Kalam
Beranda » Berita » Silang Sengketa Makna Kata Muhrim dan Mahram

Silang Sengketa Makna Kata Muhrim dan Mahram

muhrim mahram
ilistrasi keluarga muhrim

Surau.co. Istilah muhrim sering muncul dalam percakapan umat Islam, terutama saat membahas ibadah haji dan umrah. Sayangnya, tidak sedikit orang yang menggunakan kata ini secara keliru, khususnya di Indonesia.

Untuk memahami arti sebenarnya, kita perlu menelusuri asal katanya, bagaimana Al-Qur’an menjelaskannya, dan bagaimana penggunaan istilah ini dalam kehidupan sehari-hari.

Akar Kata dan Makna Dasar

Secara etimologis, kata muhrim (مُحْرِم) berasal dari akar kata Arab ḥa-ra-ma (حَرَمَ), yang berarti mengharamkan, melindungi, atau menjadikan suci. Dari akar kata ini lahir berbagai kata turunan seperti:

  • ḥarām (حرام): sesuatu yang diharamkan atau dilarang,

  • ḥaram (حرم): tempat suci (seperti Masjidil Haram),

    Barat Mencuri Ilmu dari Islam, Tetapi Belum Juga Menutupi Aurat

  • iḥrām (إحرام): keadaan suci yang mengharuskan meninggalkan hal-hal tertentu dalam ibadah haji atau umrah,

  • muḥrim (مُحْرِم): orang yang sedang dalam keadaan ihram.

Dalam bentuk muḥrim, kata ini secara gramatikal adalah bentuk ism fā’il (pelaku) dari kata kerja aḥrama (أَحْرَمَ) yang berarti “memasuki keadaan ihram”.

Maka, muhrim secara harfiah berarti orang yang telah berihram, yaitu telah berniat dan memasuki larangan-larangan dalam ibadah haji atau umrah seperti memakai berburu, menikah, atau memotong kuku dan rambut.

Menurut Kamus Al-Munawwir (2002), muhrim berarti “orang yang berihram atau sedang melaksanakan haji/umrah”. Sementara Ensiklopedi Islam Departemen Agama RI (2005) menjelaskan bahwa muhrim adalah orang yang masuk dalam kondisi ihram dan tunduk pada syariat khusus ibadah haji dan umrah.

Kapan Ilmu Jadi Cahaya, Kapan Jadi Beban?

Penggunaan Kata “Muhrim” dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an menggunakan bentuk kata kerja dan bentuk isim terkait kata muhrim dalam konteks larangan saat sedang berihram. Salah satunya terdapat dalam Surah Al-Ma’idah ayat 95:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang dalam ihram…” (QS. Al-Ma’idah: 5:95)

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sedang dalam keadaan ihram dilarang membunuh hewan buruan. Larangan ini berlaku karena dalam keadaan ihram, seseorang harus menjaga kesucian fisik dan niat spiritualnya selama menunaikan ibadah haji atau umrah.

Selain itu, dalam Surah Al-Baqarah ayat 196, Allah juga memerintahkan:

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…” (QS. Al-Baqarah: 2:196)

Menyoal Niat: Belajar Demi Nilai atau Demi Nilai Hidup?

Kata ihram dalam ayat ini menjadi dasar utama dari istilah muhrim, yaitu orang yang sudah memasuki rukun niat dan larangan ihram.

Surah Al-Baqarah ayat 196, istilah ihram juga disebut dalam konteks perintah untuk menyempurnakan haji dan umrah:

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang), maka (sembelihlah) hadyu (hewan kurban) yang mudah didapat…” (QS. Al-Baqarah: 196)

Ayat-ayat ini menjadi dasar hukum penting dalam fiqih haji dan umrah serta memperkuat makna “muhrim” sebagai pelaku ibadah yang sedang dalam keadaan suci khusus.

Kekeliruan di Masyarakat

Istilah muhrim sering digunakan secara keliru. Banyak orang menyebutnya untuk merujuk pada orang yang haram dinikahi karena hubungan darah, pernikahan, atau persusuan. Padahal, istilah yang benar untuk ini adalah mahram (مَحْرَم), bukan muhrim.

Contoh kesalahan umum: “Dia tidak boleh berduaan karena bukan muhrim.” Kalimat ini seharusnya menggunakan kata mahram, bukan muhrim.

Padahal, dalam Surah An-Nur ayat 31 dan An-Nisa ayat 23, istilah yang digunakan untuk orang yang haram dinikahi adalah mahram. Contohnya:

“…dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, atau mahram-mahram mereka…” (QS. An-Nur: 31)

Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan darah, pernikahan, atau persusuan. Contohnya seperti ibu, saudara kandung, atau anak perempuan. Kesalahan ini menyebabkan kebingungan makna, bahkan dalam percakapan sehari-hari maupun dalam penulisan formal.

Kesalahan ini menyebabkan kebingungan makna, bahkan dalam percakapan sehari-hari maupun dalam penulisan formal. Misalnya, seseorang mengatakan, “Dia tidak boleh duduk berduaan karena bukan muhrim,” padahal maksudnya adalah bukan mahram.

Kata muhrim memiliki akar kata yang suci dan penting dalam praktik ibadah umat Islam, khususnya dalam pelaksanaan haji dan umrah. Namun, penggunaan istilah ini di tengah masyarakat sering mengalami kesalahan makna.

Dengan memahami asal kata, makna dalam Al-Qur’an, dan konteks penggunaannya, kita bisa menggunakan istilah ini secara lebih tepat dan sesuai ajaran Islam. *TeddyNs


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement