Kisah
Beranda » Berita » Panah Takwa di Malam Sepi

Panah Takwa di Malam Sepi

Panah Takwa di Malam Sepi

SURAU.CO – Malam telah larut. Rembulan pucat menggantung di langit, menebarkan cahaya temaram di atas atap-atap rumah sebuah kampung terpencil. Di sanalah hati seorang pemuda bernama Zahir tertambat. Hatinya terpikat pada Zahra, seorang gadis kampung yang kesederhanaannya memancarkan pesona luar biasa. Setiap gerak-geriknya terasa begitu anggun di mata Zahir.

Malam itu, Zahir melihat Zahra keluar dari rumahnya. Sebuah selendang tipis menutupi kepalanya. Hati Zahir  berdesir. Karena terdorong oleh gejolak rasa yang tak tertahan, ia pun melangkah pelan. Ia mengikuti bayangan Zahra dari kejauhan. Langkahnya senyap seakan menyatu dengan keheningan malam.

Rayuan di Malam Sepi

Zahra berjalan menuju ujung kampung dan ia berhenti di dekat sebuah sumur tua yang dikelilingi pepohonan rindang. Tempat itu benar-benar sepi. Hanya suara jangkrik dan desau angin malam yang menjadi saksi. Zahir  merasa inilah saat yang tepat. Harapan membuncah di dadanya. Ia mendekati Zahra dengan jantung berdebar kencang.

“Zahra,” panggil Zahir  dengan suara sedikit bergetar.

Zahra menoleh. Wajahnya tenang di bawah sinar rembulan dan tak ada raut terkejut yang ia tampakkan.

Diam yang Menyelamatkan: Kisah Abu Bakar Menjaga Lisan

Zahir mencoba merangkai kata rayuan. Namun, sebelum ia sempat berbicara lebih jauh, Zahra mendahuluinya dengan sebuah pertanyaan lembut.

“Lihatlah, apakah orang-orang sudah tidur semua?”

Pertanyaan itu seketika membuat hati Zahir berbunga-bunga. Ia salah mengartikannya. Zahir  mengira Zahra khawatir ada yang melihat mereka. Ia menganggap ini adalah isyarat sambutan. Sebuah lampu hijau untuk niatnya yang tersembunyi.

“Tentu, akan aku pastikan untukmu,” jawab Zahir  dengan semangat meluap.

Dengan gembira, Zahir  segera beranjak. Ia berjalan mengelilingi kampung kecil itu. Ia mengintip dari kejauhan. Semua jendela rumah telah gelap. Pintu-pintu terkunci rapat. Tak ada suara manusia, tak ada cahaya lampu minyak yang tersisa. Kampung itu telah sepenuhnya terlelap dalam buaian malam.

Kisah Makanan dari Langit

Zahir  kembali menemui Zahra. Wajahnya berseri-seri penuh kemenangan. Ia merasa telah berhasil memenuhi syarat dari gadis pujaannya.

“Sudah kuperiksa, Zahra. Semua orang sudah tidur. Tak ada satu pun yang terjaga,” lapornya dengan napas sedikit terengah. Senyumnya terkembang lebar dan seraya menanti balasan yang ia harapkan.

Pertanyaan Bagai Petir

Zahra menatap Zahir  dalam-dalam. Tatapannya jernih dan menusuk kalbu. Ia tidak tersenyum seperti yang Zahir  duga. Sebaliknya, ia melontarkan pertanyaan kedua. Sebuah pertanyaan yang mengubah segalanya.

“Bagaimana pikiranmu, apakah Allah Azza wa Jalla tidur di saat ini?”

Pertanyaan itu bagai petir di malam yang sunyi. Zahir  tersentak. Seluruh kegembiraan dan angan-angannya sirna dalam sekejap. Tubuhnya terasa kaku. Kata-kata Zahra bergema di telinganya, menghancurkan tembok syahwat yang ia bangun di dalam hati. Ia menunduk karena malu pada dirinya sendiri.

Pekerja Migran yang Membangun Masjid di Kampungnya: Antara Kerja Keras dan Iman

Dengan suara lirih dan  penuh getar, Zahir  menjawab, “Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak dikuasai kantuk.”

Zahra mengangguk pelan. Suaranya tetap lembut tetapi penuh kekuatan. Ia memberikan nasihat yang menjadi panah takwa sehingga menancap lurus ke jiwa Zahir .

“Dzat Yang Maha Jaga selalu melihat kita meskipun manusia tidak melihat kita. Dengan demikian kita lebih patut takut pada-Nya daripada pada manusia.”

Kekaguman Iman yang Kokoh

Hening. Zahir  tak sanggup berkata-kata. Ia akhirnya mengerti. Ketakutan Zahra bukanlah pada pandangan manusia tetapi karena kekokohan imannya. Ia takut pada pandangan Allah, Sang Pencipta yang tak pernah lalai. Malam yang tadinya terasa sepi dan penuh kesempatan, kini terasa begitu ramai. Zahir  merasa diawasi oleh tatapan yang Maha Mengetahui.

Zahir  memandang Zahra dengan cara yang berbeda. Bukan lagi dengan nafsu, melainkan dengan rasa kagum dan hormat yang mendalam. Gadis di hadapannya bukanlah sekadar bunga desa. Ia adalah benteng iman yang kokoh. Malam itu, di bawah tatapan rembulan, Zahir tidak mendapatkan apa yang diinginkan nafsunya. Sebaliknya, ia mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga: sebuah pelajaran tentang hakikat rasa takut yang sesungguhnya. Kisah gadis kampung yang takut kepada Allah ini menjadi titik balik dalam hidupnya.

 

× Advertisement
× Advertisement