Oleh: Masykurudin Hafidz, Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta
SURAU.CO – Korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik yang secara tidak wajar memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan. Praktik korupsi di negeri ini semakin deras saja. Meskipun sudah banyak lembaga formal kita bentuk dan gerakan moral kita kumandangkan, tetap saja masih terdengar kasus-kasus baru. Upaya untuk memerangi korupsi seolah jalan di tempat.
Ironisnya, negeri yang dihuni mayoritas kaum beragama ini justru menjadi ladang subur bagi para koruptor. Korupsi yang sudah berlangsung sangat lama ini menyebabkan persoalan kemiskinan tak kunjung selesai. Negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah tak kunjung membuat kita beranjak dari tidur panjang. Hal ini sangat memalukan, karena praktik pemerintah yang salah urus dan terus-menerus menyalahgunakan kekuasaannya.
Dua Penyebab Utama dan Tiga Pendekatan yang Gagal
Penyebab terjadinya tindakan korup setidaknya ada dua: faktor kekurangan dan faktor kerakusan. Faktor pertama bisa kita lihat pada orang-orang yang korupsi karena merasa penghasilannya kurang. Sementara faktor kedua, kerakusan, menjadi penyebab korupsi yang jumlahnya jauh lebih besar. Pelaku korupsi jenis ini kebanyakan berasal dari orang-orang yang kebutuhan hidupnya lebih dari cukup.
Terdapat tiga pendekatan yang biasa kita pakai untuk memerangi korupsi, yaitu hukum, politik, dan budaya. Pertama, secara hukum, kita sangat berharap siapa pun yang terlibat korupsi harus ditindak tegas. Akan tetapi, lembaga hukum justru seringkali mengindikasikan adanya kolusi dengan pihak-pihak yang seharusnya mereka hadapi dengan keras. Kedua, secara politik, kebijakan di tingkat publik ternyata tak kunjung mengarah pada penegakan pemerintahan yang bersih. Ketiga, secara budaya, pendekatan yang organisasi kemasyarakatan lakukan ini bertujuan menata kesadaran serta tata nilai masyarakat, namun hasilnya belum optimal.
Deprivatisasi Agama sebagai Solusi Moral
Di manakah letak agama dalam ketiga pendekatan tersebut? Selama ini, agama hanya dipahami sebagai hubungan privat antara manusia dengan Tuhannya. Akibatnya, meluasnya korupsi di kalangan pejabat publik tidak banyak mendapatkan perhatian. Suara agama tampak gagap dalam merespons kasus-kasus korupsi. Peran agama, baik dalam internalisasi penganutnya maupun sebagai modal sosial, cenderung lemah di hadapan maraknya korupsi. Bahkan, dalam beberapa hal, kaum agamawan ikut dalam praktik-praktik korup.
Untuk itu, perlu kita orientasikan kembali makna keberagamaan saat ini. Agama sebagai basis moral-etik harus kita revitalisasi agar mampu memberikan peran dan tanggung jawabnya. Korupsi itu melawan agama dan kepentingan masyarakat bawah. Konsep ‘amal ma’ruf nahi munkar’ yang al-Qur’an tekankan bisa kita jalankan. Kita semua harus menggugah kesadaran umat bahwa hubungan agama dan manusia tidak hanya sebatas pada wilayah privat, melainkan juga hubungan dengan sesama manusia atau masyarakat.
Jika gerakan anti korupsi ingin menuai hasilnya, maka ketiga pendekatan (budaya, hukum, dan politik) harus terus berjalan secara simultan. Gerakan ini perlu kita tambah dengan sinaran etik-moral dari agama sehingga ada sinergi yang lebih sistematis dan terkoordinasi. Sesudah itu, kita perlu membangun kesadaran di tengah masyarakat, lalu mentransformasikannya pada kebijakan publik yang searah, serta menindaklanjutinya dengan langkah hukum yang tegas. Wallahu a’lam bi al-showwab.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
