Surau.co – Banten secara geografis berada di ujung barat Pulau Jawa. Provinsi ini berjarak sekitar 300 kilometer dari Jawa Tengah dan lebih dari 600 kilometer dari Jawa Timur. Dua provinsi yang menjadi pusat penutur bahasa Jawa di Indonesia.
Namun uniknya, sebagian masyarakat Banten, khususnya di wilayah utara, secara alami menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu, bahkan saya rasakan sendiri saat berkunjung ke sana dua tahun lalu. Populasi penutur bahasa Jawa di wilayah ini cukup besar, yakni lebih dari 3 juta jiwa. Mereka menyebar di sepanjang wilayah utara provinsi tersebut. Antara lain di wilayah barat dan utara Kabupaten Tangerang, barat dan utara Kota Serang, serta sebagian wilayah Cilegon.
Fakta ini menunjukkan bahwa kita bisa menyebut utara Banten sebagai “enklave linguistik” bagi penutur bahasa Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Istilah “enklave” merujuk pada wilayah yang mempertahankan identitas budaya atau bahasa yang sama meskipun terpisah secara geografis dari wilayah asalnya.
Bahasa Jawa Banten dipengaruh Cirebon dan Demak
Penulis Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol. 13 No. 2 Juli 2024 dari Universitas Muhammadiyah Tangerang menjelaskan bahwa penutur bahasa Jawa mulai masuk ke Banten sejak era Kesultanan Banten. Sunan Gunung Jati, salah satu Walisongo asal Cirebon, mendirikan Kesultanan tersebut. Pada masa itu, Sunan memerintahkan putranya, Maulana Hasanuddin, untuk memimpin Banten setelah mereka bersama Kesultanan Demak merebut wilayah tersebut dari Pajajaran.
Hubungan antara Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon serta Demak pun terjalin sangat erat. Meskipun kini Cirebon secara administratif termasuk wilayah Jawa Barat, masyarakatnya tetap menggunakan bahasa Jawa dengan dialek mirip Banyumasan. Seiring waktu, kini masyarakat Cirebon mengembangkan dialek Jawa sendiri melalui proses akulturasi budaya.
Situasi politik pada masa itu mendorong banyak masyarakat Cirebon dan Demak bermigrasi ke Banten. Sebagian besar dari mereka menetap dan membentuk komunitas Jawa, khususnya di wilayah utara. Karena itu, komunitas ini memperkuat keberadaan bahasa Jawa, terutama di bekas pusat pemerintahan Kesultanan Banten.
Selain karena pengaruh Kesultanan Cirebon dan Demak, para warga Jawa juga bermigrasi ke Banten secara alami untuk berdagang. Aktivitas ini telah berlangsung sejak abad ke-16.
Perbedaan Penuturan di Beberapa Kata
Seperti halnya masyarakat Jawa di daerah lain, masyarakat Jawa Banten juga menerapkan tingkatan dalam berbahasa. Mereka menggunakan bahasa ngoko saat berbicara dengan teman sebaya, dan menggunakan bahasa babasan (krama) saat berbicara dengan orang yang lebih tua.
Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Jawa, penutur bahasa Jawa di Banten Utara menampilkan ciri khas tersendiri. Perbedaan ini menjadi semakin jelas ketika kita membandingkannya dengan bahasa Jawa dari Jawa Tengah atau Jawa Timur. Hal ini terjadi karena masyarakat Banten Utara berinteraksi dengan suku Sunda dan Betawi yang memang menetap di sekitar mereka.
Karena wilayah ini secara geografis berbatasan langsung dengan penutur bahasa Sunda dan Betawi, maka pengaruh dialek kedua suku tersebut masuk ke dalam bahasa Jawa Banten. Pengaruh itu terjadi pada tingkat kosakata (leksikon) dan sebagian kecil pada fonologi.
Salah satu bentuk akulturasi yang paling mencolok adalah perubahan vokal “o” menjadi “e” pada beberapa kata. Misalnya, kata “yasudah” dalam bahasa Jawa biasanya diucapkan “yowis” atau “yawis” dalam dialek Cirebon, tetapi masyarakat Banten mengucapkannya sebagai “yewis.” Contoh lainnya, kata “sira” (kamu) dalam dialek Banyumasan, berubah menjadi “sire”.
Bukti Kekayaan Bahasa Jawa
Masyarakat Banten turut memperkaya keragaman bahasa Jawa melalui penggunaan dialek mereka sendiri. Kita tahu bahwa bahasa Jawa memiliki keragaman yang luar biasa. Bahkan masyarakat dari wilayah yang berdekatan pun menggunakan gaya bahasa yang berbeda. Misalnya, bahasa Jawa di wilayah utara Jawa Timur berbeda dengan yang digunakan di wilayah selatan atau daerah Mataraman.
Jika kita bergeser ke barat, perbedaan logat dan cara bertutur juga tampak jelas di wilayah Jawa Tengah. Bahkan masyarakat Semarang berbicara dengan gaya yang berbeda dibandingkan masyarakat Cilacap.
Keragaman ini menjadi warisan budaya sekaligus anugerah bagi bangsa Indonesia. Karena itu, kita perlu menjaga dan mensyukurinya bersama.