Oleh: Masykurudin Hafidz, Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)
SURAU.CO – Pilkada diulang karena calon kalah dari kolom kosong. Strategi elite untuk menang mudah justru dilawan dengan kemerdekaan memilih. Demokrasi lokal memunculkan paradoks pemilu yang tidak kompetitif, di mana biaya politik yang tinggi mempersempit ruang kandidasi alternatif. Kondisi ini memaksa kita untuk memahami perilaku pemilih di Pilkada tanpa kompetisi.
Defisit demokrasi ini diselamatkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang menyediakan kolom kosong sebagai alternatif jika hanya ada satu pasangan calon. Mekanisme ini mengubah tindakan tidak memilih dari abstensi pasif menjadi protes elektoral aktif. Sejak Pilkada serentak 2015, terdapat 90 daerah yang melaksanakannya dengan calon tunggal. Pengalaman Pilkada 2024 dengan calon tunggal menunjukkan, partisipasi pemilih paling tinggi justru terjadi di daerah di mana kolom kosong menang. Sebaliknya, kemenangan tertinggi pasangan calon tunggal terjadi di daerah dengan partisipasi paling rendah.
Empat Tipologi Perilaku Pemilih di Pilkada Tanpa Kompetisi
Pendekatan strategi kognitif pemilih dari Richard R. Lau dan David P. Redlawsk (2006) dapat kita gunakan untuk memahami cara pemilih mengambil keputusan. Terdapat empat tipe strategi yang relevan untuk mengklasifikasikan pemilih kolom kosong.
Pertama, rational choice.
Tipe ini adalah pemilih yang menghitung secara cermat untung rugi dari setiap pilihan politik. Pemilih ini cenderung kritis terhadap calon tunggal dan memilih kolom kosong karena secara rasional merasa tidak ada keuntungan dari memilih kandidat tersebut. Semakin banyak pemilih tipe ini, semakin potensial kolom kosong menang.
Kedua, early socialization and cognitive consistency.
Tipe ini adalah pemilih yang memiliki preferensi terbentuk sejak lama, misalnya loyal terhadap partai atau ideologi tertentu. Jika calon tunggal tidak sesuai dengan nilai tersebut, maka pemilih akan memilih kolom kosong untuk menjaga konsistensi sikap. Hal ini terbukti dengan perolehan suara pasangan calon di Pilkada yang jauh di bawah perolehan suara partai koalisi saat Pemilu.
Ketiga, fast and frugal.
Tipe ini menggambarkan pemilih yang mengambil keputusan berdasarkan satu atau dua isu utama saja. Jika calon tunggal dianggap gagal dalam satu isu penting (misalnya korupsi atau pelayanan publik), maka kelompok ini akan cepat memilih kolom kosong.
Keempat, bounded rationality and intuition.
Tipe ini adalah pemilih yang bertindak berdasarkan intuisi dan shortcut kognitif. Mereka tidak terlalu banyak menganalisis informasi, tetapi memiliki rasa tidak percaya atau tidak nyaman terhadap calon tunggal, sehingga cenderung memilih kolom kosong secara spontan.
Dinamika Keputusan Memilih
Dalam konteks Pilkada calon tunggal, interaksi antara faktor tradisional (seperti patronase dan tokoh agama) dengan faktor modern (seperti media sosial) menjadi sangat penting dalam membentuk keputusan pemilih. Pembentukan calon tunggal seringkali justru menimbulkan solidaritas kuat untuk menyatakan tidak setuju. Informasi yang diterima pemilih dengan mudah membentuk keputusan yang cenderung negatif terhadap keberadaan calon tunggal, yang pada akhirnya mempersulit kandidat tersebut untuk meraih kemenangan.
Mengapa? Karena preferensi pemilih sekarang ini tidak semata-mata lahir dari pertimbangan individual-transaksional. Preferensi tersebut terbentuk melalui interaksi yang kompleks antara posisi sosial-ekonomi, tradisi lokal, akses ke media, dan jaringan sosial. Oleh karena itu, memahami perilaku pemilih di Pilkada tanpa kompetisi adalah area yang wajib diperhatikan oleh partai dan aktor politik.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
