Kalam Khazanah
Beranda » Berita » Jejak Penulisan Hadist Dimulai

Jejak Penulisan Hadist Dimulai

penulisan hadist
ilustrasi kodifikasi hadist pada era bani ummayah

Surau.co. Hadist adalah sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Penyusunan dan penulisan hadist melalui proses sejarah yang panjang dan ketat untuk menjaga kemurnian ajaran Rasulullah SAW.

Secara bahasa, hadist berarti “ucapan” atau “berita.” Sementara itu, sunnah secara istilah adalah tradisi atau jalan hidup Nabi yang menjadi contoh dalam beragama.

Dengan kata lain, hadist adalah sumber utama dokumentasi sunnah, sedangkan sunnah adalah praktik dari hadist dalam kehidupan nyata. Sunnah lebih luas daripada hadist karena mencakup juga perbuatan dan contoh Nabi yang tidak tertulis secara eksplisit.

Sunnah mencakup aspek praktis dalam kehidupan Nabi, baik yang tertuang dalam hadist maupun tidak. Dengan demikian, semua hadist adalah bagian dari sunnah, tetapi tidak semua sunnah tercatat dalam bentuk hadist.

Larangan Menulis Hadist di Awal Islam

Pada masa awal, Nabi Muhammad SAW melarang penulisan hadist secara umum. Hal ini disebutkan dalam hadist riwayat Muslim:

Jangan Berzinah Atas Nama Cinta

“Janganlah kalian menulis dariku selain Al-Qur’an. Barang siapa yang menulis dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah.” (HR. Muslim no. 3004).

Larangan ini bertujuan mencegah tercampurnya wahyu Al-Qur’an dengan ucapan Nabi. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kebutuhan terhadap dokumentasi hadist semakin mendesak. Banyak sahabat yang meninggal dalam peperangan, termasuk para penghafal hadist, sehingga kekhawatiran akan hilangnya ilmu mendorong penulisan hadist.

Perubahan Sikap terhadap Penulisan Hadist

Setelah Rasulullah wafat, penulisan hadist menjadi penting untuk menjaga ilmu dari kepunahan. Banyak sahabat wafat dalam peperangan, sehingga dokumentasi menjadi keharusan. Kodifikasi hadist baru berjalan secara luas pada masa kekhalifahan Bani Umayyah.

Kodifikasi secara resmi hadist dimulai pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99–101 H). Lalu, Ia menyadari bahwa para ulama dan sahabat generasi kedua (tabi’in) mulai wafat, sehingga hadist harus dibukukan.

Ia mengirim surat kepada Abu Bakr bin Hazm, gubernur Madinah, untuk mengumpulkan hadist Nabi dari berbagai perawi. Langkah ini menjadi cikal bakal kodifikasi hadist secara sistematis dan ilmiah. Instruksi ini tercatat dalam surat resmi:

Berdoa Agar Terhindar dari Sifat Dengki

“Perhatikan apa yang bisa kamu pelajari dari hadist Rasulullah dan tulislah, karena aku khawatir ilmu akan lenyap dan para ulama akan meninggal.”

Inisiatif Umar bin Abdul Aziz menjadi tonggak awal kodifikasi hadist secara institusional. Dengan menyebarnya hadist palsu (maudhu’) akibat kepentingan politik, sekte, dan fanatisme, ulama hadist mengembangkan ilmu jarh wa ta’dil.  Para ulama seperti Yahya bin Ma’in dan Ibnu Hajar al-Asqalani mencatat profil ribuan perawi.

Metode Penulisan dan Kodifikasi Hadist

Setelah masa Umar bin Abdul Aziz, penulisan hadist berkembang pesat. Ulama mulai menghimpun hadist berdasarkan tema atau bab tertentu seperti fiqh, akidah, dan akhlak.

Metode penulisan hadist meliputi:

  1. Pengumpulan sanad dan matan (isi hadist).
    Sanad adalah rangkaian nama-nama perawi (periwayat hadis) yang menghubungkan hadis tersebut kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan matan adalah isi atau teks hadis itu sendiri.

    Ujian dan Jalan Keluar Bagi Orang Yang Bertakwa

  2. Verifikasi dan klasifikasi.
    Ulama seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim hanya memasukkan hadist dengan sanad terpercaya. hadits dikelompokkan menjadi tiga tingkatan kualitas, yaitu shahih, hasan, dan dhaif. 

  3. Penyusunan berdasarkan tema.
    Imam Malik dalam Al-Muwatta’ menyusun hadist berdasarkan bab-bab fiqh. Imam Bukhari dalam Sahih Bukhari menyusun hadist secara tematik dengan tingkat ketelitian tinggi.

Tokoh Penting dalam Penyusunan Hadist

Beberapa tokoh besar dalam sejarah penulisan hadist antara lain:

  1. Imam Malik (179 H): Menulis Al-Muwatta’, kumpulan hadist dan pendapat sahabat.

  2. Imam Bukhari (256 H): Menyusun Sahih Bukhari, kumpulan hadist shahih paling autentik.

  3. Imam Muslim (261 H): Penulis Sahih Muslim, pendamping utama Sahih Bukhari.

  4. Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah: Menulis kitab hadist Sunan sebagai referensi hukum Islam.

Al-Qur’an sebagai Filter Hadist

Para ulama menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah standar utama dalam menilai kebenaran hadist. Hadist yang bertentangan dengan Al-Qur’an secara tegas dianggap tertolak. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata:

“Jika hadist bertentangan dengan Al-Qur’an, maka hadist itu palsu, atau salah dalam penukilan.”

Rasulullah SAW bersabda:

“Akan datang kepadamu banyak hadist dariku. Apa yang cocok dengan Al-Qur’an, itu dariku. Yang tidak cocok, bukan dariku.” (HR. Ibn Hibban dalam Al-Majruhin).

Karena itu, Al-Qur’an berfungsi sebagai penyaring terhadap hadist-hadist yang mungkin disusupi kepalsuan, baik karena kesalahan perawi, politik, atau propaganda.

Hadist di Era Modern

Kajian hadist terus berkembang dalam bentuk akademik dan populer. Universitas Islam di berbagai negara memiliki fakultas khusus yang meneliti hadist secara ilmiah.

Penyusunan dan penulisan hadist merupakan upaya besar dalam menjaga warisan Nabi Muhammad SAW. Para ulama menjaga keasliannya dengan metode ketat dan menjadikan Al-Qur’an sebagai filter utama.

Pemahaman terhadap perbedaan hadist dan sunnah, serta sejarah penulisannya, menjadi kunci untuk memahami hukum Islam secara utuh. Di era modern, teknologi turut mendukung pelestarian dan kajian hadist secara luas dan akurat.

Hadist tidak hanya menjadi referensi hukum dan akhlak, tetapi juga bukti nyata kesungguhan umat Islam menjaga jejak Nabinya. Dengan penulisan yang hati-hati dan metode ilmiah, hadist tetap relevan menjadi pedoman hingga akhir zaman. *TeddyNs


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement