SURAU.CO. Sumatera Barat tidak hanya memproduksi pahlawan laki-laki, tetapi juga banyak pahlawan wanita asal Sumatera Barat. Sumatera Barat telah melahirkan banyak pahlawan wanita yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan kesetaraan perempuan. Pahlawan-pahlawan wanita ini telah memberikan kontribusi besar dalam sejarah Indonesia dan menjadi inspirasi bagi perjuangan perempuan di masa kini. Salah satu pahlawan wanita asal Sumatera Barat adalah Siti Manggopoh yang terkenal dengan perang Belasting.
Mengenal Siti Manggopoh
Siti Manggopoh adalah seorang perempuan Minangkabau yang lahir di Manggopoh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada abad ke-19. Perempuan kelahiran 1 Mei 1880 M tumbuh dan besar dalam keluarga petani dan tidak pernah mengenyam bangku pendidikan di sekolah formal. Beliau belajar agama dan adat di surau yang ada di kampungnya.
Siti Manggopoh terlahir dari ayah bernama Sutan Tariak dan Ibu Mak Kipap. Dalam keluarganya, Siti Manggopoh adalah anak bungsu dan perempuan satu-satunya. Siti manggopoh pergi belajar ke surau dan gelanggang persilatan bersama saudara laki-laki atau uda beliau. Kehidupan surau dan gelanggang persilatan inilah yang banyak mempengaruhi tumbuh kembang dan kepribadian Siti Manggopoh .
Siti Manggopoh menikah dengan pemuda Minang bernama Rasyid dan kemudian bergelar Bagindo Magek, sering dipanggil Hasik Bagindo Magek. Siti Manggopoh menikah saat masih usia remaja yaitu 15 tahun. Dari pernikahan tersebut, Siti Manggopoh melahirkan seorang anak perempuan bernama Dalima.
Sebagai seorang pejuang perempuan, Siti Manggopoh tetap menjalankan tugasnya sebagai Ibu yang lembut dengan baik. Siti Manggopoh tetap membawa anaknya dalam pelarian dari kejaran Belanda selama 17 hari. Siti Manggopoh membawa anaknya bersama beliau selama masa penahanan di Lubuk Basung, Pariaman, dan Padang. Karena keberanian dan ketangguhannya dalam memimpin pasukan, masyarakat memberikan julukan “Singa Betina dari Minangkabau” kepada Siti Manggopoh.
Pada 22 Agustus 1965, Siti Manggopoh menghembuskan napas terakhirnya di Gasan Gadang, Padang Pariaman, dan kemudian jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Siti Manggopoh. Siti Manggopoh adalah sosok perempuan pejuang kemerdekaan yang mempunyai peran besar dalam melawan penjajah, tanpa meninggalkan tugasnya sebagai seorang ibu.
Belasting
Siti Manggopoh mempunyai peran penting dalam perlawanan melawan penjajah di Minangkabau, terutama dalam melawan pungutan pajak oleh Belanda. Pada awal Maret 1908 M Belanda menerapkan peraturan pajak di Minangkabau menggantikan peraturan tanaman paksa terhadap rakyat. Siti Manggopoh orang yang paling depan menentang penerapan peraturan ini di Minangkabau.
Peraturan pajak tersebut dikenal dengan sebutan Belasting Op De Bedrifsen Ander Inkomsten (pajak atas penghasilan perusahaan atau penghasilan lainnya). Pajak tidak hanya dikenakan terhadap mata pencaharian rakyat, tetapi juga terhadap harta pusaka. Sedangkan di Minangkabau harta pusaka adalah kepunyaan kaum secara komunal yang dimiliki secara turun temurun.
Jelas masyarakat Minangkabau melakukan penolakan terhadap peraturan belasting yang dibuat Belanda ini. Penolakan inilah yang memicu perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan terhadap Belanda pertama kali terjadi di Kamang, yang kemudian dikenal dengan perang Kamang dan perlawanan kemudian meluas sampai ke berbagai daerah, termasuk ke Manggopoh.
