CM Corner
Beranda » Berita » Legitimasi Calon Tunggal

Legitimasi Calon Tunggal

Legitimasi Calon Tunggal

Oleh: Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

SURAU.CO Sebanyak 1.556 pasangan calon akan memperebutkan kekuasaan di 545 daerah. Meskipun syarat pencalonan dipermudah, menambah jumlah pasangan calon untuk berkompetisi nyatanya tidak mudah. Fenomena ini justru memunculkan pertanyaan krusial mengenai legitimasi calon tunggal. Jika mendasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi, setiap daerah setidaknya dapat mewujudkan lima pasangan calon. Faktanya, lebih dari separuh daerah hanya diikuti oleh dua dan tiga pasangan calon. Bahkan, masih terdapat 37 daerah di mana pasangan calon tidak memiliki lawan tanding, melainkan hanya menghadapi kolom kosong.

Pertimbangan untuk memaksimalkan perwakilan dalam pencalonan ternyata dihadang oleh orientasi mengejar kemenangan. Dalam upaya memperoleh legitimasi, komposisi pasangan calon seringkali minus representasi. Perwakilan partai politik dan calon perseorangan yang ada adalah wujud dari kekuatan politik dan modalitas ekonomi. Betapa tidak, Pemilu baru saja usai, Pilkada langsung dimulai. Hampir tidak ada kesempatan menyiapkan kader untuk bertarung. Akhirnya, partai lebih memilih orang yang masih memiliki daya tahan dengan basis modal yang kuat. Koalisi partai politik yang memenangi pilpres kemudian melanjutkan koalisinya di tingkat Pilkada. Mereka lantas mengembangkan koalisi ke partai-partai lain. Terjadilah pembentukan koalisi besar untuk mengurangi risiko persaingan dan memastikan kemenangan.

Defisit Representasi Akibat Minimnya Pilihan

Pilkada sesungguhnya menjadi sarana representasi bagi pemilih. Melalui Pilkada, partisipasi masyarakat juga seharusnya terwakili oleh jumlah pasangan calon yang akomodatif. Baik melalui jalur partai politik maupun perseorangan, pencalonan adalah momentum mewujudkan perwakilan pemilih. Semakin banyak jumlah pasangan calon, maka semakin terwujud aspek keterwakilan dan semakin menunjang proses demokratisasi. Sebaliknya, Pilkada dengan jumlah pasangan calon yang sedikit menggambarkan kondisi yang semakin jauh dari demokratisasi.

Kondisi Pilkada dengan calon minim menunjukkan bahwa segelintir kaum elite memegang kekuasaan (Nurhasim, 2003). Fenomena ini juga menandakan adanya local strong men sebagai pengendali elektoral (Leo Agustino, 2009), permainan partai politik kartel (Sumadinata, 2016), dan kondisi yang penuh dengan klientilisme (Sukmajati, 2016). Seluruh gambaran tersebut menunjukkan ruang demokrasi di tingkat lokal semakin menyempit. Dalam kondisi calon tunggal, Pilkada menjadi tidak bermakna karena minimnya keterlibatan warga. Sulitnya benteng yang harus para kandidat potensial tembus berakibat hanya orang-orang dengan kelebihan posisi, kedudukan, atau kemampuan finansial tinggi yang mampu menarik kekuatan partai politik.

Kompleksitas Penyelenggara(an) Pemilu

Ancaman terhadap Legitimasi Calon Tunggal dan Demokrasi

Padahal, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam pemerintahan demokratis, pemilih yang menentukan sendiri siapa yang akan mewakili mereka. Jika partisipasi menurun, maka legitimasi pemimpin daerah akan lemah. Pasangan calon mungkin bisa menang dan menduduki jabatannya. Namun, mereka akan memiliki legitimasi calon tunggal yang rendah karena tidak melalui proses partisipasi yang kuat. Jika legitimasi runtuh, maka kepercayaan terhadap demokrasi juga akan ikut berkurang.

Sebagaimana Max Weber (1920) kategorikan, menurunnya kepercayaan pada otoritas hukum bisa mengalihkan perhatian kepada otoritas lainnya, yaitu otoritas karismatik dan tradisional. Otoritas ini akan mengembalikan pemilih pada pengabdian individual dan kepercayaan pada tradisi yang seringkali bertabrakan dengan demokrasi. Jika ini terjadi, pemerintahan tidak lagi berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan siapa yang kuat dan berkuasa. Oleh karena itu, membuka ruang perwakilan dalam demokrasi elektoral sejatinya juga untuk menghindari munculnya kekuatan non-demokratis. Aspirasi pemilih tetap harus kita pelihara dengan menghadirkan calon yang bisa mereka usung dan pilih, meskipun tidak menang.

Robert Dahl (1980) mengingatkan, di samping untuk menghindari tirani, Pilkada dimaksudkan untuk mencapai hak-hak esensial individu dan menjadi sarana meraih kesejahteraan bersama. Kondisi daerah dengan calon tunggal hanya akan mempersempit pilihan pemilih dan pada akhirnya mengurangi tingkat legitimasi pemerintahan ke depan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement