SURAU.CO. Di tengah zaman ini, banyak orang yang menyelewengkan dan menyalahpahami makna toleransi. Sebagian orang dengan dalih “toleransi kebablasan” justru mengaburkan batas-batas akidah. Mereka menggiring opini bahwa Islam membolehkan umatnya ikut serta dalam ibadah agama lain, termasuk menghadiri misa atau perayaan di gereja. Untuk memperkuat pendapat mereka, mereka mengutip pendapat ulama mengenai bolehnya shalat di gereja. Padahal, secara konteks, masalah shalat di gereja dan masalah mengikuti ibadah agama lain, merupakan dua hal yang sangat berbeda dalam konteks hukum Islam.
Ulama berbeda pendapat tentang hukum masuk gereja atau tempat ibadah non-Muslim. Menurut Madzhab Hanafi, memasuki gereja hukumnya makruh, bahkan mendekati haram (makruh tahrim). Mayoritas ulama dari Madzhab Maliki, Hanbali, dan sebagian Syafi’iyyah membolehkan Muslim masuk ke tempat ibadah non-Muslim dengan beberapa syarat. Namun, sebagian ulama Syafi’iyyah melarang keras dan mengharamkan Muslim memasuki tempat ibadah non-Muslim.
Sementara itu, para ulama membahas shalat di gereja dalam kondisi tidak adanya masjid atau tempat lain yang layak untuk shalat, bukan dalam konteks mengikuti atau mendukung ibadah agama lain. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami hukum ini secara tepat berdasarkan kerangka fiqh dan prinsip-prinsip syariah.
Hukum Shalat di Gereja
Syariat Islam memang memberikan kelonggaran dalam kondisi darurat. Penting untuk memisahkan antara hukum shalat di gereja karena keterbatasan tempat, dengan hukum memasuki gereja untuk ikut serta dalam ibadah orang non-Muslim. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu memberi kelonggaran untuk melakukan shalat di gereja ketika ada kebutuhan mendesak, sehingga hal ini menjadi contoh bahwa shalat di gereja hanya dibolehkan ketika tidak ada alternatif lain.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menegaskan bahwa kelonggaran tersebut bukan bentuk dukungan terhadap ibadah non-Muslim, melainkan tindakan praktis menghadapi kondisi darurat.
Beliau berkata: “Umar bin Khathab memberikan kelonggaran akan hal ini (salat di gereja) karena kaum Muslimin dan para tentara ketika itu ada kebutuhan untuk shalat di gereja. Bisa jadi karena hujan deras, atau karena cuaca dingin, atau karena sebab lainnya. Maka tidak mengapa jika ada kebutuhan. Adapun jika tidak ada kebutuhan maka tidak boleh.” Sumber: binbaz.org.sa.
Masuk Gereja untuk Mendukung Ibadah Non-Muslim
Memasuki gereja untuk menghadiri atau mendukung ibadah non-Muslim jelas dilarang dalam Islam, berbeda dengan shalat karena darurat. Islam tidak mengizinkan umatnya untuk terlibat dalam ibadah agama selain Islam, apalagi untuk memberi dukungan terhadap ritual yang bukan bagian dari syariat Islam.
Allah menegaskan dalam QS. Al-Furqan: 72: “Dan orang-orang yang tidak melihat az-zuur, dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu menjelaskan bahwa az-zuur dalam ayat ini merujuk pada hari-hari perayaan agama orang-orang musyrik. (Tafsir Al-Qurthubi). Islam menganjurkan umatnya untuk tidak terlibat dalam perayaan yang bertentangan dengan prinsip tauhid. Kita harus menjaga kemurnian aqidah dan tidak mencampuradukkan ajaran agama.
QS Al-Kafirun ayat 1-6 dengan tegas menyatakan sikap umat Islam terhadap agama selain Islam: “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.’”
Ayat ini menyiratkan bahwa Islam mengakui eksistensi agama lain, tetapi tidak mentoleransi partisipasi dalam ritualnya.
Mengucapkan Selamat atas Hari Raya Agama Lain
Sebagian Muslim mungkin merasa bahwa mengucapkan selamat atas Natal atau Paskah merupakan bentuk sopan santun dan bagian dari toleransi. Namun, mayoritas ulama mengharamkan hal tersebut karena kaitannya yang erat dengan syi’ar kekufuran. Hal ini ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkam Ahlidz Dzimmah (hal. 144), yang menyatakan: “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir, hukumnya haram berdasarkan kesepakatan ulama.”
Ucapan selamat tersebut dapat ditafsirkan sebagai pengakuan dan dukungan terhadap ibadah yang bertentangan dengan tauhid. Maka, meskipun Islam mengajarkan kita untuk bersikap baik terhadap sesama manusia, kita tetap tidak boleh mengaburkan batas keimanan. Sebagai seorang Muslim harus bijak dalam membedakan antara sikap toleransi yang tidak melanggar prinsip agama dan bentuk penghormatan yang dapat merusak akidah.
Toleransi Tidak Mengorbankan Akidah
Islam mengajarkan toleransi, namun toleransi dalam Islam bukan berarti kompromi terhadap keyakinan. Menghormati tidak berarti mengikuti. Kita wajib membedakan antara muamalah sosial yang mubah, dengan partisipasi dalam ibadah yang dilarang.
Sikap kita terhadap agama lain haruslah jelas dan tidak ambigu. Umat Islam harus menjaga identitas dan kemurnian akidahnya. Masuk ke tempat ibadah agama lain untuk tujuan-tujuan duniawi mungkin diperbolehkan dalam batas-batas tertentu. Namun ikut serta dalam ritual dan perayaan agama lain merupakan pelanggaran terhadap prinsip tauhid. Dengan bersikap hati-hati, memegang teguh prinsip Islam, dan menjauhkan diri dari syubhat, umat Islam akan tetap terjaga di tengah gempuran berbagai narasi toleransi yang keliru.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
