SURAU.CO – Indonesia kerap marah ketika budaya lokal diklaim negara lain. Namun ironisnya, penghargaan terhadap warisan budaya sendiri sering kali masih rendah. Banyak orang justru lebih tertarik pada budaya luar seperti musik R&B atau fashion Paris. Sementara itu, budaya seperti gamelan, angklung, dan batik terabaikan. Padahal, bangsa ini memiliki mahakarya budaya yang luar biasa: Serat Centhini.
Serat Centhini: Tak Hanya Naskah Lama
Serat Centhini dianggap sebagai karya monumental dalam sastra Jawa Baru. Karya ini hadir dalam bentuk tembang, terbagi menjadi 725 pupuh dalam 12 jilid. Pakubuwono V menggagas penulisannya sebagai upaya mengabadikan seluruh pengetahuan budaya Jawa dalam satu kitab.
Proyek besar ini melibatkan tiga pujangga istana. Ranggasutrasna menjelajah wilayah timur Jawa. Yasadipura II menyusuri bagian barat. Sementara itu, Sastradipura menjalani ibadah haji demi memperdalam pemahaman spiritual Islam. Mereka memulai proses penulisan pada tahun 1814 dan menyelesaikannya beberapa tahun kemudian.
Lebih dari Sekadar Kitab Kontroversial
Sebagian masyarakat masih menganggap Serat Centhini sebagai teks kontroversial yang hanya membahas hubungan antar manusia secara intim. Namun, pandangan itu jelas keliru. Aspek tersebut hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan isi kitab yang sangat kaya.
Faktanya, Serat Centhini merupakan dokumentasi budaya Jawa yang menyeluruh. Menurut Ki Sumidi Adisasmita, kitab ini mencakup siasat perang, cerita rakyat, sistem adat, hingga ilmu pengobatan tradisional. Selain itu, berbagai topik seperti ramalan, mistisisme, etika hidup, dan pendidikan moral juga dibahas. Artinya, kitab ini menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa pada zamannya.
Perjalanan Jayengresmi: Dari Pengasingan ke Pencerahan
Cerita dalam Serat Centhini berpusat pada tokoh Jayengresmi, salah satu putra Sunan Giri. Setelah kerajaannya runtuh, ia melakukan perjalanan spiritual menyusuri tanah Jawa. Dalam perjalanannya, ia belajar dari tokoh sakti, juru kunci, hingga makhluk mitologis. Pengalaman itu membentuknya menjadi sosok yang bijak, kelak dikenal sebagai Syekh Amongraga.
Di sepanjang perjalanan, ia bertemu Tambangraras yang kelak menjadi istrinya. Kehadiran Centhini, pelayan yang setia mendengarkan wejangan spiritualnya, turut memperkaya narasi. Dengan demikian, tokoh perempuan dalam kitab ini bukan sekadar pelengkap. Mereka juga berperan sebagai penjaga pengetahuan dan tradisi.
Sinkretisme: Islam dan Kejawen Berjalan Seiring
Pada masa penulisan Serat Centhini, budaya Jawa sedang mengalami transisi besar. Pengaruh Hindu-Buddha mulai bergeser, digantikan ajaran Islam. Meski begitu, perpaduan kedua sistem nilai itu terjadi tanpa konflik.
Ulil Abshar Abdalla menyebutkan bahwa kitab ini menyandingkan ajaran Islam dan kejawen secara sinkretik. Misalnya, sifat dua puluh Allah dijelaskan bersamaan dengan mitos lokal. Hal ini menunjukkan bahwa budaya lokal tidak serta-merta ditinggalkan, tetapi diintegrasikan secara halus ke dalam ajaran baru.
Selain itu, keraton sebagai pusat budaya berperan dalam menyaring ajaran Islam yang masuk. Tradisi pesantren dan keraton saling menyesuaikan. Dengan begitu, masyarakat Jawa tetap menjaga keseimbangan antara agama dan budaya.
Adaptasi Modern: Dari Kitab ke Novel
Serat Centhini telah mengalami berbagai adaptasi sepanjang waktu. Elizabeth Inandiak menulis ulang dalam bentuk prosa liris berbahasa Prancis. Sunardian Wirodono menciptakan trilogi novel populer berdasarkan kitab ini. Selain itu, R.M.A. Sumahatmaka menyusun versi ringkas agar mudah dipahami masyarakat umum.
Adaptasi tersebut membuktikan bahwa karya ini tetap relevan. Walau berasal dari masa lalu, nilai-nilainya tetap bisa dikontekstualisasikan dalam dunia modern. Bahkan, buku ini dapat menjadi jembatan untuk memperkenalkan budaya Jawa kepada dunia.
Kajian Sosiologis dalam Serat Centhini
Menurut teori Laurenson dan Swingewood, sosiologi sastra memiliki tiga pendekatan. Pertama, karya sastra sebagai dokumen sosial. Kedua, refleksi kondisi sosial penulis. Ketiga, representasi budaya dan sejarah. Menariknya, Serat Centhini mampu menggabungkan ketiganya.
Kitab ini menjadi saksi peralihan dari Majapahit ke era Islam. Ia tidak hanya merekam perubahan budaya, tetapi juga menafsirkan dinamika spiritual dan sosial masyarakat Jawa. Para pujangga keraton tidak sekadar mencatat, mereka terjun langsung ke lapangan. Mereka mengamati, meresapi, lalu menuliskan dalam bentuk sastra.
Seruan Penutup: Mari Bangkitkan Warisan Ini
Kini, Serat Centhini harus kembali menjadi bagian dari kehidupan budaya kita. Kitab ini bukan hanya layak dibaca oleh akademisi. Ia juga relevan bagi anak muda, pelajar, dan siapa pun yang ingin mengenal jatidiri bangsa.
Kita bisa menghidupkan kembali Serat Centhini melalui kurikulum pendidikan, pertunjukan teater, film dokumenter, atau animasi. Teknologi digital bisa membantu memperluas jangkauan. Jika tidak sekarang, kapan lagi kita akan menghargai warisan kita sendiri?
Jangan menunggu sampai naskah ini ada pada bangsa lain. Tugas kita adalah menjaga, memelihara, dan menyebarkannya. Karena Serat Centhini bukan hanya milik masa lalu—ia milik masa depan Indonesia. (AE).