Mempelajari Al-Quran adalah pilar utama dalam kehidupan seorang Muslim. Kitab suci ini bukan sekadar bacaan. Ia adalah panduan hidup yang komprehensif. Namun, tantangan pertama yang dihadapi setiap Muslim adalah bagaimana cara membacanya dengan benar. Di Indonesia, dua metode telah terbukti sangat efektif dan populer. Keduanya adalah metode mengaji Turutan dan Iqra.
Banyak orang mengenal metode ini sebagai cara praktis. Keduanya menawarkan jalan untuk memahami huruf Hijaiyah. Keduanya juga memandu santri melafalkan ayat suci dengan lancar. Namun, kekuatan sejati dari kedua metode ini seringkali terlewatkan. Kekuatannya tidak hanya terletak pada efektivitas teknis. Lebih dari itu, metode ini secara fundamental membentuk akhlak dan karakter. Proses belajar yang mengharuskan interaksi langsung dengan guru (talaqqi) menjadi kuncinya.
Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana metode mengaji Turutan dan Iqra bekerja. Kita akan melihat bagaimana proses belajar ini melampaui sekadar kemampuan membaca. Kita akan memahami bagaimana ia menanamkan nilai-nilai luhur pada setiap santri.
Mengenal Metode Turutan: Warisan Klasik yang Menjaga Adab
Metode Turutan adalah pendekatan pembelajaran Al-Quran yang paling klasik. Namanya sendiri berasal dari kata “turun-temurun”. Ini menunjukkan bahwa metode ini diwariskan dari generasi ke generasi. Ia telah menjadi tulang punggung pendidikan Al-Quran di surau, langgar, dan pesantren tradisional selama berabad-abad.
Bagaimana Metode Turutan Bekerja?
Metode ini sangat menekankan pengenalan huruf secara individual. Prosesnya sangat terstruktur dan repetitif.
-
Pengenalan Huruf Tunggal: Guru memperkenalkan setiap huruf Hijaiyah satu per satu. Santri diminta menghafal nama dan bentuk huruf tersebut.
-
Pemberian Harakat: Setelah hafal huruf, guru mengajarkan tanda baca dasar (fathah, kasrah, dhammah). Santri melafalkan bunyi huruf yang telah diberi harakat.
-
Pengejaan Kata: Proses selanjutnya adalah mengeja. Santri akan mengeja setiap huruf dalam sebuah kata sebelum membacanya secara utuh. Contohnya, untuk kata “kataba”, santri akan mengeja “Kaf-fathah ‘Ka’, Ta-fathah ‘Ta’, Ba-fathah ‘Ba’, dibaca Kataba”.
-
Pengulangan Terus-Menerus: Kunci utama Turutan adalah pengulangan. Guru akan membaca, lalu santri menirukan. Proses ini dilakukan berulang kali hingga lafal santri dianggap benar dan fasih.
Pembentukan Karakter dalam Metode Turutan
Di sinilah letak keistimewaan metode Turutan. Proses belajar tatap muka ini secara tidak langsung menanamkan nilai-nilai penting.
-
Kesabaran dan Ketekunan: Sistem pengejaan dan pengulangan yang intensif melatih santri untuk sabar. Mereka belajar bahwa penguasaan ilmu membutuhkan proses. Tidak ada jalan pintas untuk mencapai kefasihan.
-
Rasa Hormat kepada Guru (Takzim): Interaksi langsung membangun hubungan yang kuat. Santri belajar untuk mendengarkan dengan saksama. Mereka menghormati otoritas ilmu yang dimiliki guru. Adab duduk, bertanya, dan menerima koreksi menjadi pelajaran sehari-hari.
-
Menghargai Proses: Metode ini mengajarkan bahwa setiap langkah kecil sangat berharga. Dari menghafal satu huruf hingga mampu merangkai kata, semua adalah pencapaian yang patut disyukuri. Ini membangun mentalitas yang menghargai proses, bukan hanya hasil akhir.
Para guru ngaji senior sering mengungkapkan, “Metode Turutan tidak hanya mengajar mulut untuk membaca, tetapi juga mengajar hati untuk tunduk dan sabar”
Metode Iqra: Revolusi Belajar Cepat dan Sistematis
Pada akhir abad ke-20, muncul sebuah inovasi yang merevolusi cara belajar Al-Quran. Seorang tokoh dari Yogyakarta, K.H. As’ad Humam, mengembangkan metode Iqra. Ia merancang metode ini agar para santri dapat belajar lebih cepat tanpa mengorbankan kualitas bacaan.
Metode ini lahir dari keprihatinan atas lamanya waktu yang dibutuhkan anak-anak untuk bisa membaca Al-Quran dengan metode tradisional. Iqra menawarkan pendekatan yang lebih modern dan efisien.
Bagaimana Metode Iqra Bekerja?
Iqra menggunakan sistem Cara Belajar Santri Aktif (CBSA). Santri didorong untuk aktif belajar secara mandiri di bawah bimbingan guru.
-
Sistem Jilid (Volume): Iqra terdiri dari enam jilid buku tipis. Setiap jilid memperkenalkan konsep tajwid secara bertahap.
-
Tanpa Eja: Ini adalah perbedaan paling fundamental. Iqra tidak menggunakan sistem eja. Santri langsung diajarkan bunyi utuh dari sebuah suku kata. Misalnya, “ba”, “bi”, “bu” langsung dibaca bunyinya, bukan dieja “Ba-fathah ‘ba'”.
-
Pengenalan Bertahap: Materi disajikan secara sistematis. Mulai dari huruf tunggal berharakat, huruf sambung, bacaan panjang (mad), hingga aturan tajwid yang lebih kompleks.
-
Validasi Guru: Santri membaca materi di hadapan guru. Jika bacaannya sudah lancar dan benar, guru akan memberikan paraf. Santri kemudian boleh melanjutkan ke halaman berikutnya. Jika belum, ia harus mengulanginya.
Pembentukan Karakter dalam Metode Iqra
Meskipun terlihat lebih modern, metode mengaji Turutan dan Iqra memiliki kesamaan dalam pembentukan karakter melalui peran guru.
-
Disiplin dan Tanggung Jawab: Santri memegang kendali atas kemajuan belajarnya. Mereka bertanggung jawab untuk berlatih hingga lancar. Ini menumbuhkan rasa disiplin pribadi dan kemandirian.
-
Kejujuran dan Integritas: Proses validasi oleh guru menanamkan kejujuran. Santri tidak bisa “curang” untuk naik ke level berikutnya. Mereka harus benar-benar menguasai materi.
-
Membangun Kepercayaan Diri: Setiap kali berhasil menyelesaikan satu halaman atau satu jilid, kepercayaan diri santri meningkat. Mereka merasakan pencapaian nyata dari usaha mereka sendiri.
Peran Sentral Guru: Lebih dari Sekadar Transfer Ilmu
Peran guru menjadi faktor terpenting yang menyatukan kedua metode ini. Baik Turutan maupun Iqra membutuhkan bimbingan seorang guru yang mumpuni agar menjadi efektif. Sebab, kita tidak bisa mempelajari Al-Quran seperti belajar matematika dari buku. Proses belajar Al-Quran melibatkan transmisi spiritual dan adab secara langsung. Kita mengenal proses ini dengan istilah talaqqi musyafahah, yaitu belajar langsung dari mulut ke mulut.
Mengapa Guru Tidak Tergantikan?
-
Koreksi Makhraj dan Tajwid: Aplikasi atau video tidak dapat memberikan koreksi lafal (makhraj) secara presisi. Guru dapat mendengarkan secara langsung. Guru bisa menunjukkan di mana letak kesalahan lidah, bibir, atau tenggorokan.
-
Menjadi Teladan (Uswah Hasanah): Guru ngaji adalah model karakter. Cara guru berinteraksi, kesabarannya menghadapi santri, dan keikhlasannya dalam mengajar menjadi pelajaran akhlak yang paling nyata. Santri melihat dan meniru adab tersebut.
-
Memberikan Nasihat Personal: Guru yang baik mengenal setiap santrinya. Ia tidak hanya mengoreksi bacaan. Ia juga memberikan nasihat, motivasi, dan doa. Ikatan emosional dan spiritual ini sangat penting untuk perkembangan karakter anak.
-
Menjaga Sanad Keilmuan: Belajar langsung kepada guru berarti menyambungkan diri pada rantai keilmuan (sanad) yang bersambung hingga Rasulullah SAW. Ini menanamkan rasa hormat yang mendalam terhadap ilmu dan sumbernya.
Proses inilah yang membedakan belajar ngaji di TPA dengan belajar mandiri melalui aplikasi. Teknologi bisa menjadi alat bantu. Namun, ia tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan ruhani dan pembentukan karakter dari seorang guru.
Meskipun berbeda pendekatan, tujuan akhirnya sama. Keduanya bertujuan melahirkan generasi yang tidak hanya fasih membaca Al-Quran, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia.
Kesimpulan: Membangun Generasi Qurani yang Berkarakter
Pada akhirnya, metode mengaji Turutan dan Iqra lebih dari sekadar alat. Keduanya adalah sebuah ekosistem pendidikan yang utuh. Keduanya berhasil menggabungkan pengajaran teknis membaca dengan penanaman nilai-nilai luhur secara simultan.
Metode-metode ini menawarkan kemudahan dan kecepatan sebagai gerbang pembuka. Namun, para santri menemukan harta karun sesungguhnya dalam proses interaksi langsung dengan guru. Di hadapan gurulah, seorang santri belajar kesabaran, disiplin, hormat, dan kejujuran. Guru tidak hanya mengajarkan mereka cara membaca firman Tuhan, tetapi juga membimbing bagaimana seharusnya bersikap sebagai hamba Tuhan.
Warisan metode Turutan dan Iqra mengingatkan kita pada sebuah kebenaran abadi, terutama di tengah era digital di mana kita bisa mengakses semua ilmu hanya melalui layar. Pendidikan terbaik adalah pendidikan yang menyentuh akal sekaligus membentuk jiwa. Dan itu hanya bisa terjadi melalui sentuhan manusiawi dari seorang guru yang ikhlas.