Oleh: Masykurudin Hafid,
Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta
SURAU.CO – Geliat kebangkitan agama-agama kini sedang muncul kembali. Di tengah arus deras sekularisme, fenomena yang bisa kita sebut sebagai proses deprivatisasi agama-agama ini sepertinya tak terelakkan. Baik dalam dunia pemikiran maupun gerakan, agama-agama besar seperti Islam, Kristen, dan Katolik mempunyai caranya sendiri dalam merespons arus sekularisme. Contohnya adalah perkembangan di agama Katolik ketika terpilihnya Joseph Ratzinger sebagai Paus Benediktus XVI. Ia merupakan sayap konservatif yang tegas menolak tuntutan liberalisme, seperti imam perempuan.
Sepanjang sejarah, agama merupakan realitas historis dan sosiologis yang paling tahan lama. Kita bahkan bisa mengatakan bahwa tidak ada peradaban yang bertahan ribuan tahun kecuali peradaban itu terbangun di atas asumsi-asumsi agama. Sebaliknya, peradaban yang anti-agama seperti Komunisme ternyata tidak bertahan sampai seratus tahun. Fakta ini seolah ingin mengatakan bahwa peradaban manusia tidak bisa bertahan lama kecuali berasumsi pada prinsip-prinsip transendental-keagamaan. Memang, sejarah agama sendiri tidak selamanya putih. Banyak tragedi kemanusiaan yang terhasut oleh persentuhannya dengan agama, misalnya Perang Salib yang berlangsung selama 200 tahun.
Menetralisir Agama dari Nafsu Kekuasaan Politik
Ketika agama bersentuhan dengan kekuasaan, ia bisa menimbulkan tragedi kemanusiaan sehingga tak ubahnya dengan ideologi. Namun, jika kita bandingkan kembali, kolaborasi agama dengan kekuasaan ternyata tidak lebih buruk dari ideologi sekuler yang bekerja sama dengan kekuasaan. Oleh sebab itu, menjadi suatu gagasan yang tetap menarik untuk memperhitungkan prinsip menetralisir agama dari nafsu kekuasaan, bukan memisahkan agama dari aktivitas politik sebagaimana konsep sekularisme.
Politik merupakan kodrat dari manusia. Ada benarnya apa yang Aristoteles katakan bahwa manusia adalah zoon politicon atau makhluk politik. Oleh karena itu, jika agama sebagai fitrah justru mengambil sikap membenci politik, maka ini adalah sebuah kekeliruan. Namun, jika kita mengartikan politik sebagai nafsu kekuasaan semata, maka sikap menolaknya dapat kita benarkan. Dalam kerangka pikir ini, semangat modernisme untuk menjauhkan agama dari nafsu kekuasaan politik bisa kita benarkan. Namun, jika semangat yang diusung adalah memisahkan agama dari politik sebagai upaya membangun tatanan hidup orang banyak, maka politik dalam hal ini termasuk bagian dari keberagamaan itu sendiri.
Batas Nalar dan Kebutuhan Deprivatisasi Agama-agama
Selama ini, asumsi sekularisme menggiring agama untuk hanya berperan di ruang privat. Agama hanya menjadi persoalan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Sementara itu, wilayah publik dianggap sepenuhnya menjadi domain akal sehat (rasionalisme). Nalar manusia diyakini mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Namun, ada persoalan mendasar yang tidak mampu akal jawab. Setelah kita menetapkan baik-buruk, pertanyaan selanjutnya adalah: mengapa kita mesti memilih yang baik dan menjauhi yang buruk?
Pertimbangan rasional untuk berbuat baik paling jauh hanya mencapai kesimpulan: agar orang lain juga berbuat baik kepada kita. Inilah motivasi etik yang bisa akal jangkau (etika resiprokal). Landasan ini mengandung problem serius. Jika ada orang yang sudah tidak lagi memerlukan kebaikan dari orang lain, motivasi seperti apakah yang bisa membuatnya tetap berbuat baik? Di sinilah letak argumen utama mengenai kebutuhan deprivatisasi agama-agama: untuk menyediakan landasan moral yang melampaui kalkulasi untung-rugi. Kebaikan sejati adalah ketika seseorang berbuat baik karena meyakini kebaikan sebagai keharusan. Etika rasional tidak menjangkau motivasi transenden seperti ini, yaitu manusia harus berbuat baik karena perintah dari Yang Maha Baik.
Langkah kita ke depan adalah mengambil opsi baru, yaitu deprivatisasi agama-agama. Artinya, kita mengembalikan agama sebagai sumber etika dan moral publik yang penegakannya lebih bertumpu pada kesadaran hati nurani. Kesadaran ini kemudian bisa kita terjemahkan lebih konkret ke dalam ketentuan hukum negara. Kita membutuhkan etika sosial Kristiani dengan basis kasihnya, sentuhan etika Hinduisme dengan Ahimsa-nya, etika Buddhis dengan etos kesederhanaannya, dan Islam dengan spirit keadilannya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
