JUJURLAH, WALAU TAK PINTAR DAN TAK BERJABATAN
Bismillah. Dalam kehidupan yang terus bergerak cepat, seringkali kita terjebak dalam paradigma duniawi: bahwa kesuksesan diukur dari seberapa tinggi jabatan seseorang, seberapa banyak hartanya, atau seberapa hebat kepintarannya. Padahal, dalam pandangan Islam, ukuran keberhasilan tidak semata ditakar oleh gelar akademik, popularitas, atau kekuasaan, melainkan oleh akhlak dan integritas pribadi seseorang.
Jujur, Sifat yang Mulia dan Langka
Pesan begitu sederhana namun mendalam: “Kamu tidak perlu pintar seperti yang lain, tidak perlu kaya dan berjabat tinggi, tetapi cukup memiliki kejujuran yang mungkin tidak dimiliki oleh lainnya.”
Kejujuran adalah fondasi dari iman. Ia menjadi ukuran sejauh mana seseorang layak menyandang predikat seorang mukmin sejati. Bahkan, Rasulullah ﷺ sendiri dikenal dengan gelar al-Amīn (yang terpercaya) jauh sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Ini menunjukkan bahwa integritas pribadi adalah kualitas dasar yang harus dimiliki oleh setiap muslim, bahkan sebelum menjalani peran dakwah dan kepemimpinan.
Sayangnya, kejujuran hari ini menjadi barang langka. Banyak yang lebih memilih pencitraan ketimbang kebenaran, lebih suka kepalsuan ketimbang transparansi. Padahal, kebohongan bisa menghancurkan segalanya: rumah tangga, kepercayaan publik, hingga runtuhnya sebuah negara.
Antara Pengecut, Bakhil, dan Pendusta
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya:
“Apakah mungkin seorang mukmin itu pengecut?”
Beliau menjawab, “Mungkin.”
“Apakah mungkin seorang mukmin itu bakhil?”
Beliau menjawab, “Mungkin.”
“Apakah mungkin seorang mukmin itu pendusta?”
Beliau menjawab, “Tidak.”
(HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadits ini memperlihatkan perbedaan yang penting antara kelemahan karakter dan kehancuran prinsip. Sifat pengecut atau bakhil bisa jadi merupakan kelemahan manusiawi yang masih bisa ditoleransi, bahkan diperbaiki. Namun, sifat dusta adalah kebusukan prinsip. Ia bukan sekadar kekurangan, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap nilai dasar Islam.
Pendusta disebut dalam Al-Qur’an sebagai salah satu ciri orang munafik:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
Dan dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tanda-tanda orang munafik itu tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanah, ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kejujuran: Jalan Tengah di Dunia Penuh Tipu Daya
Di zaman ini, kejujuran seringkali tidak populer. Orang yang jujur dianggap naif. Yang manipulatif justru lebih sering naik pangkat. Namun jangan tertipu. Dalam Islam, kemenangan sejati bukan diukur dari pencapaian dunia, melainkan dari kemuliaan akhlak yang Allah cintai.
Menjadi jujur tidak berarti harus lemah atau bodoh. Justru orang yang jujur adalah orang yang paling berani, karena ia rela kehilangan keuntungan dunia demi menjaga nilai-nilai ilahiah.
Kejujuran bukan sekadar soal berkata benar, tetapi juga konsistensi hati, ucapan, dan perbuatan. Orang jujur adalah mereka yang apa adanya, tidak berpura-pura, tidak berbohong demi meraih simpati. Kejujuran itulah yang menjadi sumber kekuatan batin dan keberkahan hidup.
Jujur Tanpa Harus Jadi Pintar dan Kaya
Ada pelajaran penting dalam nasihat pembuka tadi: bahwa kamu tidak perlu menjadi seperti orang lain untuk bernilai. Tidak perlu pintar seperti orang lain, tidak perlu kaya dan berjabat tinggi. Cukup menjadi pribadi yang jujur dan amanah.
Mengapa? Karena kepintaran bisa menyesatkan jika tidak disertai kejujuran. Kekayaan dan jabatan bisa menjadi alat kerusakan jika tak ditopang oleh moralitas yang kuat. Banyak orang cerdas, tetapi licik. Banyak yang kaya, tetapi korup. Banyak yang berkuasa, tapi zalim.
Maka, Islam memandang bahwa kejujuran jauh lebih bernilai daripada semua pencapaian lahiriah. Allah lebih mencintai hamba-Nya yang sederhana, tapi bersih hatinya, jujur lisannya, dan lurus amal perbuatannya.
Bangun Masyarakat dengan Nilai Kejujuran
Jika setiap individu menanamkan nilai kejujuran sejak dini, maka akan terbentuk masyarakat yang sehat dan kuat. Orang tua yang jujur akan melahirkan anak yang berintegritas. Guru yang jujur akan membentuk generasi pembelajar yang bisa dipercaya. Pemimpin yang jujur akan membawa keadilan dan keberkahan dalam pemerintahannya.
Sebaliknya, jika kebohongan dianggap biasa, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu. Sebab kebohongan adalah awal dari semua keburukan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke surga. Dan sesungguhnya seseorang yang senantiasa jujur hingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penutup: Jadilah Mukmin Sejati
Jangan berkecil hati jika kita bukan orang terpintar di kelas, bukan orang terkaya di kota, atau bukan pejabat tinggi di pemerintahan. Jangan merasa tidak bernilai hanya karena tak tampil di media atau tak terkenal di jagat maya.
Nilaimu di sisi Allah ditentukan oleh kejujuranmu. Karena jujur adalah mahkota iman. Jujur adalah jalan selamat. Jujur adalah perisai dari kemunafikan. Dan orang yang jujur, walaupun sederhana hidupnya, akan dimuliakan Allah di dunia dan akhirat.
Bila kita tak bisa jadi yang paling cerdas, jadilah yang paling jujur. Bila kita tak mampu jadi yang paling kaya, jadilah yang paling amanah. Karena di akhirat kelak, yang diukur bukanlah jabatan, gelar, atau jumlah pengikut. Tapi seberapa lurus lisanmu dan seberapa bersih hatimu.
Ya Allah, jadikan kami termasuk orang-orang yang jujur dalam niat, perkataan, dan perbuatan. Jauhkan kami dari sifat dusta dan kemunafikan, serta tetapkan kami dalam barisan orang-orang yang Engkau cintai. Aamiin. (Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
