CM Corner
Beranda » Berita » Kedewasaan Beragama

Kedewasaan Beragama

Kedewasaan Beragama
Ilustrasi: Kedewasaan Beragama

Oleh: Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

SURAU.CO Suatu hari, seorang pelacur mendatangi Rasulullah Muhammad. Ia akan diadili atas buah perbuatannya selama ini. Namun, keputusan Rasulullah sungguh di luar dugaan. Beliau justru membebaskan si pelacur dari hukuman rajam hingga kandungannya lahir serta proses menyusui dan merawat sang jabang bayi selesai. Teladan ini menunjukkan esensi dari kedewasaan beragama.

Teladan tersebut berlanjut di era Umar bin Khattab. Saat beliau mendapatkan laporan bahwa seorang budak mencuri unta, Khalifah Umar justru membebaskan budak tersebut dari hukuman potong tangan. Khalifah malah menghukum sang majikan karena selama ini membiarkan budaknya dalam keadaan lapar. Dua kutipan ini sungguh menunjukkan betapa mulia akhlak Rasulullah dan Khalifah Umar. Tingginya kualitas agama yang mereka miliki membuat setiap keputusan selalu mempertimbangkan aspek keadilan dan kebaikan bersama. Inilah yang disebut dengan kedewasaan beragama: menggunakan akal budi untuk memecahkan masalah hidup dengan penuh kebaikan.

Melampaui Surga-Neraka dan Etika Timbal Balik

Sejak awal, Rasulullah menegaskan bahwa beliau diutus ke dunia semata-mata demi menyempurnakan kebaikan-kebaikan moral (akhlak) manusia. Tolok ukur benar-salahnya sikap seseorang pertama-tama kita lihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia, bukan sebagai pelaku peran tertentu (Franz Magnis-Suseno, 1987). Kedewasaan beragama juga berarti bahwa manusia, sebagai hamba Tuhan, menjalankan kebaikan karena kesadaran nuraninya mengatakan di situlah hakikat kemanusiaan diletakkan.

Dengan demikian, cara beragama seperti ini melampaui dua hal. Pertama, berbuat baik karena sekadar menghindari siksa neraka atau mengharapkan surga. Dalam konteks keduniawian, ini setara dengan meninggalkan keburukan karena takut hukuman (punishment) atau berbuat baik karena ingin mendapatkan imbal jasa (reward). Sebagai contoh, negara-negara maju yang rendah tingkat korupsinya, jika kita kaji lebih lanjut, sebenarnya bukan karena kesadaran moral murni, melainkan karena pemerintah mereka menegakkan hukum dengan tegas.

Minhājul ‘Ārifīn: Jalan Para Pencari Kedekatan dengan Allah

Kedua, beragama secara dewasa berarti melampaui lemahnya sandaran pada etika resiprokal. Etika ini mengatakan, pertimbangan berbuat baik kepada orang lain adalah agar orang lain juga sebaliknya berbuat baik kepada kita. Landasan seperti ini mengandung problem serius. Jika ada orang yang sudah tidak lagi memerlukan kebaikan dari orang lain karena merasa telah memiliki segalanya, maka tidak ada lagi motivasi baginya untuk berbuat baik.

Tiga Pilar Membangun Kedewasaan Beragama

Lalu, bagaimana pola untuk membangun masyarakat yang lebih dewasa dalam beragama? Setidaknya ada tiga pilar yang perlu ditegakkan.

1. Mengetahui Prinsip Moral Dasar.
Langkah pertama adalah mengetahui kebaikan dan keburukan sebagai prinsip moral paling dasar. Prinsip ini adalah manifestasi dari kehendak untuk selalu berbuat baik dan menghindari atau setidaknya mengurangi terjadinya hal-hal buruk. Perwujudan dari prinsip ini sederhana. Jika kita tidak dapat menguntungkan atau membahagiakan orang lain, sekurang-kurangnya kita tidak merugikan atau menyengsarakannya (Sudarminta, 1997).

2. Menjadikan Keyakinan Transendental sebagai Alasan.
Pilar kedua adalah memastikan bahwa alasan kita berbuat baik dan menjauhi yang buruk adalah keyakinan transendental agama. Etika semacam ini berlandaskan pada prinsip bahwa hakikat kebaikan manusia menjadi jaminan kebahagiaan sejati. Dan kebahagiaan sejati bagi hamba Tuhan adalah saat ia melaksanakan perintah dan kehendak-Nya. Oleh karena itu, moralitas sejati senantiasa mengandaikan agama. Keyakinan akan adanya Tuhan yang memberi pahala kepada orang baik dan menjatuhkan hukuman kepada orang jahat menjadi penjamin yang kuat.

3. Mengurangi Legalisme Agama.
Ketiga, kita perlu mengurangi legalisme dalam beragama. Selama ini, kuatnya kecenderungan agama yang legalistik mengakibatkan umat seringkali melakukan pembiaran terhadap hal-hal yang menurut standar etika dan moral adalah buruk. Misalnya, haramnya korupsi, buruknya nepotisme, dan mungkarnya kolusi. Semakin legalistik sebuah agama, seringkali semakin jauh ia dari etika dan moralitas sejati. Hal ini karena legalisme seringkali hanya menghadirkan ketakutan dan ancaman, serta melalaikan dimensi batin manusia. Sebaliknya, etika dan moralitas mengandalkan kesadaran dan kesalehan demi pengendalian diri dari hal-hal yang merugikan.

Kejujuran: Mahkota Akhlak dan Cahaya Kehidupan

Pada akhirnya, sejarah agama adalah sejarah tumbuh suburnya etika dan moralitasKedewasaan beragama tidak lain bertujuan untuk meneruskan warisan para rasul dalam rangka membangun kehidupan kemanusiaan yang adil dan beradab.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement