SURAU.CO. Di bawah terik matahari Makah, tergeletak seorang budak. Kulitnya yang hitam dan tubuhnya penuh luka. Sebuah batu besar menindih dadanya. Kulitnya melepuh dan punggungnya berdarah akibat cambukan. Namun, dari bibirnya yang kering, hanya satu kalimat yang terucap: “Ahad, Ahad.” Kalimat itu diucapkan dengan tegas dan penuh keyakinan. Dialah Bilal bin Rabah, budak milik Umayyah bin Khalaf. Ia tel ah menyatakan keislamannya di awal dakwah Nabi Muhammad Saw.
Keteguhan Iman Bilal di Tengah Badai Siksaan
Siksaan berat tidak menggoyahkan imannya. Setiap cambukan justru memperkuat cintanya kepada Allah Swt. Umayyah bin Khalaf menekan dadanya dengan batu besar. Ia berteriak, “Kembalilah pada tuhanmu, wahai Bilal!” Namun, Bilal hanya menjawab, “Ahad, Ahad.” Kalimat tauhid itu menjadi simbol keteguhan. Seorang mukmin sejati tidak akan menukar imannya. Keselamatan dunia tidak sebanding dengan keimanannya.
Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian tergerak hatinya. Ia melihat penderitaan Bilal. Ia datang kepada Umayyah dan menebus Bilal. Abu Bakar membayarnya dengan harga tinggi. “Aku membelinya dan memerdekakannya,” kata Abu Bakar. Sejak hari itu, Bilal menjadi manusia merdeka. Kemerdekaannya bukan karena status sosial tetapi karena imannya.
Bilal hidup di sisi Rasulullah Saw. Ia menjadi salah satu sahabat terdekat beliau. Suara Bilal yang dalam dan merdu kemudian diangkat Nabi untuk menjadi muadzin pertama dalam Islam. Setiap azan berkumandang, hati kaum Muslimin bergetar dan langit Madinah pun seakan ikut berzikir bersamanya.
Rahasia Langkah Sandal Bilal di Surga
Suatu pagi setelah shalat Subuh, Rasulullah Saw memanggil Bilal. Dengan senyum hangat, beliau bertanya. “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam.” Beliau melanjutkan, “Karena sesungguhnya aku mendengar suara sandalmu di hadapanku di surga.” Bilal menjawab dengan rendah hati. “Aku tidak melakukan amal yang paling aku harapkan pahalanya. Selain setiap kali aku bersuci, baik malam maupun siang. Aku selalu melakukan salat sebanyak yang ditakdirkan bagiku untuk salat.” (HR. Bukhari, no. 1149).
Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda: “Wahai Bilal, dengan amal apa engkau mendahuluiku ke surga? Aku tidaklah masuk surga melainkan aku mendengar langkah kakimu di depanku.” Bilal menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak melakukan sesuatu pun melainkan setiap kali aku berhadats, aku berwudhu dan shalat dua rakaat setelahnya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 3689).
Dua riwayat ini menunjukkan kesederhanaan amalan Bilal. Namun, ia melakukannya dengan cinta dan ketulusan. Ia bukan ahli fikih juga bukan pemimpin besar. Ia hanyalah seorang hamba Allah Swt yang menjaga kesuciannya setiap saat. Dari wudhu yang terus diperbaharui, dan dua rakaat kecil yang ikhlas, Allah Swt meninggikan derajatnya. Bahkan langkah sandalnya hingga terdengar di surga.
Ketika peristiwa Isra’ Mi’raj, Rasulullah Saw bersaksi.
“Aku memasuki surga, dan aku mendengar suara gemerisik dari satu sisi. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, suara apakah itu?’ Jibril menjawab, ‘Itu Bilal, sang muadzin.’” (HR. Ahmad, no. 2324).
Mendengar kabar itu, para sahabat tertegun. Umar bin Khattab bahkan pernah berkata, “Bagaimana aku bisa meninggikan diriku di hadapan Bilal, sementara Allah telah memuliakannya dengan surga?” Dahulu seorang budak hitam, tapi kini Bilal menjadi sosok yang dihormati oleh para bangsawan Quraisy dan pejuang Islam.
Ibrah dari Bilal: Kemerdekaan Sejati dan Keikhlasan Amal
Kisah Bilal bin Rabah adalah kisah kemerdekaan sejati. Kebebasan tidak ditentukan oleh status, warna kulit, hingga garis keturunan pun tidak menjadi penentu. Kebebasan ditentukan oleh kemurnian iman dan kemerdekaan juga oleh keteguhan amal. Ia menjadi teladan bagi kita bahwa amalan kecil yang istiqamah dapat mengantar manusia ke surga.
Bilal mengajarkan kita pelajaran penting. Bukan banyaknya amal yang penting. Tetapi keikhlasan dalam setiap langkah menuju Allah Swt. Ia tidak menunggu kesempatan besar untuk berbuat tetapi hanya dengan menjaga kesucian diri di setiap waktu. Ia selalu memperbarui wudhu dan mempersembahkan dua rakaat cinta kepada Tuhannya.
Maka, setiap azan berkumandang di penjuru dunia, seolah suara Bilal kembali hidup. Ia menyeru manusia kepada kebahagiaan abadi. Suara itu bukan sekadar panggilan shalat akan tetapi sebuah panggilan menuju kesadaran hati yang senantiasa suci seraya bersujud dan istiqamah di jalan Allah Swt.
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Dari padang pasir yang membakar hingga taman-taman surga. Langkah Bilal bin Rabah menjadi bukti nyata bahwa iapa pun bisa menggapai kemuliaan. Bahkan seorang budak sekalipun. Selama ia berjalan dengan wudhu yang terjaga serta hati yang selalu menuju kepada Allah Swt. Kisah Bilal menjadi inspirasi tak terbatas.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
