Popularitas aset kripto terus meroket dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang melihatnya sebagai peluang investasi yang menjanjikan. Namun, bagi investor Muslim, muncul satu pertanyaan mendasar. Apakah investasi cryptocurrency sejalan dengan prinsip syariah? Pertanyaan mengenai hukum crypto dalam Islam ini memunculkan beragam pandangan di kalangan ulama.
Jawaban atas persoalan ini tidaklah sederhana. Terdapat perbedaan pendapat yang signifikan. Sebagian ulama memandangnya halal dengan syarat tertentu. Namun, tidak sedikit pula yang dengan tegas mengharamkannya.
Memahami Prinsip Keuangan Syariah
Untuk memahami perdebatan ini, kita perlu melihat prinsip dasar keuangan Islam. Syariah melarang beberapa praktik utama dalam transaksi ekonomi. Tiga elemen yang paling relevan dengan diskusi kripto adalah:
-
Gharar (Ketidakpastian): Setiap transaksi harus memiliki kejelasan. Gharar merujuk pada spekulasi, ketidakpastian, atau risiko berlebihan yang bisa merugikan salah satu pihak.
-
Maysir (Perjudian): Transaksi yang lebih mengandalkan untung-untungan daripada analisis atau usaha nyata dilarang. Ini mirip dengan praktik perjudian.
-
Riba (Bunga): Keuntungan yang diperoleh dari pinjaman uang, atau bunga, dilarang secara tegas dalam Islam.
Prinsip-prinsip inilah yang menjadi tolok ukur para ulama saat menganalisis status halal atau haram dari aset kripto.
Pandangan yang Menganggap Kripto Halal
Sebagian cendekiawan Muslim melihat aset kripto dari sisi teknologinya. Mereka berpendapat bahwa cryptocurrency pada dasarnya adalah aset digital atau komoditas. Teknologi blockchain yang mendasarinya bersifat netral. Oleh karena itu, hukumnya bergantung pada bagaimana aset tersebut digunakan.
Jika seseorang membeli kripto untuk transaksi barang atau jasa yang halal, maka praktiknya bisa dianggap sah. Pandangan ini menyamakan kripto dengan mata uang fiat seperti Dolar atau Rupiah. Mata uang itu sendiri netral. Ia menjadi haram hanya jika digunakan untuk membeli barang haram seperti alkohol atau untuk berjudi.
Selain itu, pendukung pandangan ini menyatakan kripto bisa berfungsi sebagai penyimpan nilai (store of value), mirip seperti emas. Selama tidak ada unsur riba dalam prosesnya, maka kepemilikan aset kripto dapat dibenarkan.
Pandangan yang Mengharamkan Kripto: Perspektif Ulama Indonesia
Di sisi lain, banyak ulama memiliki pandangan yang lebih hati-hati, bahkan tegas mengharamkannya. Salah satu suara paling berpengaruh di Indonesia datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Melalui forum Bahtsul Masail, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur memutuskan hukum penggunaan cryptocurrency sebagai alat investasi bahwa “Penggunaan cryptocurrency sebagai instrumen investasi hukumnya haram.”
Keputusan ini tidak diambil tanpa alasan kuat. Para kiai NU menyoroti beberapa poin krusial yang membuat kripto bertentangan dengan syariah, antara lain:
-
Tingkat Spekulasi yang Tinggi (Gharar): Volatilitas harga kripto sangat ekstrem. Nilainya bisa naik dan turun secara drastis dalam waktu singkat. Hal ini lebih condong ke arah spekulasi dan untung-untungan (maysir), bukan investasi yang terukur.
-
Potensi Adanya Penipuan: Sifatnya yang tidak teregulasi dengan baik membuka celah besar untuk penipuan. Tidak ada otoritas pusat yang menjamin keamanannya, sehingga risiko kerugian total sangat tinggi.
-
Tidak Memenuhi Syarat Sebagai Mata Uang: Dalam pandangan fikih, kripto tidak memenuhi syarat sebagai mata uang (sil’ah). Aset ini tidak memiliki wujud fisik (physical asset) dan tidak didukung oleh kebijakan negara yang sah sebagai alat tukar resmi.
-
Potensi Mudarat (Dharar): Lebih jauh, para ulama menilai potensi kerugian dan dampak negatifnya lebih besar daripada manfaatnya. Ini sejalan dengan kaidah fikih yang mengutamakan pencegahan kerusakan (dar’ul mafasid).
Sikap serupa juga pernah disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan kripto sebagai mata uang karena unsur gharar, dharar, dan bertentangan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Sebuah Kesimpulan yang Kompleks
Jadi, bagaimana hukum crypto dalam Islam? Jawabannya tetap berada di wilayah perdebatan. Tidak ada konsensus tunggal di tingkat global.
Di satu sisi, ada argumen yang melihatnya sebagai inovasi teknologi yang netral. Di sisi lain, ada pandangan kuat dari lembaga keagamaan kredibel seperti NU yang mengharamkannya karena risiko spekulasi dan potensi kerugian yang masif.
Bagi seorang Muslim yang ingin berinvestasi, penting untuk melakukan riset mendalam. Pahami argumen dari kedua belah pihak. Pertimbangkan fatwa dari lembaga ulama yang Anda percayai. Pada akhirnya, keputusan untuk berinvestasi di aset kripto harus didasari oleh pengetahuan yang cukup, kesadaran akan risikonya, dan keyakinan pribadi setelah berkonsultasi dengan ahli agama.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
