Oleh Hamid Basyaib
PAUS FRANCIS seakan mengamalkan saran Nabi Muhammad ketika ia bertemu Wakil Presiden Amerika J.D Vance di Vatikan. Jika kau sampai saat terakhir masih sempat berbuat baik, kata Nabi di Madinah abad ke-7, maka berbuat baiklah, bahkan kalaupun sekadar dengan menanam sebiji sawi.
Dan yang dilakukan Paus Francis jauh daripada sekadar menanam sebiji sawi. Ia memandang mata lawan bicaranya, dan menyampaikan pesan yang sangat gamblang: Harap segera hentikan pembantaian warga Gaza. Tentu ia paham siapa pelaku langsung kekejian genosida yang terus berlarut itu. Tapi ia juga tahu tanpa restu Amerika tak mungkin Israel terus menantang seluruh dunia dengan rentetan aksi biadab itu.
Beberapa jam setelah ia menanam pesan itu ke benak Vance, Francis wafat. Mundur sedikit ke tiga bulan sebelumnya, ia juga menanamkan kritik lantang terhadap kebijakan draconian President Trump tentang imigran, yang berdampak langsung pada deportasi ribuan orang — dengan menerapkan undang-undang dari masa akhir abad ke-18.
Mungkin karena kecaman ini maka Trump menyampaikan belasungkawa formal dengan dingin. Ia, katanya, ikut berduka atas wafatnya Paus, dan bersimpati kepada “orang-orang yang mencintainya” — ini cara Trump mengecualikan dirinya sendiri.
Sudah termashur kesederhanaan gaya hidup Francis, paus pertama non-Eropa dalam 13 abad terakhir (paus di abad ke-8 dari Suriah); merujuk negara asal, bukan etnisitas (leluhur Francis adalah orang Italia; ia seperti pulang ke kampung buyutnya ketika harus pindah ke Vatikan).
Ia membuat gelisah para staf kepausan ketika, saat pertama kali berdinas di Vatikan, menolak apartemen 12 kamar sebagai kediaman resmi paus, dan memilih paviliun tamu dua kamar. “Kita lihat saja sampai kapan (perilaku) seperti ini bakal berlangsung,” keluh seorang staf. Ternyata ia harus mengeluh cukup lama. Paus Francis menetap di situ selama 12 tahun penuh, sampai ia wafat tiga hari lalu.
Ia menolak menggunakan mobil resmi tahan peluru, dan menggantinya dengan mobil sederhana, seperti yang digunakannya di Jakarta tahun lalu. Tentu ia paham risiko besar yang konstan mengintai seorang pemimpin tertinggi Gereja Katolik — misalnya seperti yang terjadi pada Yohannes Paulus II, paus yang mengangkatnya menjadi kardinal, yang ditembak seorang pemuda Turki 44 tahun lalu.
Risiko seberat itu ditawarnya dengan enteng: dengan naik mobil biasa, katanya, ia bisa bebas memeluk dan dirangkul umat; dan bisa bercanda dengan suster yang mendampinginya. Juga: ia bisa bebas berselfi, hobi barunya.
Ia layak masuk The Guinness Book of World Records sebagai paus pertama dari ordo Jesuit (ia bukan anggota ordo Franciscan, meskipun mengambil nama Santo Francis Assisi sebagai julukan kepausan). Mungkin ia juga paus pertama, atau setidaknya sangat langka, yang naik tahta ketika paus yang digantikannya masih hidup, membuat sutradara Hollywood tergoda untuk membuat “Two Popes” — dimainkan dengan bagus oleh Jonathan Pierce (yang sangat mirip Francis) dan Anthony Hopkins sebagai Paus Benedict XVI (sangat mirip Hopkins).
*
Meski bukan penganut “Teologi Pembebasan” ala Dom Gutierrez, Francis jarang menyembunyikan sikap liberalnya, sejak ia masih uskup Buenos Aires, tempat ia selalu bepergian di tengah kota dengan bus umum. Barangkali dialah paus paling liberal dalam beberapa ratus tahun terakhir, jika bukan sepanjang sejarah Gereja Katolik.
Ia menggelisahkan mayoritas besar para pastur di seluruh dunia dengan komentar-komentar gamblangnya tentang isu-isu yang menjadi pilar iman Katolik. Ia bersikap empatik pada aborsi. Ia mendesak penghapusan hukuman mati di seluruh dunia. Ia membolehkan seorang waria dibaptis.
Ia bahkan menunjukkan sikap toleran yang mengejutkan terhadap ateisme, hal yang niscaya menegasi Gereja dan tak pernah dilakukan oleh pemimpin agama mana pun.
Ia mengritik “sebagian pastur” yang terobsesi dengan isu-isu aborsi dan perkawinan sejenis yang, katanya, “bukan jantung pesan Kristus.”
*
Ia mengakui resmi keanggotaan penuh perempuan dalam Roman Curia, semacam kabinet dan pusat administratif yang membantu kerja kepausan. Ia menjadikan solusi atas perubahan iklim sebagai fokus Vatikan.
Ia meminta maaf kepada anak-anak dan orangtua mereka yang menjadi korban pelecehan seksual oleh para pastur di banyak tempat sejak berpuluh tahun lalu — sebuah rahasia umum yang tak pernah disinggung terbuka oleh semua paus terdahulu.
Tapi para pendukungnya boleh kecewa. Dengan segenap sikap terbukanya itu, ia berpegang teguh pada doktrin bahwa dosa adalah dosa. Perkawinan sejenis, misalnya, tak pernah ditindaklanjuti dengan semacam fatwa atau konsili yang membolehkannya.
