SURAU.CO – Di sebuah desa yang subur, seorang petani tua terbaring lemah di ranjangnya. Usianya yang senja dan penyakit yang menggerogoti tubuhnya membuatnya sadar. Ia merasa ajalnya sudah dekat. Namun, ada satu hal yang mengganjal pikirannya. Bukan tentang ladang atau ternaknya, melainkan nasib anak-anaknya. Mereka tumbuh menjadi pemuda yang kuat, tetapi sangat malas.
Pikirannya tidak tenang. Ia mengkhawatirkan masa depan mereka. Hari-hari mereka habiskan tanpa kerja yang berarti. Mereka lebih suka duduk-duduk di beranda atau berkeliling desa tanpa tujuan. Sang ayah tahu, kemalasan hanya akan membawa mereka pada kemiskinan. Ia harus meninggalkan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar warisan tanah. Ia harus meninggalkan sebuah pelajaran hidup.
Dengan sisa tenaganya, ia memanggil semua anaknya untuk berkumpul di sisinya. Napasnya terdengar berat, tetapi sorot matanya tajam dan penuh makna.
“Anak-anakku, kemarilah,” bisiknya lirih.
Para pemuda itu mendekat, memasang telinga mereka. Mereka mengira akan mendengar pesan terakhir tentang pembagian ladang.
“Dengarkan wasiat ayah baik-baik,” lanjut sang petani tua. “Ayah menyimpan sebuah harta karun yang sangat besar untuk kalian. Harta itu terpendam di dalam ladang yang biasa ayah tanami. Namun… ayah lupa di mana letak persisnya.”
Mendengar kata “harta karun”, mata anak-anaknya yang semula sayu langsung berbinar. Mereka saling berpandangan, menyembunyikan senyum penuh harap. Mereka membayangkan peti berisi kepingan emas dan perhiasan berkilauan. Setelah memberikan wasiat itu, sang ayah akhirnya mengembuskan napas terakhirnya dengan tenang.
Perburuan Dimulai
Tanpa membuang waktu untuk berduka terlalu lama, keesokan harinya mereka langsung bersiap. Mereka membawa cangkul, sekop, dan semua alat gali yang mereka miliki. Gairah untuk menjadi kaya raya mengalahkan rasa lelah dan malas yang selama ini membelenggu mereka.
“Kita mulai dari ujung utara!” seru anak sulung dengan semangat.
Mereka pun mulai menggali. Cangkul diayunkan dengan kekuatan penuh. Tanah yang subur itu mereka bongkar tanpa henti. Keringat membasahi seluruh tubuh mereka, sesuatu yang jarang sekali terjadi. Matahari terasa sangat menyengat. Tangan mereka yang lembut kini mulai melepuh dan terasa perih.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Mereka telah menggali seluruh petak ladang dari satu ujung ke ujung yang lain. Ladang yang dulu rapi kini tampak berantakan seperti lautan tanah yang dibolak-balik. Namun, peti harta karun yang mereka impikan tidak kunjung ditemukan.
“Aku sudah lelah, Kak. Mungkin ayah hanya berbohong,” keluh si bungsu sambil melempar cangkulnya.
“Mustahil ayah berbohong. Kita pasti melewatkan sesuatu. Ayo gali lebih dalam lagi!” jawab yang lain, meski semangatnya mulai padam.
Akhirnya, mereka menyerah. Tidak ada satu pun benda berharga yang mereka temukan. Hanya tanah, batu, dan cacing. Mereka duduk di tepi ladang dengan perasaan kecewa dan putus asa.
Benih Harapan yang Baru
Di tengah keheningan, salah satu dari mereka memandangi ladang yang telah mereka “rusak”. Tiba-tiba, sebuah pemikiran melintas di benaknya.
“Lihatlah tanah ini,” katanya sambil menunjuk ke seluruh area ladang. “Tanahnya sudah gembur. Kita sudah mencangkulnya begitu dalam.”
Semua mata tertuju pada ladang itu. Mereka menyadari sesuatu.
“Kau benar,” sahut yang sulung. “Tanah ini sudah siap untuk ditanami. Akan sangat sia-sia jika kita biarkan begini saja.”
Sebuah ide cemerlang pun muncul. Daripada menunggu sesuatu yang tidak pasti, lebih baik mereka memanfaatkan kondisi tanah yang sudah sempurna itu. Mereka mengambil keputusan untuk menebar benih jagung dan gandum, tanaman yang biasa ayah mereka tanam.
Panen Melimpah Ruah, Harta Karun yang Sebenarnya
Mereka mulai bekerja lagi. Kali ini bukan untuk mencari emas, tetapi untuk menanam harapan. Mereka menabur benih dengan teliti. Merawat tanaman itu setiap hari. Mereka menyiraminya, membersihkan gulma, dan melindunginya dari hama. Kemalasan telah hilang sepenuhnya, digantikan oleh rasa tanggung jawab.
Waktu berlalu, dan tanaman mereka tumbuh subur. Jauh lebih subur dari yang pernah mereka lihat sebelumnya. Batang-batang jagung berdiri kokoh, sementara gandum menguning keemasan. Saat musim panen tiba, hasilnya sungguh di luar dugaan. Panen yang mereka dapatkan melipat ganda dari hasil panen ayah mereka biasanya. Lumbung mereka penuh sesak dengan jagung dan gandum berkualitas terbaik.
Sambil menatap tumpukan hasil panen yang menggunung, mereka akhirnya tersenyum. Bukan senyum karena keserakahan, melainkan senyum karena kepuasan.
“Jadi… inikah harta karun terpendam yang ayah maksud?” salah satu dari mereka bergumam takjub.
“Bukan emas atau perak,” jawab yang tertua sambil menepuk pundak adiknya. “Harta karun itu adalah hasil dari jerih payah kita. Ayah tidak berbohong. Ia hanya menunjukkan di mana kita bisa menemukannya.”
Mereka semua tertawa bahagia. Mereka akhirnya menyadari hakikat di balik pesan terakhir sang ayah. Harta karun yang sesungguhnya bukanlah benda yang tersembunyi di dalam tanah, melainkan potensi yang terpendam di dalam diri mereka. Sebuah potensi yang hanya bisa digali melalui kerja keras, ketekunan, dan kemauan untuk mengubah nasib. (Tri)