Sejarah Sosok
Beranda » Berita » Imam Fakhruddin Ar-Razi: Sang Ensiklopedis dari Khurasan

Imam Fakhruddin Ar-Razi: Sang Ensiklopedis dari Khurasan

Imam Fakhruddin Ar-Razi: Sang Ensiklopedis dari Khurasan
Ilustrasi Imam Fakhruddin Ar-Razi. Sumber: Meta AI

SURAU.CO – Imam Fakhruddin Ar-Razi adalah ulama, filsuf, dan teolog Muslim terkemuka pada abad ke-12 Masehi. Ia lahir pada tahun 544 H (1149 M) di Rey, Persia (sekarang Iran), dan meninggalkan jejak penting dalam sejarah pemikiran Islam. Tidak hanya itu, Ar-Razi menguasai berbagai bidang, mulai dari tafsir Al-Qur’an hingga astronomi, dari logika hingga kedokteran. Oleh karena itu, di zamannya orang menyebut bagaikan “perpustakaan berjalan” karena ia menguasai beragam disiplin ilmu secara mendalam.

Biografi Singkat Imam Fakhruddin Ar-Razi

Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin ‘Ali al-Tamimi al-Bakri al-Thabari al-Razi. Gelar “al-Razi” Merujuk pada kota kelahirannya, Rey, yang kini menjadi bagian dari Teheran, Iran. Ayahnya, seorang ulama besar, menjadi guru pertama yang menanamkan dasar-dasar ilmunya.

Sejak kecil, al-Razi tumbuh dalam lingkungan yang sarat diskusi ilmiah dan membahas teologis. Akibatnya, ia mengembangkan rasa ingin tahu yang kuat serta menguasai fikih, nahwu, sharaf, dan logika sejak usia muda. Setelah menyelesaikan pendidikan awal di Rayy, ia kemudian melanjutkan perjalanan intelektual ke berbagai kota besar dunia Islam, seperti Maraghah, Khwarezm, dan Samarkand. Di setiap kota, ia berdialog dengan para ulama, memperluas wawasan, dan memperdalam ilmu di berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Selain itu, al-Razi menulis banyak buku dan risalah tentang beragam topik. Dengan demikian, ia menjadi salah satu penulis paling produktif dalam sejarah Islam.

Kontribusi dalam Bidang Tafsir Al-Qur’an

Sebagai ahli tafsir, al-Razi menulis karya monumental Mafatih al-Ghayb atau Tafsir al-Kabir. Dalam karyanya itu, ia mengupas ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan komprehensif, analitis, dan rasional. Lebih lanjut, ia memadukan penjelasan bahasa, kajian teologis, filsafat, serta sains dalam penafsirannya.

Keadilan dalam Setiap Aspek: Menegakkan Kebenaran ala Riyadhus Shalihin

Tidak berhenti di situ, ia juga menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan fenomena alam secara ilmiah. Menurut al-Razi, Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan alam tidak dapat dipisahkan, melainkan saling melengkapi. Bahkan, ia menunjukkan bahwa di dalam Al-Qur’an terkandung pengetahuan ilmiah yang dapat memperluas pemahaman manusia.

Kontribusi dalam Bidang Teologi

Sebagai teolog Asy’ariyah, al-Razi menulis karya seperti Al-Matalib al-‘Aliyah dan Al-Arba’in fi Ushul al-Din. Di dalamnya, ia membahas sifat-sifat Allah, konsep kenabian, dan akhir hari dengan argumentasi rasional yang kuat. Selain itu, ia berupaya mempertahankan ajaran Islam dari pengaruh filsafat Yunani dan aliran lain, termasuk Mu’tazilah.

Bagi al-Razi, iman dan akal berjalan beriringan. Oleh karena itu, ia mengajarkan bahwa kebenaran agama dapat dibuktikan melalui metode ilmiah dan rasional sehingga umat Islam mampu berdialog dengan pemikiran luar tanpa kehilangan pijakan akidah.

Kontribusi dalam Bidang Filsafat

Al-Razi mempelajari karya-karya filsafat besar seperti Ibnu Sina dan al-Farabi, lalu menyerangnya dengan sudut pandang teologis. Namun, ia tidak menolak filsafat secara total, melainkan mengambil konsep yang selaras dengan Islam.

Dalam karyanya seperti Al-Mabadi’ wa al-Ma’ad dan Sharh al-Isharat , ia membahas metafisika, epistemologi, dan logika. Ia selalu menggunakan pendekatan kritis dan analitis untuk menguji gagasan, sekaligus memanfaatkannya dalam memahami kehidupan dan alam semesta.

