Oleh: Masykurudin Hafidz, Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) jakarta
SURAU.CO – Saat ini, agama menghadapi tantangan untuk menunjukkan eksistensinya agar bisa hidup di dunia yang serba modern. Doktrin Islam sebagai ajaran yang relevan di setiap waktu dan tempat (shalihun likulli zamanin wa makanin) akan selalu mendapat “serangan” dari modernitas yang membawa perubahan cepat.
Tantangan ini semakin nyata karena adanya asumsi yang berlawanan antara Islam dalam pandangan mayoritas dengan modernitas itu sendiri. Pertama, pandangan mayoritas seringkali memproyeksikan Islam untuk kembali pada kejayaan masa lampau (romantisme masa lalu). Pandangan ini merasa mendapat dukungan dari hadis yang menyatakan bahwa generasi terbaik adalah generasi Rasul. Sementara itu, modernitas selalu kita asumsikan sebagai gerak menuju masa depan yang lebih baik.
Kedua, pandangan mayoritas meyakini Islam sebagai sesuatu yang pasti, sesuai teks-teks religius. Sementara itu, dalam modernitas, tidak ada yang pasti kecuali perubahan itu sendiri. Setiap paham akan menentukan watak sosial pengikutnya. Maka, jika kita menghendaki perubahan nasib, kita harus terlebih dahulu mengubah paham yang menguasai masyarakat.
Ketika Otoritas Agama dan Politik Bersatu
Sebetulnya, kita harus mengakui bahwa umat Islam memahami agamanya melalui pergulatan pemikiran yang melahirkan ragam tafsir. Namun, keterlibatan otoritas tertentu seringkali menyebabkan satu jenis tafsir menjadi lebih populer dan diakui sebagai arus utama. Sementara tafsir lainnya menjadi marjinal, bahkan dianggap tidak pernah ada.
Sayangnya, di banyak negara Muslim, “otoritas agama” seringkali “kawin” dengan “otoritas politik”. Akibatnya, standar tafsir agama yang mereka restui tak lain adalah restu dari otoritas politik itu sendiri. Tidak mengherankan, ketika rezim yang berkuasa bersifat despotik, tafsir agama yang lahir hampir pasti bersifat otoritarian.
Pandangan keagamaan yang tekstual, apalagi jika mendapat dukungan kekuatan politik, cenderung bertentangan dengan semangat nilai-nilai demokrasi. Misalnya, Kuwait sebagai negara Islam yang relatif modern baru mengesahkan UU yang memberi hak pilih pada perempuan pada 16 Mei 2005. Secara umum, penerapan Syari’at Islam di banyak tempat belum memberikan hak politik yang seimbang antara laki-laki Muslim dengan perempuan Muslim dan non-Muslim.
Menggugat Fatwa yang Otoritarian
Pandangan diskriminatif atas nama Syari’at Islam tidak hanya menyangkut hak memilih dan dipilih, tetapi juga banyak hal di ruang publik. Prof. Dr. Khalid Abou el-Fadl, seorang intelektual Muslim asal Kuwait, menaruh perhatian besar pada hal ini. Melalui penelitiannya mengenai fatwa-fatwa ulama di Arab Saudi, Khalid menemukan banyak fatwa yang sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Meskipun lembaga resmi yang mengeluarkan fatwa tersebut, Khalid memandangnya tidak otoritatif. Menurutnya, mengeluarkan pandangan agama dengan mengatasnamakan Tuhan haruslah mencerminkan sifat Tuhan yang menolak diskriminasi. Oleh karena itu, batas antara fatwa yang otoritatif dan otoritarian tidak lembaga yang menentukan, melainkan kualifikasi pemberi fatwa itu sendiri.
Dalam bukunya, Speaking in God’s Name, Khalid mengusulkan lima syarat yang harus dimiliki siapa pun yang ingin berbicara atas nama Tuhan: kejujuran (honesty), kesungguhan (diligence), kemenyeluruhan (comprehensiveness), rasionalitas (reasonableness), dan pengendalian diri (self-restraint). Jika sebuah fatwa bertentangan dengan salah satu syarat ini, maka fatwa tersebut tidak otoritatif.
Refleksi untuk Muslim Indonesia
Indonesia memang tidak menerapkan Syariat Islam secara resmi sebagai undang-undang negara. Namun, tidak dapat kita pungkiri bahwa peran fatwa ulama di Indonesia masih cukup signifikan dalam memengaruhi kebijakan publik. Padahal, paradigma keberagamaan Muslim Indonesia banyak mewarisi paradigma keagamaan Muslim Arab.
Oleh karena itu, cara pandang terhadap agama yang tekstual, tertutup, dan diskriminatif, dapat sewaktu-waktu melahirkan fatwa yang otoritarian. Fatwa semacam ini tentu dapat mengancam pluralisme bangsa dan menghambat tumbuhnya demokrasi di negeri ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