Perang Belasting
Siti Manggopoh memimpin perlawanan terhadap kolonialis Belanda dalam Perang Belasting. Peraturan belasting yang memberatkan rakyat dan tindakan Belanda yang semena-mena terhadap rakyat telah melukai hati rakyat Minangkabau, termasuk Siti Manggopoh. Perasaan terluka ini akhirnya berubah menjadi perlawanan. Siti Manggopoh bersama pemuda militan Manggopoh kemudian membentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang, yaitu Rasyid, Siti, Majo Ali, St. Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik, Tabuh St. Mangkuto, Sain St. Malik, Rahman Sidi Rajo, dan Kana.
Pada tengah malam dalam kegelapan, badan perjuangan ini mengadakan pertemuan di sebuah masjid untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut Siti Manggopoh memimpin pengucapan ikrar untuk melawan kebatilan Belanda sampai darah penghabisan dengan taruhan nyawa. Bersumpah untuk siap mati melawan penjajah yang telag memeras dan menindas rakyat.
Dalam musyawarah tersebut, mereka menyusun rencana untuk menyerang pasukan Belanda dan merencanakan berbagai strategi dan skenario agar penyerangan berhasil. Siti Manggopoh dan kawan-kawannya kemudian menuju markas Belanda pada Kamis malam, 15 Juni 1908, sesuai dengan waktu penyerangan yang telah ditentukan.
Siti Manggopoh menjadi sosok penting dalam penyerangan tersebut dengan menyelinap masuk ke dalam markas Belanda. Sementara itu, rombongan lainnya bersembunyi di semak-semak sekitar markas Belanda. Siti dan pasukannya mendekati markas tanpa menimbulkan kecurigaan dari pihak Belanda yang sedang berpesta pora dengan berbagai makanan dan minuman mewah, serta ditemani para wanita cantik.
Siti berhasil memadamkan lampu di markas Belanda dan memberi komando kepada teman temannya untuk menyerang. Dengan menjalankan siasat yang cermat, Siti dan pasukannya menewaskan 53 serdadu penjaga markas Belanda. Namun dalam penyerangan tersebut ada dua orang serdadu belanda yang lolos dan kabur ke Lubuk Basung. Belanda kewalahan menghadapi Siti Manggopoh dan pasukannya. Belanda murka dan melakukan aksi balasan dengan mendatangkan bantuan dari Bukittinggi dan Padang Pariaman. Orang-orang kemudian mengenal perang itu sebagai Perang Belasting.
Akhir Perjuangan Siti Manggopoh
Belanda yang tak puas hati, melakukan patroli ke perkampungan penduduk mencari orang-orang yang telah menyerang markas mereka. Tidak terkecuali Siti dan keluarganya menjadi sasaran perburuan Belanda. Pasukan Siti bubar dan bersembunyi di hutan. Saat melarikan diri, Siti dan suaminya mendengar kabar bahwa Belanda telah membumihanguskan nagari Manggopoh. Karena tidak ingin kampungnya makin porak poranda, Siti dan suaminya menyerahkan diri.
Belanda mengajukan pertanyaan kepada Siti, “Apakah kamu menyesal?”. Siti menjawab, “iya, saya menyesal. Saya menyesal tidak membunuh semua Belanda malam itu”. Sebagai perempuan, Siti Manggopoh cukup tegas, mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Beliau memiliki prinsip yang kuat dan rasa cintanya pada rakyat terutama rakyat Minangkabau.
Kolonial Belanda memenjarakan mereka di Lubuk Basung selama 14 bulan. Kemudian, kolonial Belanda memindahkan Siti dan keluarganya ke penjara Pariaman selama 16 bulan. Setelah itu, kolonial Belanda memindahkan mereka lagi ke penjara Padang selama 12 bulan. Setelah 12 bulan di penjara Padang, kolonial Belanda membuang Rasyid, suaminya ke Manado, sementara Siti dibebaskan karena sedang memiliki anak kecil. Sejak saat itu, genderang perang di Manggopoh tidak terdengar lagi. Siti tinggal di rumah mengasuh anaknya, yang tak lama kemudian Siti meninggal dunia.