Namun, katanya, pernikahan warga LBGTQ boleh diberkati oleh gereja, asalkan tidak dalam konteks liturgi resmi. Begitu juga dengan ateisme, meskipun sejak lama Vatikan memutuskan bahwa keselamatan bisa diraih di luar Gereja — bukan hanya orang Katolik pemegang monopoli kunci surga.
Tapi ia, sebagai uskup agung Buenos Aires, melakukan tindakan langka: merestui perkawinan seorang pastur. Ketika orang itu kecewa dengan perkawinannya dan ingin kembali ke Gereja, Francis menerimanya dengan bijaksana, dengan syarat orang itu harus menjalani dulu kehidupan selibat selama beberapa tahun. Duda itu kemudian menjadi pastur yang hebat dan sangat dihormati.
Semasa bertugas di Buenos Aires itu ia menentang keras perkawinan sejenis, isu yang kala itu dibahas dengan hangat di Senat. Ia menulis surat resmi kepada Senat, dan Senat mencela surat itu karena berisi banyak sekali peristilahan abad pertengahan yang kabur dan membingungkan. Senat akhirnya meloloskan rancangan itu menjadi undang-undang. Keruwetan isi surat Uskup Jorge Mario Bergoglio turut menyumbang pada pembentukan UU itu.
Seorang pastur mengungkap kepada koran “La Nacion” Argentina: surat itu penuh berisi kesalahan strategis yang disengaja. Dengan kecerdikan ini maka doktrin gereja tetap disuarakan dengan lantang dan posisi teologisnya dijaga, tapi “agenda pribadi” Uskup terwujud.
Terhadap homoseksualitas, ia pernah berujar: “Memang saya siapa, kok merasa berhak menghakimi?” Tentu saja itu hanya ungkapan diplomatis untuk menyatakan bahwa ia toleran terhadap gaya hidup kaum gay, meskipun gereja yang dipimpinnya tidak mungkin mengesahkannya. Faktanya tentu saja ia berhak menghakimi apa saja — seperti mandat yang diterimanya atas hidup 1,8 miliar umat Katolik.
*
Bagaimanakah wajah Vatikan sepeninggal Francis? Tampaknya mudah diduga: 135 kardinal akan memilih paus baru yang mungkin berlawanan sikap dan gaya dari paus penggandrung sepak bola itu.
Setelah belasan tahun pilar-pilar Katolikisme diguncang tipis-tipis — ada beberapa yang tebal juga — oleh seorang paus “liberal” yang populer, tampaknya para kardinal akan sepakat bahwa kini saatnya mengukuhkan kembali tiang-tiang yang sempat agak doyong itu.
Dunia berderap semakin kencang. Perubahan-perubahan sosial-politik berjalan dengan cara yang semakin mengancam iman. Gereja Katolik mau tak mau memang harus menyesuaikan diri dengan arus perubahan itu, tetapi tak mungkin mengadopsi atau menoleransinya terlalu jauh — seperti yang tampak dicoba dengan eksperimen-eksperimen Francis.
Gereja Katolik justeru harus berfungsi menjaga nilai-nilai religius di tengah gelombang sekularisasi yang makin lanjut sekarang ini dan di masa-masa berikutnya, yang niscaya diakselerasi oleh AI dan temuan-temuan iptek yang mustahil dibendung.
Seorang francis baru di Vatikan adalah sebuah risiko besar. Bukan mustahil istana Katolik pun akan ikut tersapu badai zaman, seperti sejak lama terjadi di Eropa.
Mungkinkah pemilihan paus pada conclave bulan depan akan mirip seperti gambaran dalam “Conclave” karya Sutradara Jerman Edward Berger (dari novel Robert Harris), yang sangat diwarnai intrik politik dan membelah barisan kardinal ke dalam beberapa kubu kandidat?
Kemungkinan ini terbuka, meski tentulah tidak seperti digambarkan The Godfather III, yang menggambarkan pembunuhan paus dengan diracun oleh konspirasi sejumlah kardinal, dengan latar-belakang kerugian bisnis Vatikan, sampai melibatkan mafia Amerika untuk mengatasi problem finansial itu; hal yang membuat marah para mafia Eropa yang menjadi sekutu bisnis tradisional Vatikan.
*
Bagaimanapun, berkat proses institusionalisasi selama dua milenium, Gereja Katolik semakin lebih dipandang sebagai institusi politik ketimbang persekutuan spiritual atau religius, setidaknya oleh orang di luar hampir dua miliar penganut Katolik. Bahkan, politisasi ini untuk sebagian memang diciptakan oleh para pemimpinnya, betapapun dengan alasan imaniah.
Di tengah dunia yang tak kunjung selaras dengan misi Vatikan — perang Rusia-Ukraina, aneka bencana alam yang dahsyat, drama kemanusiaan di Timur Tengah, juga resureksi Donald Trump hingga empat tahun mendatang — pendirian politik Vatikan tentu diperlukan.
Kritik-kritik Paus Francis sejak 2016 terhadap monster Trump, misalnya, tampaknya lumayan sebagai pengimbang kecil. Ini usikan pemimpin sebuah negara-kota religius terhadap presiden republik modern yang lebih besar daripada kerajaan Romawi. Ia menanam kerikil yang menjengkelkan di sepatu Donald Trump.
Bulan Mei nanti, setelah asap putih menggeliat lambat di langit Vatikan, biji apa yang akan ditanam oleh pengganti Paus Francis?*
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.