SURAU.CO. Belum lama ini ada pemandangan menarik dalam kegiatan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Jakarta. Grup musik Krontjong Toegoe bernyanyi menghibur warga dengan pertunjukan kosser musik Keroncong Goes to UNESCO pada Februari lalu. Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta sebagai penyelenggara pertunjukan menyebut bahwa konser bertujuan untuk memberikan dukungan dalam proses pendaftaran keroncong sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia untuk UNESCO. Bak gayung bersambut, upaya tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak mulai dari Yayasan Musikesatu hingga Museum Musik Indonesia (MMI).
Musik keroncong adalah simbol hibriditas budaya. Musik ini menggabungkan estetika Eropa, Asia, dan Nusantara. Meski ada yang menanggapnya ketinggalan zaman, namun musik ini tetap relevan sebagai warisan budaya Indonesia. Tantangan utama musik keroncong saat ini adalah regenerasi dan pengakuan global. Salah satu yang dilakukan adalah kolaborasi dengan genre modern.
Musik keroncong adalah salah satu genre musik tradisional Indonesia yang bersejarah dan merupakan perpaduan berbagai budaya. Melihat dari akarnya musik jenis ini berasal dari musik Portugis yang populer dengan sebutan fado. Para pelaut Portugis dan budak kapal yang membawa musik fado ini ke Nusantara sekitar tahun 1512. Fado sendiri berakar dari nada minor khas budaya Moor atau Arab.
Mestizos dan Krontjong Toegoe
Pada abad ke-17, yang komunitas keturunan Portugis yang terkenal dengan sebutan Mestizos atau Black Portuguese mulai mengembangkan keroncong ini. Konon musik keroncong pertama kali dibawa oleh orang Mestizos ke Tanah Betawi, pada 1661.
Istilah Mestizos sendiri sebagai sebutan untuk pelaut Portugis yang menikah dengan penduduk lokal. mereka kemudian membentuk koloni. Dari koloni inilah musik keroncong berawal. Orang Mestizos kala itu bermain musik khas yang membuat mereka bernostalgia tentang keseharian, kesulitan serta kebahagiaan mereka.
Bertempat di Kampung Tugu, Jakarta, tradisi ini kemudian berkembang dan kemudian populer. Dengan menggunakan tiga jenis gitar yang diberi nama Jitera, Prunga serta Macina, keroncong berkembang hingga sekarang. Sekedar informasi alat musik Jitera adalah sebutan untuk gitar yang besar. Sedangkan Prunga sebutan untuk gitar yang sedang. Adapun Macina sebutan untuk gitar yang kecil. Ketika memainkan ketiga gitar tersebut maka akan muncul suara ‘krong-krong’ serta ‘crong-crong’. Bunyi gitar inilah yang menjadi awal mula penamaan keroncong.
Pada abad ke-19, musik keroncong mulai menyebar ke berbagai wilayah Nusantara. Bahkan musik ini kemudian terkenal hingga Semenanjung Malaya. Pada awalnya keroncong hanya sebagai hiburan masyarakat peranakan Indo-Eropa kelas bawah yang ada di kota-kota besar Hindia Belanda. Kemudian pentas teater komedi seperti Komedie Stamboel sering menggunakan keroncong sebagai pengiring. Inilah yang kemudian memperluas jangkauannya keroncong dari Batavia hingga Surabaya.
Pada awal abad ke-20, keroncong menjadi semakin populer melalui pertunjukan panggung. Keroncong Tugu menjadi bentuk awal yang otentik bagi keroncong. Mereka bermain keroncong dengan ciri khas alat musiknya seperti biola, selo, ukulele, dan rebana. Pada periode ini juga, keroncong mulai berakulturasi dengan unsur lokal, seperti gamelan di Jawa Tengah. maka kemudian lahirlah corak Langgam Keroncong yang lebih lembut dan sesuai dengan karakter Jawa.
Masa Keemasan (1920-1960)
Periode 1920-1960 dikenal sebagai masa keemasan keroncong. Dengan munculnya teknologi rekaman dan radio, keroncong menyebar luas melalui piringan hitam dan siaran radio. Lagu-lagu seperti Bengawan Solo karya Gesang Martohartono menjadi simbol identitas nasional. Pada masa perjuangan kemerdekaan, keroncong menjadi alat membangkitkan semangat nasionalisme melalui lagu-lagu bertema cinta tanah air.
Namun, pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), keroncong sempat dilarang karena dianggap sebagai warisan kolonial Belanda. Untuk bertahan, musisi mengganti lirik bertema asmara dengan tema patriotisme dan menampilkan penampilan yang lebih “sopan” sesuai nilai-nilai ketimuran yang dianut Jepang. Setelah kemerdekaan, keroncong kembali populer, dengan musisi seperti Gesang, Waldjinah, dan Sundari Sukoco menjadi ikon.
Pada tahun 1960-an, popularitas keroncong mulai menurun akibat masuknya musik pop dan rock, seperti pengaruh The Beatles. Meski demikian, keroncong tetap bertahan dan berevolusi. Pada era modern, muncul bentuk-bentuk baru seperti Keroncong Koes-Plus (berirama rock), Congdut (campuran dangdut), dan Campursari (perpaduan dengan gamelan).Maka tidak heran keroncong mulai menggunakan instrumen modern seperti organ tunggal dan synthesizer.
Pemprov DKI Jakarta pada 2015 dan mendapat Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 dengan memberikan pengakuan keroncong sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Selain itu agar tidak punah, upaya pelestarian terus dilakukan. Salah satunya adalah festival-festival keroncong. Maka muncullah festival Solo International Keroncong Festival, dan penampilan internasional, misalnya oleh Orkes Keroncong Rumput di Richmond, Virginia. (ENHA berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.