SURAU.CO – Mengupas sejarah Nabi Muhammad saw. bukan sekadar mengenang masa lalu. Lebih dari itu, tindakan ini berarti menggali sumber inspirasi, hikmah, dan pedoman hidup yang tak lekang oleh waktu. Beliau adalah sosok sentral dalam Islam, pembawa risalah terakhir, sekaligus teladan paripurna bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, memahami perjalanan hidup, perjuangan dakwah, peristiwa-peristiwa kunci, dan keluhuran akhlaknya menjadi kunci untuk memperkuat iman serta mengamalkan ajaran Islam secara kaffah.
Masa Kecil dan Penerimaan Wahyu: Terbentuknya Al-Amin
Nabi Muhammad saw. lahir di Makkah pada Tahun Gajah, sekitar tahun 570 Masehi (Al-Mubarakfuri, 2002). Ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib, wafat sebelum beliau lahir, sementara ibunya, Aminah binti Wahab, meninggal dunia saat beliau baru berusia enam tahun. Kemudian, sejak kecil, kakeknya, Abdul Muthalib, mengasuh Muhammad saw. Selanjutnya, pamannya, Abu Thalib, yang melanjutkan pengasuhan tersebut.
Meskipun lingkungan Makkah saat itu sarat dengan praktik jahiliyah, hal ini tidak mencemari kepribadiannya. Beliau tumbuh menjadi pemuda, dan masyarakat luas mengenalnya karena kejujuran, integritas, serta kebijaksanaannya, sehingga mereka memberinya julukan “Al-Amin” (yang terpercaya) dan “As-Shadiq” (yang benar) (Lings, 1983). Sifat-sifat mulia ini memang telah tertanam jauh sebelum beliau menerima amanah sebagai Rasul.
Pada usia 40 tahun, ketika sedang berkhalwat (menyendiri untuk beribadah) di Gua Hira, Nabi Muhammad saw. menerima wahyu pertama melalui Malaikat Jibril. Peristiwa ini jelas menandai dimulainya periode kenabian dan risalah Islam. Wahyu pertama, yakni Surat Al-‘Alaq ayat 1-5, memerintahkan untuk membaca dan mengagungkan nama Allah Swt. (Al-Qur’an Al-Karim).
Perjuangan Dakwah di Makkah: Tantangan, Keteguhan, dan Isra’ Mi’raj
Nabi Muhammad saw. memulai dakwah awal secara sembunyi-sembunyi, menyasar orang-orang terdekat. Setelah beberapa tahun, turunlah perintah Allah Swt. agar beliau berdakwah secara terang-terangan (Al-Mubarakfuri, 2002). Perjuangan dakwah di Makkah kemudian menghadapi tantangan berat dari kaum kafir Quraisy. Mereka menolak ajaran tauhid karena mengancam tradisi, status sosial, dan ekonomi mereka. Akibatnya, kaum kafir Quraisy melancarkan berbagai bentuk intimidasi, siksaan fisik, hingga boikot ekonomi kepada Nabi dan para pengikutnya.
Salah satu peristiwa monumental yang terjadi pada periode Makkah, sekitar setahun sebelum Hijrah, adalah Isra’ Mi’raj. Isra’ merupakan perjalanan malam hari Nabi Muhammad saw. dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina. Sementara itu, Mi’raj adalah naiknya Nabi Muhammad saw. ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah shalat lima waktu langsung dari Allah Swt. (Al-Mubarakfuri, 2002). Peristiwa luar biasa ini terjadi di tengah duka cita mendalam setelah wafatnya istri tercinta, Khadijah ra., dan paman pelindungnya, Abu Thalib (dikenal sebagai Tahun Kesedihan). Karenanya, Isra’ Mi’raj menjadi penghiburan, penguatan iman, dan penegasan atas status kenabian Muhammad saw.
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzzammil: 10, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 2019). Ayat ini menjadi salah satu penguat bagi Nabi Muhammad saw. dalam menghadapi penolakan.
Hijrah ke Madinah: Fondasi Negara dan Masyarakat Islam
Setelah 13 tahun berdakwah di Makkah, Nabi Muhammad saw. mendapat perintah untuk berhijrah ke Yatsrib (Madinah). Hijrah ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan sebuah strategi penting dan titik balik penyebaran Islam (Lings, 1983). Di Madinah, kaum Anshar (penduduk asli Madinah yang telah memeluk Islam) menyambut Nabi Muhammad saw. dengan hangat. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi sebagai pusat ibadah, pendidikan, dan kegiatan sosial. Selanjutnya, beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin (penduduk Makkah yang berhijrah) dengan kaum Anshar, sehingga tercipta ikatan persaudaraan yang kokoh berdasarkan iman.
