SURAU.CO. Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa pada tahun 2024, dari 8,8 juta pemain judol, tercatat 3,8 juta yang memiliki pinjaman. Angka ini meningkat dari tahun sbelumnya yang berjumlah 2,4 juta pemain judol adalah pengutang.
“Di tahun 2024, dari 8,8 juta pemain, 3,8 jutanya memiliki pinjaman. Jadi, dia main judi online plus minjam uang di bank,” ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di Gedung PPATK, Jakarta. Menurut Ivan bermain judol turut berdampak secara sosial, dan memberikan tekanan yang luar biasa bagi penjudi tersebut. Selain itu, ungkap Ivan, berdasarkan data PPATK pada 2024, kelompok masyarakat berpendapatan rendah cenderung menghabiskan 73 persen uangnya untuk bermain judol. “Dulu kemungkinan dapat Rp1 juta dibuang cuma Rp300 ribu. Sekarang dapat Rp1 juta, Rp900 ribu bisa terbuang untuk judi online, atau bahkan seluruhnya. Ini bergerak terus dari 2017. Semakin boros untuk judi online,”tambahnya.
Ivan menyebut bahwa pemain judol pada Januari-Maret atau Q1 2025 adalah mereka yang berpenghasilan rendah, yakni Rp0-5 juta. PPATK mencatat angkanya mencapai 71,6 persen dari total 1.066.970 pemain. “Dibandingkan dengan 2024, 70,7 persen dari total pemain, 9.787.749 orang yang bertransaksi. Dibayangkan ini sangat masif saudara-saudara kita berpenghasilan rendah terlibat judi online,” ujar Ivan.
Perputaran Tembus 1.200 Triliun
Selain itu PPATK mencatat perputaran uang dalam judi online mencapai Rp 1.200 triliun sampai akhir tahun 2025. Jumlah transaksi pada periode Januari hingga Maret 2025 sebesar 39.818.000 transaksi. Perkiraannya hingga akhir tahun 2025 jumlah transaksi akan tertekan hingga sekitar 160 juta transaksi. “Tanpa intervensi serius, perputaran dana dari perjudian online bisa mencapai Rp 1.200 triliun sampai akhir tahun 2025,” ujar Ivan, dalam siaran persnya Jumat (9/5). “Namun, angka-angka yang ada ini bukan sekedar angka, namun dampak sosial dari persoalan besar kecanduan judi online ini adalah konflik rumah tangga, prostitusi, pinjaman online dan lain-lain,” jelas Ivan.
Lebih lanjut Kepala PPATK menjelaskan dari data PPATK, mayoritas para pemain judi online yaitu berasal dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. “Dilihat dari data kuartal 1 2025, dari 1.066.000 pemain judi online, 71% berasal dari masyarakat yang berpenghasilan Rp5 juta kebawah. Sedangkan tahun 2024, 70,7% dari total pemain 9.787.749 pemain. Sementara itu pada tahun 2023 80% dari total pemain 3.797.429, ”ungkapnya
Provinsi Teratas
Data kuartal I-2025, yang data PPATK menunjukkan jumlah deposit para pemain berusia 10-16 tahun lebih dari Rp 2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp 47,9 miliar. Sedangkan deposit yang tertinggi usia antara 31-40 tahun mencapai Rp 2,5 triliun. PPATK juga mencatat lima provinsi dengan transaksi judi online paling banyak. Pada kuartal pertama 2025, kasus judol paling banyak terjadi di Jawa Barat (Jabar). “Nah saat ini bergerak lima wilayah yang paling masif terkait dengan adanya transaksi judi online itu. Pertama adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Timur,” katanya.
Menurut Ivan angka-angka yang ada ini bukan sekedar angka, namun dampak sosial dari persoalan besar kecanduan judi online ini adalah konflik rumah tangga, prostitusi, pinjaman online dan lain-lain. Judi online tidak dapat berdiri sendiri, banyak dampaknya. Judol tidak hanya merugikan bagi finansial, tetapi juga berdampak buruk bagi kehidupan sosial masyarakat. “Banyak kejahatan turunan dari judi online ini, seperti kekerasan, penipuan, pinjaman online ilegal sampai pembunuhan. Ini kan berbahaya” ungkap Ivan.(ENHA/berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.