Perdebatan antara Ulil Abshar Abdalla dengan Aktivis Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik dalam sebuah acara baru-baru ini mendapat perhatian public. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah Ketika Ulil Abshar Abdalla menyebut para penolak tambang sebagai “wahabi lingkungan”, perdebatan pun memanas. Istilah tersebut tidak hanya menyiratkan stereotip ekstrem, tetapi juga menyudutkan aktivisme lingkungan sebagai bentuk konservatisme yang membahayakan pembangunan.
Padahal, menurut teori reasonable environmentalism yang ditawarkan oleh Guehlstorf (2004), dalam masyarakat demokratis seharusnya suara-suara kritis terhadap risiko ekologis justru diakomodasi, bukan dibungkam.
Dari Fatwa Haram Tambang ke Konsesi Batu Bara
Transformasi sikap PBNU dalam isu tambang belakangan ini begitu mencolok. Sebelumnya, organisasi ini pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan. Namun kini, PBNU justru menerima konsesi tambang batu bara seluas 26 ribu hektare di Kalimantan Timur. Alasan yang dibangun adalah untuk kemaslahatan umat, disertai dengan narasi “rasionalitas lingkungan”.
Ulil bahkan menyebut pendekatannya sebagai “reasonable environmentalism” atau pendekatan lingkungan yang rasional. Tapi benarkah sikap ini sesuai dengan prinsip keadilan ekologis dan partisipasi demokratis?
Menyoal Rasionalitas dalam Teori Guehlstorf
Dalam bukunya, The Political Theories of Risk Analysis, Guehlstorf (2004) mengajukan kerangka alternatif yang menantang dominasi birokrat ekonomi dalam mengelola risiko lingkungan. Ia mengkritik bagaimana elite sering kali meredam aktivisme lingkungan demi stabilitas politik dan ekonomi. Bagi Guehlstorf, pendekatan yang benar adalah dialog terbuka antara pemerintah, ilmuwan, dan warga yang terdampak langsung.
“Responsible public policy should consider both perspectives,” tulis Guehlstorf, menegaskan bahwa kelompok radikal sekalipun tidak seharusnya disingkirkan dari diskusi publik.
Aktivisme Hijau Bukan Fanatisme
Pernyataan “wahabi lingkungan” justru mereduksi aktivisme menjadi fanatisme. Padahal, para aktivis menolak pertambangan karena mereka mengalami langsung kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial. Seperti yang terjadi di Halmahera Selatan, warga melaporkan bahwa tambang nikel mencemari air dan laut. Di Kalimantan, masyarakat kehilangan anggota keluarga akibat lubang tambang batu bara yang dibiarkan terbuka. Sementara itu di Raja Ampat, Greenpeace Indonesia mengungkap dampak serius dari aktivitas tambang terhadap ekosistem laut.
Dalam konteks ini, masyarakat seharusnya melihat aktivis lingkungan sebagai bagian dari komunitas moral yang menuntut akuntabilitas, bukan sebagai musuh pembangunan.
Rasional atau Pembenaran?
Guehlstorf memperingatkan bahwa aktor publik bisa menggunakan konsep reasonableness sebagai alat justifikasi jika mereka tidak mengiringinya dengan partisipasi dan transparansi. Dalam kasus PBNU, para pemimpinnya justru menggunakan argumen rasionalitas untuk memoles legitimasi di depan publik, sementara mereka mengabaikan suara-suara kritis dari internal organisasi.
Kita bisa memahami hal ini melalui konsep front stage dan back stage dari Goffman. Para elite menampilkan narasi maslahat di ruang publik, namun di balik panggung, mereka mungkin melakukan kompromi dengan kekuasaan dan kepentingan ekonomi.
Siapa yang Didengar, Siapa yang Diringkus?
Alih-alih merangkul dialog, Gus Ulil justru mengasingkan kelompok yang mengingatkan bahaya jangka panjang dari pertambangan. Ia memilih pendekatan teknokratik dan mengabaikan suara-suara dari akar rumput, bukan menerapkan inclusive environmentalism seperti yang Guehlstorf anjurkan.
Kini, publik mempertanyakan apakah PBNU benar-benar mewakili kepentingan warga Nahdliyin atau hanya melayani elite yang merasa nyaman bersanding dengan kekuasaan.
Menjaga Integritas Ekologis dan Moral NU
PBNU sebagai organisasi berbasis nilai harus menolak menjadi perpanjangan tangan logika pasar dan eksploitasi. Pimpinan PBNU perlu menyadari bahwa menerima konsesi tambang tidak hanya mengancam integritas ekologis, tetapi juga merusak legitimasi moral NU di mata umat. Mereka tidak boleh mengorbankan prinsip maslahah demi mengejar kekuasaan jangka pendek.
Kader-kader muda NU terus menyuarakan kritik dan menunjukkan bahwa mereka masih menjaga komitmen untuk menolak komodifikasi agama dan lingkungan dalam tubuh organisasi.
Rasionalitas Tidak Boleh Membungkam Nurani
Jika para pemangku kepentingan hanya menggunakan “reasonable environmentalism” untuk membenarkan eksploitasi, mereka gagal menjalankan prinsip keadilan ekologis. PBNU dan Gus Ulil seharusnya membuka ruang dialog dan mendengarkan kritik, bukan justru menutupnya dengan label yang membungkam diskusi.
Guehlstorf (2004) menegaskan bahwa masyarakat demokratis harus menciptakan kebijakan publik yang menampung berbagai suara, termasuk suara paling kritis. Dalam isu lingkungan, kita tidak hanya menghadapi persoalan teknis, tetapi juga mempertaruhkan hidup, nilai, dan masa depan bersama.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