Salah satu tonggak penting dalam sejarah Nabi Muhammad saw. di Madinah adalah ketika beliau menyusun Piagam Madinah (Mitsaq Al-Madinah). Konstitusi ini mengatur kehidupan bermasyarakat yang majemuk, menjamin hak dan kewajiban semua kelompok, termasuk non-Muslim, serta meletakkan dasar negara yang adil (Al-Mubarakfuri, 2002).
Peperangan, Perjanjian, dan Kemenangan: Membela Kebenaran
Pada periode Madinah, umat Islam juga menghadapi serangkaian peperangan defensif seperti Perang Badar, Uhud, dan Khandaq, yang menguji ketangguhan iman dan kepemimpinan Nabi saw. (Al-Mubarakfuri, 2002). Selain itu, terdapat peristiwa penting seperti Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriah. Meskipun secara kasat mata terlihat merugikan umat Islam, perjanjian ini justru membuka jalan bagi dakwah yang lebih luas dan damai. Puncaknya adalah Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah) pada tahun 8 Hijriah. Nabi Muhammad saw. memasuki Makkah dengan damai, memberikan ampunan massal, dan menghancurkan berhala-berhala di sekitar Ka’bah (Lings, 1983).
Haji Wada’ dan Penyempurnaan Risalah
Menjelang akhir hayatnya, pada tahun 10 Hijriah, Nabi Muhammad saw. melaksanakan ibadah haji yang kemudian dikenal sebagai Haji Wada’ (Haji Perpisahan). Ini adalah satu-satunya ibadah haji yang beliau laksanakan setelah menerima amanah sebagai Rasul, dan lebih dari seratus ribu umat Islam mengikutinya (Al-Mubarakfuri, 2002). Dalam kesempatan ini, beliau menyampaikan khutbah yang sangat monumental, yang dikenal sebagai Khutbah Wada’. Khutbah ini berisi pesan-pesan universal tentang hak asasi manusia, persaudaraan Islam, kesetaraan, larangan riba, perlakuan baik terhadap perempuan, dan penegasan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah pedoman hidup. Pada hari Arafah saat Haji Wada’ inilah turun wahyu, yang kemudian para ulama menafsirkannya sebagai penutup risalah: “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al-Ma’idah: 3, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 2019).
Teladan Agung Rasulullah saw.: Akhlak Mulia yang Abadi
Kehidupan Nabi Muhammad saw. adalah manifestasi dari Al-Qur’an. Aisyah ra. pernah berkata, “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” (HR. Ahmad, seperti dikutip dalam Al-Mubarakfuri, 2002). Beberapa aspek teladan Nabi yang patut kita contoh adalah kejujuran, amanah, kasih sayang, keadilan, kesabaran, keteguhan, kedermawanan, kesederhanaan, kepemimpinan yang bijaksana, dan sifat pemaafnya.
Sebagaimana Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” (QS. Al-Ahzab: 21, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 2019).
Rasulullah Wafat dan Warisan Abadi
Setelah menyelesaikan tugas risalahnya dengan sempurna, Nabi Muhammad saw. wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah di Madinah (Al-Mubarakfuri, 2002). Wafatnya beliau tentu saja meninggalkan duka mendalam bagi umat Islam. Namun, warisan agung yang beliau tinggalkan – Al-Qur’an dan Sunnah – tetap menjadi pedoman hidup abadi bagi seluruh umat manusia.
Mempelajari sejarah Nabi Muhammad saw. adalah perjalanan spiritual yang memperkaya jiwa dan akal. Dari setiap fase kehidupan beliau, mulai dari masa pra-kenabian, perjuangan dakwah yang penuh liku, hingga peristiwa-peristiwa penting seperti Isra’ Mi’raj dan Haji Wada’, semuanya mengandung pelajaran berharga. Teladan akhlaknya menjadi cermin bagi kita untuk memperbaiki diri. Oleh karena itu, semoga kita senantiasa mampu meneladani sunnah-sunnah beliau dalam setiap aspek kehidupan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.