Kalam
Beranda » Berita » Kedudukan Akhlak dalam Islam

Kedudukan Akhlak dalam Islam

Murid
seorang gadis perempuan berpakaian muslimah yang mengamalkan nilai-nilai akhlak

Kedudukan Akhlak dalam Islam

SURAU.CO – Dalam ajaran Islam, akhlak atau budi pekerti menempati sebuah singgasana yang sangat istimewa dan tinggi. Ia bukanlah sekadar pelengkap, melainkan inti dari risalah yang dibawa. Bukti terbesarnya terlihat dari pujian langsung yang Allah SWT berikan kepada Rasulullah SAW. Allah SWT mengabadikan ketinggian akhlak beliau dalam kitab suci Al-Qur’an. Sebagaimana yang ada dalam surah al-Qalam, ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Pujian ini datang dari Zat Yang Maha Agung, menunjukkan betapa agungnya sifat yang terpuji tersebut. Ini bukan sekadar pengakuan, melainkan sebuah penegasan abadi.

Bahkan, Rasulullah SAW sendiri menegaskan tujuan utama dari turunnya beliau ke muka bumi. Beliau datang bukan untuk menciptakan sistem moral yang sama sekali baru. Beliau hadir untuk menyempurnakan nilai-nilai luhur yang telah ada pada diri manusia. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda, “Aku hanyalah diutus (oleh Allah SWT) untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albâni). Sungguh, ini adalah sebuah pelajaran mendalam bagi kita. Misi kenabian yang begitu besar ternyata berpusat pada perbaikan budi pekerti. Ini menunjukkan bahwa peradaban yang hebat tidak akan pernah bisa tegak tanpa fondasi akhlak yang kokoh. Oleh karena itu, meneladani akhlak Rasulullah SAW adalah esensi dari pengikutan kita kepada beliau.

Bobot Akhlak dalam Timbangan Iman dan Hari Kiamat

Keagungan akhlak ini tidak hanya berhenti sebagai teladan pada diri Rasulullah SAW. Lebih jauh lagi, akhlak menjadi tolok ukur utama bagi kesempurnaan iman seorang hamba. Keimanan yang hanya tersimpan di dalam hati tanpa pernah termanifestasi dalam perilaku yang baik, sejatinya adalah iman yang belum paripurna. Keduanya saling terkait erat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang sangat penting:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan disahihkan oleh al-Albâni).

Keadilan dalam Setiap Aspek: Menegakkan Kebenaran ala Riyadhus Shalihin

Dalam riwayat lain dari Imam Muslim disebutkan, “Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaknya.” Hadis ini secara gamblang menghubungkan kualitas iman dengan kualitas akhlak. Betapa seringnya kita merasa iman kita sudah kuat, namun lupa untuk mengevaluasi perilaku kita kepada sesama, terutama kepada keluarga terdekat.

Tidak hanya itu, nilai akhlak akan semakin terasa kelak di hari kiamat. Pada hari di mana setiap amal perbuatan ditimbang dengan seadil-adilnya, akhlak ternyata menjadi sesuatu yang sangat berharga. Amal yang paling berat dalam timbangan kebaikan bukanlah amalan ritual yang tampak hebat, melainkan budi pekerti yang baik. Rasulullah SAW bersabda, “Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan amal) adalah akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, disahihkan al-Albâni). Lebih dari itu, orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan kedudukan yang paling terhormat. Kelak di surga, ia akan berdampingan dengan baginda Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di hari Kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Budi Pekerti sebagai Pembeda dan Penyucian Jiwa

Dengan memperhatikan berbagai dalil di atas, sudah sepatutnya setiap muslim berupaya keras. Kita harus mengambil akhlak yang baik sebagai perhiasan diri yang paling indah. Sebab, akhlak atau budi pekerti memegang peranan yang sangat krusial dalam kehidupan manusia. Akhlak baik inilah yang menjadi garis pembeda yang jelas antara manusia dengan hewan. Manusia yang mendapat anugerah akal dan wahyu, ketika ia berakhlak mulia, maka ia dapat menjaga kemuliaan dan kesucian jiwanya. Ia mampu mengalahkan tekanan dahsyat dari hawa nafsu dan bisikan setan. Ia akan selalu berpegang teguh pada sendi-sendi keutamaan hidup. Akhlak yang baik pada akhirnya akan mengangkat manusia ke derajat yang tinggi dan mulia.

Sebaliknya, akhlak yang buruk akan menjadi penyebab kebinasaan. Ia tidak hanya akan menghancurkan seorang insan secara individu, tetapi juga dapat membinasakan sebuah umat secara kolektif. Sejarah telah banyak membuktikan hal ini. Allah SWT telah mengisyaratkan pertarungan internal dalam jiwa manusia ini dalam firman-Nya, “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah SWT mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 7-10). Menyucikan jiwa adalah proses menghiasinya dengan akhlak mulia. Sedangkan mengotorinya adalah membiarkannya terjerumus dalam keburukan budi pekerti.

Sifat Malu sebagai Fondasi Akhlak Islami

Oleh karena itu, jelaslah bahwa akhlak merupakan salah satu pilar agama yang tidak dapat terpisahkan. Tidak akan ada iman dan Islam yang sempurna kecuali dengan akhlak yang mulia. Sebab, akhlak adalah cerminan sejati dari kualitas keimanan dan kebenaran Islam seseorang. Semakin baik iman dan Islam seseorang, maka akan semakin baik pula akhlak yang terpancar darinya. Di antara sekian banyak pokok akhlak dalam Islam, ada satu sifat yang menjadi intinya, yaitu sifat malu. Sebagaimana Rasulullah SAW sabdakan, “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.” (HR. Ibnu Majah).

Fiqih Muamalah Kontemporer: Menemukan Solusi Ekonomi Islam di Tengah Dinamika Modern

Dalam riwayat Muslim, dijelaskan lebih lanjut, “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata.” Tentu saja, malu yang dimaksud di sini adalah malu untuk mengerjakan sesuatu yang tidak pantas. Baik menurut pandangan norma masyarakat yang baik maupun menurut aturan syariat. Adapun malu dalam mengerjakan kebaikan, seperti malu bertanya ilmu agama atau malu bersedekah, maka hal tersebut sangatlah tercela. Imam Nawawi dalam kitabnya, Riyadhush Shâlihîn, menyebutkan bahwa dengan memiliki sifat malu, seseorang akan mampu menahan dirinya dari perkara-perkara yang jelek. Sifat ini akan menghalangi dirinya dari perbuatan maksiat serta mencegahnya dari melalaikan kewajiban.

Orang yang masih memiliki rasa malu dalam hatinya, tidak mungkin ia berani melakukan korupsi. Ia tidak akan tega mengambil hak orang lain. Ia tidak akan berani mempertontonkan aurat di depan umum atau melakukan tindakan asusila. Mengapa? Karena ia sadar bahwa seluruh perbuatannya selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Namun, apabila rasa malu ini sudah hilang dari dalam diri, maka yang tersisa hanyalah perilaku hewani. Tidak ada lagi bedanya antara manusia dengan binatang. Semua hal yang haram dianggap menjadi halal. Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW sebagai sebuah peringatan keras, “Jika kamu tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari).


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement