SURAU.CO – Sebuah pengumuman mengejutkan datang dari salah satu ikon kuliner Kota Solo, Ayam Goreng Widuran. Setelah beroperasi selama puluhan tahun, pihak restoran baru-baru ini menyatakan bahwa salah satu menu andalannya menggunakan bahan non-halal. Tentu saja, kabar ini segera menjadi sorotan publik. Restoran yang berdiri sejak 1973 ini kini menjadi pusat perbincangan hangat di berbagai platform media sosial. Akibatnya, kejadian ini memicu beragam reaksi, terutama kekecewaan dari pelanggan setia dan Muslim. Kontroversi ini tak pelak menyeret nama Indra, selaku Pemilik Ayam Goreng Widuran dan pengelola usaha warisan keluarga tersebut.
Ayam Goreng Widuran: Jejak Legendaris dan Peran Sentral Indra
Selama bertahun-tahun, Ayam Goreng Widuran telah mengukuhkan dirinya sebagai destinasi kuliner wajib di Solo. Banyak wisatawan maupun warga lokal mengakui kelezatan ayam gorengnya yang empuk dan gurih, ditambah dengan taburan kremesan renyah yang khas. Oleh karena itu, tidak heran jika restoran ini mampu bertahan lebih dari lima dekade. Di balik kesuksesan dan konsistensi rasa ini, terdapat sosok Indra. Berdasarkan penelusuran, termasuk laporan Tempo.co yang merujuk pada video food vlogger Jony Rahardja (29 Mei 2021), Indra adalah seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang tekun mengelola Ayam Goreng Widuran.
Lebih lanjut, dalam video tersebut, Jony Rahardja sempat berbincang dengan Indra. Saat itu, Indra menjelaskan bahwa resep Ayam Goreng Widuran merupakan warisan turun-temurun dari keluarganya. Ia menunjukkan dedikasi tinggi untuk menjaga keaslian resep tersebut. Dengan demikian, ia berharap cita rasa khas Widuran tidak akan berubah meskipun generasi berganti. Dedikasi inilah yang kemudian memungkinkan restoran ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berhasil membuka cabang di Bali, membawa serta reputasi kuliner legendaris dari Solo.
Kontroversi terkait kuliner non-halal ini mulai mencuat setelah beredar informasi mengenai kandungan kremesan khas Ayam Goreng Widuran. Informasi tersebut menyebutkan bahwa kremesan itu mengandung minyak babi sebagai salah satu bahan dasarnya. Sontak, kabar ini menimbulkan kegaduhan, terutama di kalangan masyarakat Muslim. Mereka mungkin selama ini telah mengonsumsi hidangan tersebut tanpa mengetahui kandungan bahan secara detail. Akibatnya, banyak pelanggan merasa kecewa dan bahkan merasa tertipu, mengingat status kehalalan makanan merupakan aspek yang sangat penting bagi sebagian besar konsumen di Indonesia.
Kekecewaan Pelanggan: Ulasan dan Pengalaman Pahit Akibat Minim Informasi
Ulasan-ulasan di Google Review dengan jelas merekam gelombang kekecewaan ini. Banyak konsumen merasa pihak restoran telah menjebak dan membohongi mereka. Mereka kecewa karena pihak warung makan tidak mencantumkan informasi status non-halal produknya secara jelas sebelumnya.
Salah satunya, Teguh Budianyo, seorang pemandu wisata lokal, menyuarakan pengalamannya. HarianJogja (Sabtu, 24/5/2025) mengutip kunjungannya ke Ayam Goreng Widuran sekitar empat bulan lalu. Ia menilai penjual tidak jujur. “Awal datang sudah curiga karena tamu yang lain menatap ke kami, langsung cek google review, terus tanya karyawan yang mau goreng ayam, dan jreng !!! ternyata NON HALAL, seketika saya langsung batalkan pesanan,” tulis Teguh. Ia menyoroti bagaimana pihak warung sama sekali tidak memberitahunya mengenai status non-halal makanan tersebut. Padahal, ia datang dengan mobil plat luar kota Solo dan seluruh anggota keluarganya mengenakan hijab.
Selain Teguh, Yuyun Novita juga mengalami hal serupa dan mengungkapkan kekecewaannya melalui Google Review. Ia mengaku awalnya sangat menikmati kelezatan ayam goreng tersebut. “Jujur rasanya emang enak aku sama suami sampe girang banget saking senengnya nemu ayam kampung tapi rasanya bisa seenak ini,” tulisnya. Yuyun bahkan sempat membeli untuk dibawa pulang, termasuk kremes untuk anaknya di rumah.
Namun, kebahagiaan itu sontak berubah menjadi keterkejutan. “Dan yang bikin shock ternyata makanan di sini engga halal. Padahal saya makan disana memakai hijab. Kenapa pegawainya tidak ada yg memberi tahu saya???? Jika memang disitu makanannya tidak halal harusnya ditulisin dong “non halal” atau mungkin jika ada pembeli yg memakai hijab datang kesana pegawainya memberi tahu,” keluh Yuyun. Ia pun mendesak pihak warung untuk lebih edukatif. Setidaknya, mereka harus mencantumkan label “NON HALAL” agar konsumen Muslim tidak merasa menjadi korban penipuan.
Langkah Klarifikasi dan Permohonan Maaf dari Pihak Restoran
Menanggapi polemik yang kian berkembang dan keresahan yang meluas di masyarakat, manajemen Ayam Goreng Widuran, di bawah arahan Indra, akhirnya mengambil langkah untuk mengeluarkan klarifikasi resmi. Melalui akun Instagram resmi mereka, @ayamgorengwiduransolo, pada Sabtu, 24 Mei 2025, pihak restoran menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada publik.
“Pemberitahuan. Kepada seluruh pelanggan Ayam Goreng Widuran, kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kegaduhan yang beredar di media sosial belakangan ini. Kami memahami bahwa hal ini menimbulkan keresahan dalam masyarakat,” demikian kutipan pernyataan resmi tersebut.
Selanjutnya, dalam klarifikasinya, manajemen Ayam Goreng Widuran juga menyatakan komitmen untuk mengevaluasi secara menyeluruh semua produk yang mereka sajikan. Sebagai langkah konkret dan demi menghindari kesalahpahaman yang berkelanjutan, mereka mengumumkan akan menambahkan label “non-halal” secara jelas pada produknya. Pihak restoran menegaskan akan mencantumkan label ini di seluruh outlet fisik dan juga pada berbagai platform media sosial resmi milik mereka.
“Kami berharap masyarakat dapat memberi kami ruang untuk memperbaiki dan membenahi semuanya dengan itikad baik,” pungkas pernyataan itu. Pernyataan ini mengindikasikan adanya keinginan dari pihak restoran untuk bertanggung jawab dan memperbaiki situasi yang telah terjadi.
Dampak Kontroversi dan Pelajaran Berharga bagi Industri Kuliner
Tidak dapat dipungkiri, kasus Ayam Goreng Widuran Non-halal ini berdampak signifikan pada kepercayaan publik terhadap merek tersebut. Kepercayaan konsumen merupakan aset yang sangat berharga bagi kelangsungan setiap bisnis. Insiden seperti ini, terlebih melibatkan aspek sensitif seperti kehalalan, dapat menggerus kepercayaan tersebut dengan sangat cepat. Oleh karena itu, langkah klarifikasi dan permintaan maaf yang telah manajemen sampaikan merupakan langkah awal yang penting. Namun, upaya untuk membangun kembali kepercayaan yang telah isu ini koyak tentunya akan membutuhkan waktu dan konsistensi dalam tindakan nyata di kemudian hari.
Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi pengingat penting bagi seluruh pelaku usaha di industri kuliner Indonesia. Para pengusaha tidak bisa lagi mengabaikan pentingnya transparansi mengenai kandungan bahan dalam produk mereka, terutama yang berkaitan dengan isu kehalalan atau potensi alergen. Di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia, isu sertifikasi halal dan kejelasan status produk menjadi sangat krusial. Maka dari itu, pelaku usaha sebaiknya lebih proaktif dalam memberikan informasi akurat yang mudah konsumen akses.
Bagi Indra sebagai Pemilik Ayam Goreng Widuran, ini adalah tantangan besar untuk memulihkan reputasi restoran yang telah ia kelola. Indra kini harus mengimbangi dedikasinya dalam menjaga warisan kuliner dengan komitmen yang jauh lebih kuat terhadap transparansi dan pemenuhan kebutuhan informasi konsumen. Ke depannya, publik berharap industri kuliner di Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga dari kasus ini. Industri perlu menjadi semakin matang dalam mengelola aspek kepercayaan dan keterbukaan informasi produk. Selain itu, masyarakat perlu menjadi konsumen yang semakin kritis dan teliti dalam memilih produk yang akan mereka konsumsi. (KAN)