SURAU.CO – Sering kali kita melabeli seseorang sebagai “pemalas“. Stigma ini melekat pada mereka yang menunda pekerjaan. Banyak orang menganggap malas adalah cacat karakter. Namun, ilmu pengetahuan menunjukkan hal berbeda. Rasa malas ternyata jauh lebih kompleks. Ia bukanlah pilihan sadar untuk tidak melakukan apa-apa. Sebaliknya, ia adalah gejala dari masalah yang lebih dalam. Mari kita tinjau dari berbagai aspek mengapa orang bisa menjadi malas.
Aspek Psikologis: Pertarungan dalam Pikiran
Pikiran kita memegang kendali terbesar. Beberapa kondisi psikologis bisa memicu kemalasan. Salah satunya adalah rasa takut akan kegagalan. Seseorang mungkin memilih tidak memulai sama sekali. Mereka takut hasil akhirnya tidak sempurna. Kondisi ini sering terkait dengan perfeksionisme. Tuntutan untuk sempurna justru melumpuhkan tindakan.
Selain itu, perasaan kewalahan juga menjadi penyebab utama. Tugas yang terlihat terlalu besar dan rumit bisa membuat otak “mati”. Akibatnya, kita menundanya terus-menerus. Kurangnya motivasi intrinsik juga berperan penting. Jika seseorang tidak melihat tujuan atau manfaat dari suatu tugas, otaknya tidak akan melepaskan dopamin. Dopamin adalah hormon yang mendorong kita untuk bertindak. Tanpa imbalan yang jelas, keinginan untuk bergerak pun hilang.
Aspek Biologis: Sinyal dari Tubuh
Tubuh Anda juga bisa menjadi sumber kemalasan. Kondisi biologis dan fisiologis sangat memengaruhi tingkat energi. Kurang tidur adalah penyebab paling umum. Tanpa istirahat yang cukup, fungsi kognitif menurun drastis. Konsentrasi menjadi sulit dan energi terkuras habis. Anda merasa lelah bahkan sebelum memulai hari.
Nutrisi yang buruk juga memberikan dampak serupa. Makanan tinggi gula dan lemak olahan menyebabkan lonjakan energi singkat. Namun, setelahnya tubuh akan mengalami kelelahan parah. Kekurangan zat gizi penting seperti zat besi juga bisa menyebabkan anemia. Gejalanya termasuk kelelahan kronis yang sering disalahartikan sebagai kemalasan. Terkadang, ada kondisi medis yang mendasarinya, seperti gangguan tiroid atau depresi klinis.
Psikolog Klinis, Adisti Wulandari, M.Psi., menjelaskan,
“Rasa malas sering kali bukan tentang keengganan untuk bekerja. Ia adalah sinyal dari masalah yang lebih dalam, seperti kelelahan mental, ketakutan, atau bahkan gangguan kesehatan yang belum terdiagnosis.”
Kutipan ini menegaskan bahwa kita perlu melihat lebih jauh. Jangan langsung menghakimi rasa malas sebagai kelemahan.
Aspek Lingkungan dan Sosial
Lingkungan tempat kita berada sangat membentuk kebiasaan. Lingkungan yang tidak mendukung bisa mematikan semangat. Misalnya, kritik yang terus-menerus tanpa adanya apresiasi. Hal ini dapat menyebabkan “learned helplessness” atau ketidakberdayaan yang dipelajari. Seseorang merasa usahanya tidak akan pernah dihargai. Akhirnya, ia berhenti mencoba.
Kurangnya struktur dan tujuan yang jelas juga menjadi masalah. Tanpa rutinitas atau target harian, sangat mudah untuk kehilangan arah. Kita cenderung memilih kegiatan yang memberi kepuasan instan. Contohnya seperti menjelajahi media sosial tanpa henti. Ini jauh lebih mudah daripada mengerjakan tugas yang menantang.
Lalu, Bagaimana Cara Mengatasinya?
Memahami mengapa orang bisa menjadi malas adalah langkah pertama. Setelah mengetahui akarnya, kita bisa mencari solusi yang tepat.
Pecah Tugas Besar: Ubah tugas raksasa menjadi langkah-langkah kecil. Fokuslah menyelesaikan satu langkah kecil setiap kali.
Bangun Momentum: Mulailah dengan tugas termudah. Keberhasilan kecil akan memicu motivasi untuk melanjutkan.
Perbaiki Gaya Hidup: Pastikan Anda cukup tidur. Konsumsi makanan bergizi seimbang. Lakukan olahraga ringan secara teratur.
Ciptakan Lingkungan Kondusif: Rapikan meja kerja Anda. Jauhkan ponsel saat fokus bekerja. Beri tahu orang sekitar tentang target Anda.
Cari Bantuan Profesional: Jika rasa malas terasa kronis dan mengganggu hidup, jangan ragu. Konsultasikan dengan psikolog atau dokter untuk penanganan lebih lanjut.
Pada akhirnya, kemalasan bukanlah identitas. Ia adalah sebuah kondisi yang bisa diubah. Dengan memahami penyebabnya, kita bisa lebih berempati pada diri sendiri dan orang lain. Kita dapat mulai membangun kebiasaan produktif secara perlahan namun pasti.