SURAU.CO – Masjid Taqwa Wonokromo berdiri sebagai salah satu pilar spiritualitas di Yogyakarta. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah biasa. Ia menyandang status sebagai masjid pathok negara atau tiang negara. Status ini menjadikannya simbol kekuatan dan penyangga eksistensi Keraton Jogjakarta. Berlokasi di Jalan Wonokromo I RT 02, Wonokromo, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, masjid ini menyimpan jejak sejarah yang erat kaitannya dengan pendiri Kasultanan Yogyakarta.
Meskipun waktu pendiriannya tidak tercatat pasti, masjid ini memiliki peran krusial di masa awal kesultanan. Konon, Sri Sultan Hamengku Buwono I sering datang ke tempat ini. Beliau belajar dan mengaji kepada Kiai Mohammad Fakih, seorang ulama kharismatik dari Desa Ketonggo, Wonokromo. Hubungan guru dan murid inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya masjid bersejarah ini.
Sejarah Pendirian oleh Sang Guru Sultan
Pendirian Masjid Taqwa Wonokromo tidak terlepas dari sosok Kyai Haji Muhammad Fakih. Beliau merupakan guru agama sekaligus kakak ipar dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kedekatan mereka terjalin saat Sultan menyamar menjadi santri untuk menimba ilmu. Saat itu, Sultan membutuhkan sipat kandel atau bekal spiritual untuk memimpin kesultanan yang baru berdiri.
Sebagai bentuk penghormatan, Sultan Hamengku Buwono I menganugerahkan tanah perdikan kepada Kyai Fakih. Tanah tersebut awalnya berupa hutan lebat yang penuh pohon awar-awar, sehingga terkenal sebagai Alas Awar-Awar. Untuk mensyukuri anugerah tersebut, Kyai Fakih membuka hutan dan mendirikan sebuah masjid sederhana di ujung tenggara kawasan itu.
Masjid ini resmi berdiri pada tahun 1775 Masehi, dengan penandaan sengkalan Jawa “Nyoto Luhur Pandhito Ratu” (1682 Tahun Jawa). Sultan kemudian memberi nama kawasan itu wa anna karaamaa, yang berarti “supaya benar-benar mulia”. Nama ini menjadi harapan agar penduduknya menjadi insan yang mulia karena taat beribadah. Dari sinilah nama Wonokromo berasal.
Perkembangan Arsitektur dari Masa ke Masa
Perjalanan arsitektur Masjid Taqwa Wonokromo menunjukkan evolusi yang luar biasa.
Bentuk Awal: Bangunan masjid pada mulanya sangat bersahaja. Seluruh bahan bangunannya terbuat dari bambu. Dindingnya dari gedhek (anyaman bambu) dan atapnya dari welit (anyaman daun tebu atau alang-alang). Atap bangunan utama berbentuk tajuk dengan mustaka dari kuwali (periuk tanah liat), sementara serambinya berbentuk limasan.
Renovasi 1867: Pada masa kepemimpinan K.H. Muhammad Fakih II, masjid mengalami perubahan signifikan. Penggantian dinding bambu dengan batu bata, atap welit dengan genteng, dan lantai mulai menggunakan campuran aci gamping serta tumbukan bata merah. Mustaka dari tanah liat diganti dengan bentuk bawangan dari kayu nangka. Ada juga pembangunan ruang salat khusus perempuan (pawastren) di sisi utara dan selatan.
Renovasi 1958: Pada tahun tersebut ada renovasi total bangunan atas biaya dari H. Prawito Suwarno. Renovasi itu untuk memperkuat konstruksi, dan mengganti empat tiang utama dengan kayu jati. Menambah atap tumpang dengan gulu melet (penyela) berkaca agar interior lebih terang. Mengganti lantai dengan tegel bercorak kembang.
Renovasi 1986: Masjid menerima Bantuan Presiden (Banpres). Atas izin atau palilah dalem dari Keraton, bangunan dibongkar total dan diperluas. Konstruksinya menggunakan beton bertulang namun tetap mempertahankan corak arsitektur Jawa-Yogyakarta. Menariknya, pihak Keraton tidak mengizinkan pembangunan menara agar ciri khas masjid Yogyakarta tanpa menara tetap terjaga.
Pengembangan 2003: Dengan bantuan Dinas Pariwisata, dibangun gedung pertemuan dan fasilitas pendukung lainnya, seperti dapur dan penyempurnaan kolam wudu.
Tradisi Unik yang Masih Lestari
Masjid Taqwa Wonokromo menjaga tradisi yang membuatnya unik dan hidup.
Bunyi Bedug Sarwo Lemah: Sebagai penanda waktu salat, masjid ini menggunakan azan, kentongan, dan bedug. Irama bedug pada hari biasa berbeda dengan hari Kamis sore. Pada waktu Ashar di hari Kamis, bedug ditabuh dengan irama panjang dan khas yang disebut sarwo lemah, sebagai penanda bahwa malam Jumat akan segera tiba. Sesuai ungkapan, “asar dowo malem jemuah.”
Azan Limo di Hari Jumat: Tradisi ini sangat istimewa. Saat azan pertama salat Jumat, seluruh muazin (petugas azan untuk Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya) berjajar di depan mimbar. Mereka mengumandangkan azan secara bersama-sama. Tradisi ini melambangkan keadilan, persatuan, dan pertemuan para muazin dari setiap waktu salat.
Bada Kupatan: Setelah menyelesaikan puasa sunah enam hari di bulan Syawal, jemaah menggelar tradisi Bada Kupatan. Ini adalah momen untuk saling memaafkan dan mempererat silaturahmi.
Filosofi di Balik Nama Masjid Taqwa
Awalnya, masjid ini hanya dikenal sebagai Masjid Wonokromo. Pada masa kepengurusan K.H. Makmun, masjid ini diberi nama Masjid Taqwa. Pemilihan nama ini memiliki filosofi mendalam. K.H. Makmun sengaja tidak menggunakan nama “At-Taqwa”.
Menurut beliau, kata “Taqwa” adalah isim nakiroh (kata benda umum). Artinya, masjid ini terbuka untuk siapa saja, dari kiai hingga orang awam, dari warga lokal hingga pendatang. Sebaliknya, “At-Taqwa” bersifat isim ma’rifah (kata benda khusus), yang bisa memberi kesan eksklusif hanya untuk orang-orang tertentu. Filosofi ini menegaskan sifat masjid yang inklusif dan merangkul semua kalangan. (Tri/berbagai sumber)
Sumber :
https://jogjacagar.jogjaprov.go.id/detail/4567/displayrecords-i-nama-warisan
https://wonokromo.bantulkab.go.id/first/artikel/307-Situs-Masjid-Patok-Negoro-Wonokromo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
