SURAU.CO – Di antara istri-istri Nabi Muhammad SAW, ada satu nama yang memegang peran sangat penting dalam sejarah Islam. Dialah Hafsah binti Umar, seorang Ummul Mukminin yang namanya terikat erat dengan penjagaan Kitab Suci Al-Qur’an. Hafsah bukan sekadar putri dari Khalifah Umar bin Khattab yang agung. Ia adalah sosok perempuan cerdas, berkarakter kuat, dan memiliki amanah besar yang membentuk masa depan umat Islam. Kisahnya memberikan teladan luar biasa tentang peran perempuan dalam peradaban.
Kepribadian Kuat Warisan Sang Ayah
Nama “Hafsah” dalam bahasa Arab berarti singa betina kecil. Nama ini seolah mencerminkan kepribadiannya yang tegas dan kuat. Sifat ini diyakini merupakan warisan dari ayahnya, Umar bin Khattab, yang bergelar Al-Faruq (Pembeda yang Benar dan Salah). Hafsah tumbuh menjadi perempuan yang tidak hanya kuat, tetapi juga memiliki kecerdasan luar biasa.
Pada masa itu, kemampuan membaca dan menulis adalah sebuah keistimewaan. Sangat sedikit perempuan, bahkan laki-laki, yang menguasainya. Hafsah termasuk dalam kelompok langka ini. Ia mampu membaca dan menulis dengan sangat baik. Kemampuannya inilah yang kelak menjadikannya sosok yang paling tepat untuk mengemban sebuah tugas bersejarah. Kelebihannya ini menunjukkan visinya yang maju dan semangatnya dalam menuntut ilmu.
Pernikahan Penuh Berkah dengan Rasulullah
Sebelum menjadi istri Nabi, Hafsah menikah dengan seorang sahabat mulia, Hisn bin Hudhafah. Suaminya ikut berjuang dalam Perang Badar. Namun, ia kemudian jatuh sakit dan wafat di Madinah. Hafsah pun menjadi janda dalam usia yang masih muda. Melihat putrinya bersedih, Umar bin Khattab merasa sangat khawatir.
Umar kemudian mendatangi sahabat terdekatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia menawarkan putrinya untuk dinikahi Abu Bakar. Namun, Abu Bakar hanya diam dan tidak memberikan jawaban. Merasa bingung, Umar lalu mendatangi Utsman bin Affan. Umar berpikir Utsman akan bersedia, karena istri Utsman, Ruqayyah binti Muhammad, baru saja wafat. Namun, Utsman dengan lembut menolak karena masih berduka.
Kegalauan Umar akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Nabi pun menenangkannya dengan sebuah kalimat indah, “Hafsah akan menikahi seseorang yang lebih baik dari Utsman, dan Utsman akan menikahi seseorang yang lebih baik dari Hafsah.” Tidak lama kemudian, Rasulullah SAW meminang Hafsah. Sementara itu, Utsman menikahi putri Nabi lainnya, Ummu Kultsum. Pernikahan ini mengangkat derajat Hafsah menjadi Ummul Mukminin, Ibu bagi orang-orang beriman.
Amanah Agung Menjaga Mushaf Pertama
Inilah peran terbesar Hafsah dalam sejarah. Setelah Rasulullah SAW wafat, Al-Qur’an masih tersimpan dalam bentuk hafalan para sahabat. Sebagian lainnya tertulis di pelepah kurma, tulang, dan batu pipih. Pada masa Khalifah Abu Bakar, banyak penghafal Al-Qur’an yang gugur syahid dalam Perang Yamamah. Umar bin Khattab khawatir wahyu Allah akan hilang. Ia lalu mengusulkan agar Al-Qur’an dikumpulkan menjadi satu kitab (mushaf).
Abu Bakar menyetujui usulan tersebut. Ia menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin proyek besar ini. Zaid dengan susah payah mengumpulkan setiap ayat dari hafalan dan catatan para sahabat. Setelah selesai, mushaf Al-Qur’an yang pertama pun terwujud. Kemudian, muncul pertanyaan penting: siapa yang akan menyimpan naskah suci ini?
Para sahabat sepakat memilih Hafsah binti Umar. Keputusan ini didasari oleh beberapa alasan kuat. Hafsah adalah istri Nabi, putri Khalifah Umar, dan ia bisa membaca serta menulis. Ia dianggap sebagai sosok yang paling amanah dan layak menjaga warisan paling berharga bagi umat Islam. Hafsah pun menerima tugas mulia ini. Ia menyimpan lembaran-lembaran wahyu itu dengan penuh tanggung jawab di rumahnya.
Sumber Rujukan Standardisasi Al-Qur’an
Amanah Hafsah tidak berhenti di situ. Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, wilayah Islam telah meluas hingga ke berbagai penjuru. Muncul masalah baru. Perbedaan dialek dalam membaca Al-Qur’an mulai menimbulkan perselisihan di antara kaum Muslimin. Utsman menyadari perlunya satu standar bacaan untuk menyatukan umat.
Untuk itu, Utsman membentuk sebuah tim untuk menyalin ulang Al-Qur’an. Tim ini kembali dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Utsman kemudian meminjam mushaf asli yang dijaga oleh Hafsah. Mushaf inilah yang menjadi rujukan utama dalam proses standardisasi. Tim tersebut menyalin beberapa naskah baru yang kemudian dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Naskah-naskah inilah yang dikirim ke seluruh penjuru dunia Islam. Setelah tugas selesai, mushaf asli dikembalikan dengan hormat kepada Hafsah.
Teladan dalam Ibadah dan Ketaatan
Selain perannya yang sangat strategis, Hafsah juga dikenal sebagai ahli ibadah. Malaikat Jibril pernah menggambarkannya kepada Nabi Muhammad sebagai “shawwamah wa qawwamah“. Artinya, ia adalah perempuan yang rajin berpuasa di siang hari dan tekun mendirikan shalat di malam hari. Jibril juga memberitakan bahwa Hafsah akan menjadi istri Nabi di surga kelak.
Kesalehan dan ketaatannya menjadi teladan abadi. Ia menghabiskan hidupnya dalam pengabdian kepada Allah dan menjaga amanah besar umat. Pada tahun 44 Hijriah, Hafsah binti Umar wafat. Ia meninggalkan warisan yang tak ternilai. Setiap kali umat Islam membaca Al-Qur’an hari ini, nama Hafsah binti Umar akan selalu terkenang sebagai sang penjaga pertama Kitab Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
