Khazanah
Beranda » Berita » Ngaji Dulu Sebelum Ngajari Orang

Ngaji Dulu Sebelum Ngajari Orang

Seorang Muslim sedang membaca kitab dengan khusyuk, melambangkan makna “ngaji dulu sebelum ngajari orang.
Seorang pemuda duduk membaca kitab kuning di bawah cahaya lampu malam, sementara di sekelilingnya tampak buku-buku terbuka. Wajahnya serius tapi teduh, melambangkan semangat belajar sebelum mengajar.

Surau.co. Di zaman serba cepat ini, banyak orang lebih gemar berbicara daripada belajar. Media sosial penuh dengan nasihat, opini, dan dalil-dalil agama yang dikutip tanpa pemahaman utuh. Fenomena ini mengingatkan kita pada satu nasihat penting: ngaji dulu sebelum ngajari orang. Kalimat ini sederhana, tapi maknanya dalam — bahwa ilmu adalah tangga sebelum amal dan ucapan.

Allah ﷻ berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan mohonlah ampunan untuk dosamu.”
(QS. Muhammad [47]: 19)

Perhatikan urutan ayat itu: fa‘lam (ketahuilah) datang sebelum fastaghfir (mohon ampun). Artinya, Allah mendahulukan ilmu sebelum amal. Maka, bagaimana mungkin seseorang mengajarkan kebenaran sebelum ia memahaminya?

Ngaji, dalam konteks ini, bukan sekadar membaca kitab atau menghadiri majelis ilmu, tapi proses merendahkan diri di hadapan kebenaran. Sebab, orang yang benar-benar berilmu tidak terburu-buru menilai, apalagi menggurui.

Rahasia Ayat-Ayat Awal Surah Al-Baqarah Menurut Tafsir Jalalain

Ngaji Dulu: Agar Bicara Punya Dasar

Belajar agama bukan sekadar menghafal ayat dan hadis, melainkan memahami konteks, hikmah, dan tanggung jawab di baliknya. Ngaji adalah upaya membangun fondasi, agar kata-kata yang keluar dari lisan bukan sekadar pendapat, tapi cahaya pengetahuan.

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

وَالْعِلْمُ أَصْلُ كُلِّ حَالٍ مَحْمُودَةٍ وَسَبَبُ كُلِّ خَيْرٍ مَقْصُودٍ.
“Ilmu adalah asal dari setiap keadaan yang terpuji dan sebab dari setiap kebaikan yang diinginkan.”

Tanpa ilmu, kebaikan bisa berubah jadi kebingungan. Seseorang mungkin berniat baik, tapi jika tidak tahu caranya, justru bisa menyesatkan. Dalam Islam, niat baik tidak cukup tanpa ilmu yang benar.

Itulah sebabnya para ulama menekankan pentingnya tatsabbut — memastikan kebenaran sebelum menyampaikan. Sebab, setiap kata tentang agama bukan sekadar opini, tapi tanggung jawab moral dan spiritual. Rasulullah ﷺ bersabda:

Makna dan Kedalaman Surah Al-Fatihah dalam Tafsir Jalalain

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa berkata tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri (tanpa ilmu), maka bersiaplah menempati tempatnya di neraka.”
(HR. Tirmidzi)

Berat, bukan? Maka, ngaji dulu bukan sekadar ajakan, tapi peringatan agar lisan tidak tergelincir di jalan yang ia kira lurus.

Mengajar Itu Amanah, Bukan Ajang Populer

Di era digital, menjadi “ustaz dadakan” tampak mudah. Cukup mengutip satu potongan ayat atau hadis, lalu menambah opini pribadi, maka lahirlah ceramah singkat versi media sosial. Padahal, ilmu agama bukan konten, melainkan amanah.

Allah ﷻ memperingatkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ، كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. As-Saff [61]: 2–3)

Tata Cara Membaca Tafsir Jalalain: Panduan Memahami Karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi

Ayat ini menegaskan bahwa mengajar tanpa dasar ilmu adalah bentuk ketidakjujuran spiritual. Orang yang berkata tanpa belajar lebih dulu sedang mengkhianati kepercayaan masyarakat dan mencederai kemuliaan ilmu.

Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa seorang alim sejati tidak terburu-buru dalam menyampaikan sesuatu. Ia mempelajari dulu, merenungkan, baru menyampaikan dengan adab dan ketulusan. Ilmu bukan untuk memamerkan kepintaran, tapi untuk menuntun kebaikan.

