjid tua di Jawa. Menurut para takmir, ini bukan kekeliruan, tapi ketepatan tradisional berdasarkan ilmu falak kuno. “Yang penting bukan garis lantai yang lurus, tapi niat di hati,” ujar mereka.

Masjid Kyai Krapyak I bukan hanya tempat ibadah, tapi juga pusat spiritual dan kultural masyarakat Gunungpring. Dari sinilah tradisi tahlilan, manaqiban, dan pengajian rutin terus hidup, mempererat ikatan sosial warga. Setiap Jumat pagi, suara azan dari menara berpadu dengan gemericik air kolam di bawah serambi—seolah mengingatkan, bahwa ibadah sejati tumbuh dari hati yang tulus.

Warisan Abadi yang Terus Terjaga

Kini, meski telah berusia lebih dari empat abad, masjid ini belum juga tercatat sebagai cagar budaya. Padahal, nilai historis dan spiritualnya jelas tak ternilai. Ia bukan sekadar bangunan tua, melainkan penjaga ingatan kolektif umat—tentang masa lalu yang beriman, masa kini yang terus berjuang, dan masa depan yang bertumbuh dalam cahaya.

Ketika senja tiba di Gunungpring, bayangan menara jatuh perlahan ke kolam tua di depan serambi. Airnya memantulkan warna langit yang temaram, seolah menyimpan doa yang tak pernah usai. Pada saat-saat seperti itu, kita merasa perlu merenung: bahwa sejarah bukan hanya tentang yang telah berlalu, melainkan tentang bagaimana kita menjaga warisan itu dengan hati yang hidup—hati yang masih mampu merasakan getar keimanan yang dulu pernah menumbuhkan tempat ini. (kareemustofa)

Menapak Jejak Spiritualitas: Sejarah Masjid Al-Furqon Bandar Lampung

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement