Sahabat dalam Dakwah: Lebih dari Sekadar Teman
Ta’awun—Bersama dalam Jalan Dakwah
Dakwah tidak bisa dilakukan sendirian. Allah menegaskan pentingnya tolong-menolong, seperti terlihat dalam kisah Nabi Musa yang meminta Saudara Harun sebagai pendamping untuk menyampaikan risalah lebih efektif: “Kami akan membantumu dengan saudaramu…” (QS. Al-Qaṣaṣ:34) .
Rasulullah ﷺ sendiri ditopang oleh sahabat dan keluarga—dari Khadijah yang menjadi penyokong pertama, hingga Abu Bakar yang dikenal sebagai sahabat paling setia dan dermawan dalam mendukung dakwah, baik secara moral maupun materiil.
Sahabat: Teladan Perjuangan dan Pengorbanan
Abu Bakar Ash-Shiddiq bukan hanya sahabat dekat Nabi — ia mewakili kekuatan dakwah dalam kesetiaan, pengorbanan, dan tindakan nyata.
Ia membebaskan Bilal dari perbudakan dan menemani Nabi ﷺ dalam hijrah, menunjukkan bahwa sahabat sejati berdiri untuk mendukung bukan hanya dengan kata, tapi dengan nyawa dan harta.
Begitu pula kisah lainnya, seperti Sahabat Syaban bin ‘Abdullah al-Qurasyi, yang meski garis keturunannya mulia, memilih jalur dakwah penuh pengorbanan hingga akhir hayatnya.
Persahabatan Berdasarkan Keimanan
Memang, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” (QS. al-Ḥujurāt:10), dan “tidak sempurna keimanan salah seorang kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”
Sahabat dalam dakwah berarti saling menguatkan, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, sebagaimana perintah dalam QS. al-‘Aṣr.
Inspirasi untuk Generasi Kini
Para sahabat hidup di tengah tantangan besar—penolakan, penghinaan, bahkan ancaman nyawa—namun tidak pernah goyah. Semoga generasi sekarang meneladani semangat mereka dalam konsistensi, tabah, dan keberanian menghadapi tekanan zaman.
Ringkasan Inspiratif: Elemen Utama Makna Mendalam
Ta’awun Dakwah adalah kerja bersama, bukan upaya tunggal. Pengorbanan Sahabat Kesetiaan, moral, bahkan harta dikorbankan demi agama. Ukhuwwah Islamiyah Persahabatan didasari cinta karena Allah dan semangat saling mendukung. Teladan Hidup Nyata Sahabat mengajarkan bahwa dakwah itu butuh keberanian, konsistensi, dan iman.
Ilmiah tapi tak bermakna.
Banyak tulisan ilmiah tanpa makna tak landasan ilmiah yang bisa dipertanggung jawaban yang hanya adalah tulisan biasa yang kehilangan tuh atau ibarat badan tanpa nyawa.
Ini tulisan mengingatkan hari ini jangan ada tulisan kehilangan tuh maka kita hendak bersungguh sunguh.
1. Ketergantungan pada Indeksasi & Bibliometrik
Scopus sebagai tolok ukuran yang problematis
Scopus hanyalah sebuah database abstrak dan sitasi milik Elsevier—dengan batasan seperti biaya mahal, proses seleksi yang kurang transparan, dan ketimpangan merugikan riset non-Barat atau non-Inggris.
Manipulasi metrik: Ketika metrik—seperti sitasi dan publikasi—dijadikan target, legitimasi penilaian penelitian pun tergerus (Goodhart’s Law). Ini memicu perilaku seperti self-citation, penulisan makalah rendah kualitas, bahkan jurnal predator.
Dampak nyata di Indonesia: Penelitian menunjukkan banyak guru besar di Indonesia menerbitkan di jurnal predator, diiringi penurunan sitasi rata-rata—yang menunjukkan miskonsepsi bahwa volume = kualitas. Sistem seperti SINTA memperkuat kultur ini, mencederai integritas dan relevansi riset.
2. Erosi Etika dan Integritas Ilmiah
Persekutuan tidak sehat dalam penulis dan publikasi
Dari penambahan nama dosen yang tidak berkontribusi hingga jasa paper mill, muncul praktik ghostwriting, pembelian authorship, dan predatory publishing yang menciderai kemurnian ilmiah.
Demokratisasi pengetahuan yang menyimpang
Idealnya membuka ruang bagi siapa saja untuk mengklaim pengetahuan bisa menyuburkan kreativitas. Namun praktik itu juga membuka peluang klaim tanpa verifikasi, menyuburkan informasi keliru atau pseudo-ilmiah.
3. Suara dari Komunitas
Kutipan dari Reddit memperkuat kritik:
> “Scopus itu database doang, sama kayak Sinta/Garuda, ga semua yg terindeks Scopus itu 100 % reliable…”
“You know… sejak jadi syarat kenaikan pangkat, jadi banyak artikel jurnal sampah tulisan akademisi Indonesia…”
Komentar ini mencerminkan frustrasi bahwa sistem mengekang, bukan memberdayakan, akademisi.
4. Jalan Ke Depan: Apa yang Bisa Dilakukan?
Masalah Langkah Reformasi: Bibliometrik jadi tujuan, bukan alat Adopsi DORA, Leiden Manifesto, CoARA — fokus pada substansi, bukan metrik semata. Integritas akademik menurun Dorong open science, evaluasi naratif (CV naratif), pengembangan indeks seperti RI2 untuk memantau integritas. Dominasi jurnal predatory & skorkuantitas Perkuat peer review, edukasi dosen dan mahasiswa tentang etika penulis, tangani ghost authorship & fraud.
Kesimpulan Ringkas: Ketika indeksasi dan bibliometrik menguasai narasi akademik, ilmu jadi kehilangan ruh: kualitas dikorbankan demi angka, dan etika sering dilupakan. “Disrupsi” pengetahuan—yang idealnya inklusif—mengalami distorsi ketika klaim bisa dibuat siapa saja tanpa verifikasi.
Reformasi sistem evaluasi riset, pemerataan akses, dan pengembalian nilai pada integritas harus jadi prioritas agar keilmuan kembali bermakna, relevan, dan etis. (Tengku Iskandar, M. Pd)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