Ilmu yang Benar Melahirkan Kerendahan Hati

Seseorang yang benar-benar berilmu tidak merasa lebih tinggi dari orang lain. Justru semakin ia tahu, semakin ia merasa banyak yang belum diketahui. Ngaji menumbuhkan kesadaran bahwa kebenaran tidak bisa dimonopoli.

Imam al-Māwardī berkata:

وَالعَالِمُ الحَقِيقِيُّ هُوَ الَّذِي يَزْدَادُ تَوَاضُعًا بِزِيَادَةِ عِلْمِهِ.
“Seorang alim sejati adalah orang yang semakin bertambah ilmunya, semakin bertambah pula kerendahan hatinya.”

Belajar agama berarti membangun kerendahan hati, bukan ego. Sebab ilmu yang tidak diiringi adab hanya akan melahirkan kesombongan baru. Itulah mengapa ngaji sejati bukan sekadar memahami teks, tapi juga menata niat.

Orang yang ngaji dengan hati terbuka akan lebih hati-hati dalam berbicara, lebih empatik terhadap perbedaan, dan lebih sabar dalam menilai. Sebaliknya, orang yang mengajar tanpa ilmu sering kali cepat menghakimi, seolah kebenaran hanya miliknya.

Ngaji Adalah Jalan Panjang, Bukan Acara Sehari

Ilmu agama tidak bisa dipelajari instan. Ia butuh proses panjang, kesabaran, dan bimbingan guru. Para ulama besar menghabiskan puluhan tahun untuk menuntut ilmu sebelum berani berfatwa. Imam Syafi’i, misalnya, berguru kepada banyak ulama di Makkah, Madinah, Yaman, dan Mesir sebelum menulis karya ilmiahnya.

Dalam konteks sekarang, ngaji berarti membangun budaya belajar berkelanjutan. Bukan cukup ikut kajian sekali, lalu merasa paham segalanya. Ngaji adalah perjalanan membentuk akhlak, memperdalam iman, dan memperluas pandangan.

Allah ﷻ berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar [39]: 9)

Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan antara yang belajar dan yang tidak adalah soal kesadaran. Ilmu menjadikan manusia bijak, bukan hanya pintar. Maka ngaji bukan sekadar kewajiban intelektual, tapi kebutuhan spiritual.

Bahaya Mengajari Tanpa Ilmu

Mengajar tanpa ilmu ibarat menyalakan api tanpa pengaman — niatnya memberi terang, tapi bisa membakar orang lain. Dalam Islam, berbicara tentang agama tanpa dasar termasuk dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ
“Barang siapa memberi fatwa tanpa ilmu, maka dosanya atas orang yang memberi fatwa itu.”
(HR. Abu Dawud)

Hadis ini menekankan tanggung jawab moral dalam menyampaikan ilmu. Orang yang ngajar tanpa belajar bisa menyesatkan banyak orang. Dan dosa kesalahan itu bukan hanya ditanggung sendiri, tapi juga sebesar dampak yang ditimbulkan.

Karenanya, ulama salaf lebih suka diam daripada berbicara jika belum yakin. Mereka takut salah bicara tentang agama, sebab setiap kata akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Mengajarkan Kebaikan Setelah Belajar Kebenaran

Setelah ngaji, barulah seseorang pantas mengajari. Namun, mengajar dalam Islam tidak selalu berarti memberi ceramah. Kadang, mengajar justru lewat keteladanan. Rasulullah ﷺ tidak hanya menyampaikan wahyu dengan kata-kata, tapi juga dengan akhlak.

Allah ﷻ berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
(QS. Al-Ahzab [33]: 21)

Maka, mengajari orang lain seharusnya bukan untuk menunjukkan siapa yang paling benar, tapi bagaimana kebenaran bisa dijalani dengan kasih sayang. Orang yang telah belajar dengan hati, akan mengajar dengan cinta — bukan dengan penghakiman.

Penutup: Belajar Seumur Hidup, Mengajar dengan Cinta

Ngaji dulu sebelum ngajari orang bukan hanya pesan moral, tapi prinsip hidup. Ia mengajarkan kita untuk menundukkan ego di hadapan ilmu dan menahan diri sebelum menasihati orang lain.

Belajar itu menundukkan kepala, mengajar itu membuka hati. Yang satu butuh kerendahan, yang lain butuh kasih sayang”

Ketika kita belajar dengan sungguh-sungguh, Allah akan membimbing lidah kita agar berkata dengan benar, dan membimbing hati kita agar mengajar dengan adab. Sebab ilmu tanpa adab adalah kebisingan, sedangkan ilmu dengan ketulusan adalah cahaya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement