Surau.co. Warisan menurut Imām Mālik ibn Anas dalam Al-Muwaṭṭa’ bukan sekadar pembagian harta peninggalan, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan antara kasih sayang dan keadilan setelah kematian. Dalam pandangan beliau, sistem waris adalah bagian dari ibadah sosial yang memelihara kehormatan keluarga, menegakkan keadilan, dan memastikan hak setiap ahli waris terjaga. Keadilan dalam warisan bukanlah hasil kompromi manusia, tetapi ketetapan Allah yang melampaui nalar duniawi.
Harta Sebagai Amanah, Bukan Kepemilikan Mutlak
Bagi Imām Mālik, pemahaman awal tentang warisan harus dimulai dari kesadaran bahwa harta hanyalah titipan. Tidak ada manusia yang benar-benar memiliki, karena hakikat kepemilikan berada di tangan Allah. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau mengutip prinsip dasar dari Al-Qur’an:
قَالَ مَالِكٌ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Imām Mālik berkata: Allah Ta‘ala berfirman, “Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu; bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Farā’iḍ)
Ayat ini (QS. an-Nisā’ [4]: 11) menegaskan bahwa pembagian warisan bukan keputusan keluarga, tetapi perintah ilahi. Harta yang diwariskan harus didistribusikan dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, tanpa memihak atau menambah-nambah bagian.
Dalam fenomena modern, sering kali keluarga justru terpecah karena perebutan warisan. Sebagian ingin “adil menurut manusia,” padahal Imām Mālik menekankan bahwa adil menurut Allah jauh lebih sempurna daripada adil menurut perasaan.
Menegakkan Keadilan Melalui Ilmu dan Amanah
Keadilan dalam pembagian warisan menurut fiqh Mālikī menuntut pemahaman yang tepat terhadap hukum, bukan sekadar niat baik. Karena itu, Imām Mālik menekankan pentingnya kehadiran orang berilmu untuk memastikan hak setiap pihak tidak dilanggar.
Beliau meriwayatkan:
قَالَ مَالِكٌ: لَا يُقَسَّمُ الْمِيرَاثُ حَتَّى يُعْرَفَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الدُّيُونِ وَالْوَصِيَّةِ
Imām Mālik berkata: “Tidak boleh membagi warisan sebelum diketahui apa yang menjadi tanggungan si mayit, baik berupa hutang maupun wasiat.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Farā’iḍ)
Hadis ini menunjukkan betapa warisan bukan sekadar pembagian, melainkan proses etis yang harus didahului dengan tanggung jawab. Sebelum harta dibagikan, kewajiban si mayit—baik berupa hutang, zakat yang belum ditunaikan, maupun wasiat yang sah—harus diselesaikan.
Dalam kehidupan sehari-hari, pesan ini sering terabaikan. Banyak keluarga segera membagi harta tanpa meneliti tanggungan pewaris, sehingga keadilan berubah menjadi ketidakberkahan. Imām Mālik mengajarkan bahwa amanah lebih tinggi nilainya daripada harta.
Fenomena Sehari-hari: Warisan yang Menjadi Ujian Keluarga
Tidak sedikit keluarga yang hangat di masa hidup, tetapi tercerai-berai setelah kematian salah satu anggotanya. Warisan, yang seharusnya menjadi pengikat kasih, justru menjadi sumber sengketa. Di sinilah hikmah fiqh Mālikī menemukan relevansinya.
Imām Mālik mengingatkan dalam riwayat berikut:
قَالَ مَالِكٌ: مَنْ أَخَذَ مِنَ الْمِيرَاثِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ فَهُوَ كَالسَّارِقِ
Imām Mālik berkata: “Barang siapa mengambil bagian dari warisan bukan haknya, maka ia seperti pencuri.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Farā’iḍ)
Ungkapan keras ini menunjukkan bahwa mencuri tidak hanya terjadi di pasar atau jalanan, tetapi juga bisa terjadi di rumah sendiri. Setiap upaya untuk memanipulasi bagian warisan, menekan ahli waris lemah, atau menunda pembagian dengan alasan duniawi, sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap perintah Allah.
Dalam konteks sosial modern, ini adalah peringatan agar umat Islam berhati-hati. Harta warisan yang diperoleh dengan cara zalim tidak akan membawa berkah, bahkan bisa menjadi sumber malapetaka batin dan sosial.
Wasiat, Cinta yang Teratur dalam Syariat
Salah satu tema penting dalam Al-Muwaṭṭa’ adalah penjelasan tentang wasiat. Menurut Imām Mālik, wasiat adalah bentuk kasih sayang terakhir seorang mukmin kepada keluarganya—namun kasih yang diatur oleh hukum agar tidak berubah menjadi ketidakadilan.
Beliau meriwayatkan:
قَالَ مَالِكٌ: لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Imām Mālik berkata: “Tidak boleh ada wasiat bagi ahli waris.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Waṣāyā)
Aturan ini sejalan dengan sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
(HR. Abū Dāwūd)
Maknanya, seorang muslim boleh berwasiat, tetapi tidak boleh melanggar ketentuan warisan yang sudah ditetapkan oleh Allah. Ini adalah bentuk keseimbangan antara kasih pribadi dan keadilan universal. Wasiat diperuntukkan bagi pihak di luar ahli waris, atau untuk tujuan sosial seperti sedekah dan pendidikan.
Dalam realitas hari ini, prinsip ini mengajarkan pentingnya disiplin moral dalam mengatur harta agar tidak menimbulkan konflik antar generasi.
Keadilan Sebagai Warisan Sejati
Bagi Imām Mālik, keadilan adalah warisan paling berharga yang bisa ditinggalkan seseorang. Harta akan habis, rumah bisa dijual, tetapi keadilan yang diingat oleh anak cucu akan menjadi doa yang abadi.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
“Dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada kitab-kitab sebelum kamu, serta mereka yakin akan adanya akhirat.”
(QS. al-Baqarah [2]: 4)
Ayat ini memberi landasan spiritual bagi hukum waris: bahwa setiap keputusan duniawi akan diadili di akhirat. Maka, pembagian warisan bukan hanya soal angka, tetapi juga soal niat. Jika dilakukan dengan adil dan ikhlas, ia menjadi amal yang terus mengalir bahkan setelah kematian.
Menjaga Warisan Sebagai Ibadah Sosial
Dalam konteks masyarakat modern, ajaran Imām Mālik dalam Al-Muwaṭṭa’ menghadirkan keseimbangan antara hukum dan kemanusiaan. Warisan tidak boleh menjadi alat kekuasaan, tetapi jembatan cinta dan keadilan. Islam memandang bahwa menjaga hak ahli waris berarti menjaga tatanan sosial agar tetap damai dan saling menghormati.
Membagi warisan bukan sekadar menuntaskan administrasi kematian, tetapi melanjutkan akhlak hidup orang yang telah tiada. Setiap rupiah yang dibagikan dengan benar adalah bentuk pengabdian kepada Allah dan penghormatan kepada pewaris.
Penutup: Keadilan yang Tidak Pernah Mati
Imām Mālik mengajarkan bahwa warisan sejati bukan harta benda, melainkan nilai-nilai keadilan yang ditinggalkan. Ketika seseorang wafat, apa yang tersisa bukan jumlah kekayaan, tetapi kejujuran dalam menjalankan amanah.
Keadilan setelah kematian bukan hanya tentang hukum, tetapi tentang kemanusiaan yang hidup dalam diri setiap muslim. Maka, mengikuti panduan Al-Muwaṭṭa’ berarti bukan hanya menjalankan fiqh, tetapi juga meneladani akhlak Rasulullah ﷺ—menjadikan kematian bukan akhir cinta, melainkan awal keadilan yang abadi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