Zuhud: Mengukuhkan Hati, Membebaskan Diri dari Jerat Dunia

Kontribusi dalam Bidang Ilmu Pengetahuan

Selain ahli tafsir dan teolog, al-Razi juga memberikan kontribusi besar dalam ilmu pengetahuan alam. Ia menulis buku seperti Al-Jawami’ al-‘Ilmiyah dan Al-Mabahith al-Mashriqiyah, yang membahas tentang fisika, kimia, biologi, dan astronomi.

Ia menguasai logika Aristotelian sebagai alat argumentasi ilmiah, lalu mengintegrasikan sains ke dalam penafsiran ayat-ayat kauniyah. Dengan cara ini, ia membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dapat memperluas pemahaman manusia tentang alam semesta sekaligus meningkatkan kualitas hidup.

Metode Berpikir: Rasional dan Kritis

Salah satu ciri khas al-Razi adalah kemampuannya memadukan teks wahyu dengan kekuatan akal. Ia memulai pembahasan dengan memaparkan berbagai pendapat, kemudian menimbangnya secara logistik, dan akhirnya menyimpulkan hasilnya.

Pendekatan ini membuatnya dijuluki “Imam al-Musyakkikin” (Imam yang banyak mengajukan pertanyaan). Julukan itu muncul bukan karena ia meragukan kebenaran Islam, melainkan karena ia mengajukan pertanyaan kritis untuk menguji kekuatan argumen. Dengan metode ini, tafsirnya tetap relevan meski telah berusia lebih dari delapan abad.

Pengaruh dan Warisan Intelektual

Pengaruh al-Razi menjangkau dunia Islam dan Barat. Dalam tradisi Islam, ia menjadi puncak perkembangan tafsir rasional, dan karya-karyanya dipelajari di madrasah besar seperti al-Azhar. Di Barat, sebagian karyanya diterjemahkan ke bahasa Latin pada abad pertengahan. Dengan demikian, gagasan filsafat dan ilmu pengetahuan dari dunia Islam mengalir ke Eropa dan mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan pada era Renaisans.

Mengurai Rasionalitas Iman ala Ahlussunnah: Sebuah Telaah Komprehensif Tauhid Asy’ariyah

Warisan penting al-Razi terletak pada model integrasi antara ilmu agama dan ilmu rasional. Baginya, wahyu dan akal adalah dua cahaya yang saling sikut.

Meski demikian, sejumlah ulama mengkritik al-Razi karena dianggap terlalu mengedepankan filsafat dan kurang memberi ruang pada aspek sufistik. Ibnu Taymiyyah, misalnya, menguraikan kecenderungannya mengandalkan logika Aristotelian. Namun, perbedaan pandangan ini justru memperkaya wacana keilmuan Islam.

Pelajaran dari Kehidupan Imam Fakhruddin al-Razi

Dari kehidupannya, kita dapat memetik pelajaran berharga:

  1. Integrasi Ilmu – Al-Razi menunjukkan bahwa ilmu agama dan umum harus saling melengkapi.

  2. Keberanian Berpikir Kritis – Ia berani mengajukan pertanyaan sulit demi memperkuat argumen kebenaran.

  3. Ketekunan dalam Belajar – Perjalanannya dari Rayy hingga Herat mencerminkan dedikasinya terhadap ilmu.

  4. Warisan Abadi – Karya-karyanya tetap hidup dan menjadi rujukan lintas generasi.

Wafatnya Imam Fakhruddin ar-Razi

Menjelang akhir hayat, al-Razi tetap aktif menulis dan mengajar di Herat, pusat ilmu pengetahuan saat itu. Ia wafat pada tahun 606 H (1209 M) di usia 62 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam, namun karya dan gagasannya terus menginspirasi hingga kini.

Dengan demikian, al-Razi menjadi simbol kejayaan intelektual Islam, memadukan kedalaman iman dan keluasan ilmu rasional. Di dunia tengah yang sering memisahkan agama dari ilmu pengetahuan, warisannya terasa semakin relevan.

Seperti yang ia tulis dalam Tafsir al-Kabir :

“Akal adalah cahaya yang membimbing kita memahami wahyu, dan wahyu adalah cahaya yang membimbing akal menuju kebenaran.”

(Dikutip dari berbagai sumber)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement