SURAU.CO-Anak angkat hasil adopsi dalam pandangan Islam adalah topik yang sering memancing diskusi di masyarakat Muslim. Banyak orang ingin membantu anak yatim atau terlantar, tetapi tidak ingin keluar dari aturan syariat. Anak angkat hasil adopsi dalam pandangan Islam bukan hanya menyangkut hukum, tetapi juga melibatkan sisi kemanusiaan, empati, dan rasa tanggung jawab sosial.
Saya pernah berinteraksi langsung dengan keluarga yang mengangkat anak. Mereka memahami bahwa niat baik harus berjalan beriringan dengan ketaatan hukum agama. Dari pengalaman itu, saya melihat bahwa pemahaman syariat membuat proses adopsi lebih tenang dan terarah. Seorang ustaz yang saya temui juga menegaskan, adopsi adalah amal mulia selama tidak mengubah nasab dan aturan waris yang telah Allah tetapkan.
Adopsi dalam Islam: Memelihara Tanpa Mengubah Nasab
Dalam ajaran Islam, adopsi versi tabanni — mengubah nasab dan hak waris anak angkat menjadi seperti anak kandung — dilarang. Larangan ini bersandar pada QS. Al-Ahzab ayat 4–5, yang memerintahkan memanggil anak angkat sesuai nama ayah kandungnya.
Pengalaman seorang teman yang mengasuh anak dari panti asuhan membuktikan bahwa kasih sayang tidak harus melanggar aturan nasab. Anak tersebut tetap tahu siapa orang tua kandungnya, tetapi mendapat pendidikan, perhatian, dan cinta yang sama seperti anak kandung. Untuk urusan harta, teman saya memilih memberikan hibah semasa hidup, mengikuti anjuran ulama dan fatwa MUI.
Cara ini menunjukkan bahwa Islam tidak menutup pintu bagi siapa pun yang ingin membantu anak terlantar. Rasulullah ﷺ justru memotivasi kita menyantuni anak yatim, dengan janji kedekatan di surga. Yang penting, status nasab dan identitas asli anak tetap terjaga, sehingga tidak menimbulkan kebingungan di kemudian hari.
Bahkan di beberapa daerah, mulai berkembang model “adopsi terbuka” di mana orang tua kandung dan angkat saling mengenal. Pendekatan ini menciptakan kejujuran dan rasa aman bagi anak, sekaligus menegakkan prinsip-prinsip syariat.
Hak dan Tanggung Jawab terhadap Anak Angkat Menurut Syariat
Mengasuh anak angkat berarti memikul tanggung jawab besar: memberi makan, mendidik, merawat kesehatan, dan membina keimanan. Hak-hak ini harus dipenuhi tanpa memutus hubungan anak dengan keluarga kandungnya.
Menurut penjelasan NU Online, anak angkat mendapatkan perlindungan dan kasih sayang, tetapi tidak otomatis menjadi ahli waris orang tua angkat. Hak warisnya berasal dari orang tua kandung. Jika orang tua angkat ingin memberi harta, mereka dapat melakukannya melalui hibah atau wasiat maksimal sepertiga dari total harta.
Dalam hukum positif Indonesia, pengadilan agama menetapkan bahwa adopsi tidak memutus hubungan anak dengan orang tua kandung. Ketentuan ini sejalan dengan hukum Islam, sehingga umat Muslim di Indonesia dapat mengadopsi anak tanpa melanggar prinsip agama.
Saya juga pernah mendengar cerita seorang ibu angkat yang sejak awal memberi tahu anaknya tentang asal-usulnya. Hasilnya, sang anak tumbuh dengan rasa percaya diri, tidak merasa dibohongi, dan tetap menghormati kedua keluarga. Inilah bukti bahwa pengasuhan Islami tidak hanya menyejahterakan fisik, tetapi juga menumbuhkan kesehatan psikologis.
Prinsip utama yang perlu diingat adalah: mengasuh anak angkat adalah ibadah yang nilainya tinggi, selama tetap menjaga batasan hukum nasab, hak waris, dan keterbukaan identitas.
Mengangkat anak adalah amal besar yang menggabungkan cinta, empati, dan ketaatan kepada Allah. Dengan memahami anak angkat hasil adopsi dalam pandangan Islam, kita dapat membantu anak yang membutuhkan tanpa keluar dari batas syariat. Prinsip menjaga nasab, menunaikan hak-hak anak, dan bersikap terbuka akan memastikan adopsi menjadi jalan kebaikan yang membawa pahala, ketenangan hati, dan keberkahan hidup. (Hen)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
