SURAU.CO – Ketika menyelami dunia puisi, satu nama tak terelakkan: Chairil Anwar. Penyair kelahiran Medan ini bukan hanya pelopor Angkatan ’45, tetapi juga figur penting dalam pembaruan puisi Indonesia. Melalui gaya ekspresionisme dan simbolisme, Chairil mengungkapkan pergolakan batin serta pencarian makna hidup.
Latar Sosial dan Kepribadian Chairil Anwar
Chairil lahir pada tahun 1922 dan wafat dalam usia muda, 1949. Ia hanya mengenyam pendidikan hingga SMP. Setelah meninggalkan Medan dan pindah ke Batavia, ia mengalami langsung kekacauan zaman Jepang dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Menurut A.H. Johns, Chairil adalah sosok “irregular, arrogant, eccentric, burnt up with an obsessional vitality”. Ia menjalani hidup bohemian, menolak norma sosial, agama, bahkan nasionalisme dalam bentuk formal. Namun, semua itu bukan sekadar pemberontakan luar. Sebaliknya, itu adalah bagian dari pencarian jati diri yang ia ekspresikan dalam puisi.
Dunia Puisi yang Menggambarkan Dunia Batin
Puisi Chairil sangat personal. Ia jarang menulis tentang dunia luar secara langsung. Sebaliknya, ia lebih fokus pada kegelisahan eksistensial, kehampaan, kerinduan, dan kematian. Penyair ini sangat sadar teknik dan kerap merevisi puisinya berulang-ulang.
Dalam suratnya ia menulis:
“If I write without putting a total effort into my work, I may degenerate into an improvisor.”
Ia membandingkan proses menulis puisi dengan kerja Beethoven: memerlukan sketsa, persiapan panjang, dan kesungguhan penuh.
Teknik dan Gaya: Simbolisme dan Ekspresionisme
Meskipun banyak yang mengaitkan Chairil dengan Marsman atau Slauerhoff dari Belanda, Johns menyebut pengaruh simbolisme Prancis jauh lebih dalam. Chairil menciptakan dunia batin yang kompleks, dengan simbol-simbol personal yang hanya dapat dipahami dalam konteks pengalaman dan emosinya sendiri.
Valéry pernah menulis:
“A poem is like a heavy weight which the poet has carried to the roof bit by bit…”
Chairil juga membentuk puisi seperti itu. Ia menyusun kata secara cermat, menjadikan puisi sebagai konstruksi intelektual, bukan sekadar luapan emosi.
Tema-tema dalam Puisi Chairil
1. Krisis Nilai dan Eksistensialisme
Puisi “Nisan” bukan sekadar elegi untuk neneknya. Di dalamnya Chairil mengungkap kehilangan nilai lama, terutama keridlaan yang membuat hidup dahulu terasa dapat diterima.
“Tak kutahu setinggi itu atas debu / dan duka maha tuan bertachta.”
Dari sini, puisi-puisinya sering berbicara tentang dunia yang hancur, nilai-nilai yang runtuh, dan pencarian makna baru.
2. Semangat Perlawanan dan Vitalisme
Puisi “Diponegoro” menggambarkan semangat revolusioner yang mendidih. Bagi Jepang, puisi ini bisa terbaca sebagai glorifikasi tentara. Namun, bagi Chairil, Diponegoro adalah simbol pemberontakan batin terhadap tatanan.
“Sekali berarti / sudah itu mati.”
Demikian pula dalam puisi “Aku”, ia menggambarkan dirinya seperti binatang buas yang menolak tunduk pada kebusukan sosial.
3. Kesepian dan Ketidakmampuan Berkomunikasi
Dalam puisi seperti “Kesabaran” dan “Sendiri”, Chairil menampilkan dunia batin yang hening, gelap, dan terasing. Ia merasa suara tak didengar, emosi tak tersampaikan.
“Aku hendak berbicara / suaraku hilang, tenagaku terbang.”
Bahkan dalam hubungan cinta pun, seperti pada puisi “Sia-sia”, ia merasa terkurung dan tidak mampu membuka diri.
“Ah! Hatiku yang tak mau memberi / Mampus kau dikoyak-koyak sepi.”
4. Agama dan Tuhan: Antara Pemberontakan dan Penyerahan
Chairil memiliki hubungan kompleks dengan Tuhan. Dalam puisi “Di Mesdjid”, ia menantang Tuhan dalam semacam duel spiritual:
“Ini ruang / gelanggang kami berperang / binasa membinasa / satu menista lain gila.”
Namun, pada puisi “Doa”, Chairil menunjukkan sisi yang lembut, penuh penyerahan dan keikhlasan:
“Tuhanku / dalam termangu / aku masih menyebut namaMu.”
Kedua puisi ini mencerminkan pertarungan batin antara keinginan menolak dan kebutuhan spiritual untuk percaya.
Tuduhan Plagiarisme: Sekadar Resonansi atau Kreativitas?
Beberapa kritikus menuding Chairil sebagai plagiator karena ia menerjemahkan atau mengadaptasi puisi asing tanpa menyebut sumber. Namun, Johns menyatakan bahwa Chairil justru mentransformasikan karya itu menjadi miliknya sendiri.
Misalnya, pada puisi “Datang Dara, Hilang Dara”, ia tidak hanya menerjemahkan, tetapi juga mengubah irama, simbol, dan muatan emosional. Kalimat
“Aku, sendiri getaran jang djadikan gelombang,”
jauh lebih kuat daripada versi aslinya.
Demikian juga dengan puisi “Kerawang-Bekasi” yang berbasis karya Archibald MacLeish, Chairil memberi makna baru tentang kematian dan pengorbanan dalam konteks perjuangan Indonesia.
Penutup: Warisan Chairil Anwar
Chairil Anwar bukan penyair biasa. Ia menulis dari dalam, dari kehancuran dan gairah yang membakar jiwanya. Dunia puisi Indonesia modern tak akan lahir tanpa pengaruhnya. Johns menyimpulkan bahwa:
“Chairil Anwar… possessed such an axis, a basic perspective… and that his poems are directly personal and unique.”
Chairil membawa puisi simbolis dan modernisme ke dalam bahasa Indonesia. Meski ia kerap diperdebatkan, puisinya tetap berdiri sebagai bukti keberanian, kegelisahan, dan ketulusan. (AE).