Opinion
Beranda » Berita » Memahami Hikmah di Balik Hal yang Tidak Kita Sukai

Memahami Hikmah di Balik Hal yang Tidak Kita Sukai

Hikmah di Balik Sesuatu yang Tidak Kita Sukai

SURAU.CO – Hidup seringkali menghadapkan kita pada kenyataan yang pahit. Kita kerap menempuh jalan yang terjal dan penuh rintangan, sehingga beban terasa sangat berat untuk dipikul. Tidak jarang, manusia mengalami kegagalan yang menyakitkan. Rencana yang telah tersusun rapi bisa saja berantakan dalam sekejap.

Akibatnya, harapan yang kita pupuk dengan susah payah tak kunjung menjadi nyata. Bahkan, cinta yang kita jaga dengan tulus bisa berujung pada kehilangan. Di tengah kesulitan itu, kita tentu mencoba untuk bertahan. Namun, masalah seolah datang silih berganti tanpa henti. Lalu, bagaimana kita melihat hikmah dibaliknya? 

Keterbatasan Sudut Pandang Manusia

Pada dasarnya, sifat alami manusia cenderung terburu-buru dalam menilai. Kita dengan cepat menyimpulkan bahwa suatu keadaan itu buruk. Kemudian, kita merasa seolah dunia ini tidak adil. Hal ini terjadi karena manusia menginginkan segalanya serba sempurna dan berjalan mulus sesuai harapan.

Akan tetapi, Allah memiliki pandangan yang jauh lebih luas dari kita. Cinta dan kebijaksanaan-Nya tidak terbatas. Oleh karena itu, Dia melihat setiap peristiwa dari sudut pandang terbaik yang seringkali luput dari pemahaman kita. Kita kerap kali lupa setiap peristiwa yang terjadi selalu ada hikmah di baliknya. 

Kebaikan Tersembunyi di Balik Kebencian

Untuk membimbing kita, Allah Ta’ala menurunkan sebuah prinsip agung dalam firman-Nya yang mengingatkan kita tentang keterbatasan ini.

Ketika Hati Bertafakur, Langit Bersaksi

“وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ”

“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Ayat ini memiliki konteks historis yang sangat penting. Pada mulanya, ayat tersebut turun berkaitan dengan perintah jihad. Kala itu, sebagian sahabat merasa berat untuk menjalankannya. Tentu saja, jihad menuntut pengorbanan yang luar biasa besar, mulai dari tenaga, harta, bahkan nyawa.

Meskipun begitu, Allah menegaskan bahwa jihad sesungguhnya adalah kebaikan murni. Di dalamnya, terkandung pahala yang sangat besar. Selain itu, kematian dalam jihad adalah kesyahidan yang mulia. Lebih dari itu, jihad juga melindungi umat dari penindasan serta membawa kemerdekaan.

Hikmah dalam Hubungan Rumah Tangga

Prinsip yang sama tidak hanya berlaku dalam medan perang, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam rumah tangga. Dalam konteks ini, Allah Ta’ala berfirman dalam surat lain.

Mayoritas Muslim Hidup dibawah Hukum Kafir dimana letak Imam dan Akal Kita?

“فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا”

“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)

Ayat kedua ini secara khusus membahas hubungan suami istri. Terkadang, seorang suami mungkin tidak menyukai istrinya karena satu atau beberapa sifat tertentu. Misalnya, sang istri mungkin dinilai kurang cantik, kurang rajin, atau memiliki kekurangan lainnya.

Namun, Allah mengingatkan bahwa bisa jadi ada kebaikan besar yang tersembunyi di balik kekurangan itu. Dari rahimnya, mungkin akan lahir anak-anak yang saleh. Anak-anak itulah yang kelak menjadi kebanggaan di dunia dan akhirat.

Untuk memperkuat pesan ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan nasihat serupa kepada para suami.

Barat Mencuri Ilmu dari Islam, Tetapi Belum Juga Menutupi Aurat

“لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ”

“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika si pria tidak menyukai satu akhlak pada si wanita, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR. Muslim, no. 1469)

Dengan kata lain, kesabaran adalah kuncinya. Selama seorang istri tidak melakukan perbuatan tercela, suami harus bersikap adil. Bahkan, ulama besar seperti Al-Ghazali rahimahullah pernah berkata tentang pentingnya kesabaran ini.

“الصَّبْرُ عَلَى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الأَوْلِيَاءُ”

“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya’ Ulum Ad-Diin, 2: 38)

Kisah Nabi Musa: Ketika Takdir Terlihat Bertentangan

Jika dalil dari Al-Qur’an dan hadis belum cukup meyakinkan, sejarah telah mencatat bukti nyata dari kebijaksanaan Allah yang luar biasa. Salah satu kisah paling menakjubkan adalah tentang Ibu Nabi Musa. Beliau hidup pada zaman kekuasaan Fir’aun yang sangat zalim. Karena takut kehilangan takhtanya, Fir’aun memerintahkan pasukannya untuk membunuh setiap bayi laki-laki.

Di tengah keputusasaan tersebut, Allah memberikan ilham kepada Ibu Nabi Musa. Allah memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang terdengar tidak masuk akal, yaitu menghanyutkan Musa ke sungai. Tentu saja, ini adalah sebuah tindakan yang sangat menakutkan bagi seorang ibu.

Ajaibnya, jalan yang paling ditakuti itu justru menjadi jalan penyelamatan. Bayi Musa ditemukan dan akhirnya terdampar di istana Fir’aun. Di sana, ia dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Asiyah, istri Fir’aun sendiri.

Selanjutnya, skenario Allah yang sempurna terus berjalan. Ketika pihak istana mencari ibu susu untuk Musa, sebuah sayembara pun diadakan. Hebatnya, Nabi Musa menolak semua perempuan yang datang untuk menyusuinya. Ia hanya mau menyusu kepada ibunya sendiri. Akhirnya, ibunya dapat tinggal bersama Musa dengan aman di dalam istana Fir’aun. Tempat yang tadinya paling berbahaya, kini menjadi tempat yang paling aman baginya.

Kisah agung ini diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an.

“وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ”

“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia; dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)

Pelajaran untuk Kita: Berserah pada Pilihan Allah

Dari semua pemaparan di atas, kita dapat menarik sebuah benang merah. Apa yang kita anggap sebagai musibah bisa jadi merupakan cara Allah untuk menjaga kita. Sementara itu, apa yang terasa menyakitkan bisa menjadi jalan menuju kebaikan yang jauh lebih besar di masa depan.

Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berprasangka baik kepada Allah. Ukuran terbaik bukanlah apa yang kita inginkan, melainkan apa yang Allah pilihkan untuk kita. Semoga tulisan ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu bersabar dan percaya pada ketetapan-Nya. Mari kita tutup dengan doa.

“اللهم اجعلنا من الصابرين، وارضنا بما قسمت لنا، وبارك لنا في كل حال”

“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sabar, rida dengan segala ketetapan-Mu, dan berkahilah kami dalam setiap keadaan.”


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement