Seruan Damai dari Jantung Ibu Kota
Surau.co Dalam suasana akrab di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 28 Mei 2025, Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya, menyampaikan gagasan damai yang menggugah pemikiran global. Dalam Diskusi Pakar #3 yang digelar Institute for Humanitarian Islam (IFHI), ia menawarkan pendekatan baru menghadapi krisis kemanusiaan: model konsensus Islam global.
Menurutnya, peradaban saat ini tengah dilanda badai konflik identitas, ketimpangan sosial, dan kekerasan berbasis agama atau suku. Di tengah kabut konflik itu, Islam, katanya, menawarkan cahaya pencerah: Humanitarian Islam.
“Islam mesti tampil menjawab keresahan dunia. Kalau tidak, apa makna Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi semesta?” ucap Gus Yahya dengan penuh keyakinan.
Humanitarian Islam: Visi Indonesia untuk Dunia
Sejak 2017, GP Ansor mulai menggagas konsep Humanitarian Islam sebagai jawaban atas krisis global. Kini, gagasan itu menjalar ke berbagai forum internasional dan mendapat tempat dalam arus pemikiran dunia. PBNU kemudian memperkuat langkah tersebut dengan mendirikan Institute for Humanitarian Islam pada November 2024.
Humanitarian Islam bukan hanya semboyan. Ia merupakan kerangka pemikiran dan spiritualitas yang menekankan keadilan universal. Salah satu pilar utama konsep ini adalah konsensus global yang adil dan setara.
“Dalam Islam, konsensus bukan cuma norma sosial. Ia merupakan nilai sakral yang bahkan dapat menundukkan norma keagamaan konservatif,” jelas Gus Yahya.
Hudaibiyah: Warisan Spiritualitas Konsensus
Untuk mempertegas pentingnya konsensus, Gus Yahya mengangkat Perjanjian Hudaibiyah sebagai contoh sejarah Islam. Perjanjian yang terkesan merugikan umat Islam ini justru menjadi titik balik diplomasi Nabi Muhammad SAW demi tercapainya perdamaian.
Bayangkan, seorang pemimpin agama bersedia menunda ibadah dan mengorbankan kenyamanan pengikutnya demi menegakkan komitmen damai. Sikap itu mencerminkan betapa dalamnya penghormatan Islam terhadap kesepakatan.
“Nabi tetap berpegang pada perjanjian meski secara spiritual dan emosional terasa berat. Ini bukti bahwa konsensus merupakan prinsip luhur dalam Islam,” tegasnya.
Bagi Gus Yahya, semangat Hudaibiyah bisa menjadi pondasi konsensus global yang inklusif. Dunia modern yang kerap terjebak dalam ego dan dominasi kekuasaan, menurutnya, harus belajar dari kebijaksanaan kenabian tersebut.
Piagam PBB dan Arah Baru Peradaban Dunia
Selain mengutip sejarah Islam, Gus Yahya juga menyoroti pentingnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai tonggak peradaban modern. Piagam tersebut memperkenalkan dua nilai penting: kesetaraan martabat manusia dan pengakuan batas negara yang sah.
Sebelum PBB, penjajahan dan eksploitasi atas nama agama serta ideologi merajalela. Namun kini, menurut Gus Yahya, dunia harus kembali menjunjung konsensus internasional, bukan malah mengkhianatinya demi kepentingan politik global.
“Tanpa konsensus yang menjamin keadilan dan kesetaraan, konflik di Palestina, Myanmar, India, China, maupun Sudan takkan pernah selesai,” ujarnya lantang.
Menyusun Ulang Dunia dengan Prinsip Kesetaraan
Dalam forum yang turut dihadiri para pemikir progresif seperti KH Ulil Abshar Abdalla, KH Rumadi Ahmad, serta tokoh lintas bidang, Gus Yahya menyerukan ajakan kepada umat manusia untuk merumuskan ulang tatanan dunia. Ia menekankan bahwa konsep Humanitarian Islam mampu menyatukan semua manusia, tanpa memandang agama maupun bangsa.
Melalui PBNU, ia ingin dunia bergerak menuju tatanan global baru yang lebih adil dan setara. Bukan soal siapa yang berkuasa, tapi bagaimana seluruh umat manusia dihargai secara setara dan bisa hidup damai dalam keberagaman.
“Kalau ingin harmoni, kita harus adil. Tanpa kesetaraan, keadilan hanyalah ilusi,” pungkas Gus Yahya
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
